🦭🦭🦭
"Widih ... yang habis pulang dari rumah camer!" goda Rizal pada saya yang baru saja masuk kamar.
"Iya, gimana? Lancar minta restunya?" Dilanjut dengan Mario yang mendukung opini dari Rizal.
"Kalian tahu siapa ibunya Nara?" tanya saya. Mereka juga pasti tidak menyangka jika Bu Yati adalah ibunya Nara. Mengingat, dari SMP mereka berdua sering ke rumah saya, mereka juga akrab dengan Bu Yati.
"Mana kita tahu, aneh lu! Kan, lu yang barusan ketemu," sahur Rizal entah sedang apa. Dia duduk di meja belajarnya. Ya, kamar ini memang tersedia meja belajar untuk masing-masing anggota kamar.
"Bu Yati," ucap saya singkat. Mario yang tadinya bermain handphone sembari berbaring di ranjangnya itu mendadak duduk dan melotot seakan tak percaya. Begitu juga dengan Rizal, ia langsung turun dari bangkunya dan mendekat pada saya.
"Serius lo, Nio?! Bu Yati pembantu lo itu?!" tanya Mario.
"Bukan pembantu, Bu Yati sudah seperti ibu saya sendiri malah. Dari kecil dia yang temenin saya main kalau kesepian ditinggal kerja Papa Mama. Beliau itu berjasa banget!" Saya segera menepis pendapat mereka yang menyebutkan jika Bu Yati adalah pembantu.
"Iya, deh. Ya, udah berarti enak, dong. Lo juga udah akrab sama Bu Yati dari kecil, kan?" tanya Rizal. Memang ini mudah, tetapi tak semudah yang dilihat. Bagaimana saya memberi tahu Bu Yati jika saya sekarang menjalin hubungan dengan anaknya? Apakah Bu Yati akan terima dan langsung membatalkan perjodohan Nara itu? Ata malah ... Bu Yati tidak mau lagi mengenal saya.
"Woi, malah bengong!" gertak Mario yang membuat saya kaget. Saya hanya takut itu terjadi.
"Ya ... itulah intinya. Saya mau tidur dulu, capek. Nanti bangunkan kalau sudah jam enam sore, ya." Saya lalu berbaring di kasur saya yang empuk. Ternyata, kasur di rumah Nara itu tidak ada empuk-empuknya, badan saya jadi sakit semua, padahal baru semalam saya tidur di sana.
"Lah? Tumben lo tidur, biasanya belajar. Mau ke mana emang ntar malem?" tanya Mario.
Saya yang tadinya sudah berbaring dan membelakangi mereka, jadi terpaksa menoleh lagi. "Dinner sama Nara. Tadi waktu jalan pulang, kami menang salah satu kontes dansa acara anniversary restoran. Hadiahnya, ya, dinner gratis itu," jawab saya.
"Wah, kita ikut, dong! Boleh, ya?" tanya Mario. Hm, bagaimana, ya ... saya takut Nara marah nantinya jika mereka berdua ikut.
"Iya, ayolah, Nio. Masa kita berdua nggak boleh ikut. Nanti kita bayar sendiri, kok, makanannya. Ya, walaupun biasanya lo yang traktir," lanjut Rizal yang juga membujuk saya. Ya, sudahlah. Saya ajak saja mereka.
"Ya, udah boleh. Tapi, kalian jangan rusuh nanti," ancam saya. Mana bisa mereka berdua tidak rusuh.
"Iya, iya ... tenang ae!" ucap Mario setuju.
***
"Nio, bangun, woi! Katanya mau dinner!" Suara Mario disertai tepukan yang cukup keras di pantat saya itu sontak membuat saya langsung terbangun.
"Iya, iya! Udah bangun ini." Saya duduk sembari mengucek mata saya. Melihat perlahan, ternyata di depan saya ada dua makhluk yang sudah berdandan rapi mengenakan jas hitam. "Loh? Kalian udah siap?" tanya saya keheranan.
Mario dengan percaya diri membenahi jasnya. "Iya, dong! Gue juga mau dinner sama pacar gue, hahahah!" Mario lalu tertawa setelah itu. Ya, ampun, saya baru tahu kalau dia punya pacar. Mungkin, saya ketinggalan banyak moment dengan sahabat saya sampai-sampai tidak tahu.
"Lah? Lo punya pacar, Mar? Kok, nggak cerita ke kita-kita, sih?" tanya Rizal yang ternyata baru tahu. Saya kira hanya saya yang ketinggalan kabar gembira itu.
"Punyalah! Ya, cuma ... nggak gue publish aja," jawab Mario dengan santainya.
Saya lalu beranjak dari ranjang untuk segera menuju kamar mandi. "Udah, udah ... saya mau mandi dulu. Kalian tunggu bentar." Bersamaan dengan itu, handphone saya tiba-tiba berdering, menampilkan chat dari Nara.
Nara
cepetan, gue udah siap!Ya, ampun, sepertinya saya yang terlalu nyenyak tidur, sampai-sampai Nara sudah siap sedangkan saya belum apa-apa. Saya lalu menaruh handphone itu dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi.
***
Sekarang saya sudah rapi. Memakai Kemeja dan jas hitam yang senada dengan Mario dan Rizal. "Yuk," ajak saya. Mario dan Rizal segera berdiri dari duduknya. Kami lalu turun ke lantai bawah, tak lupa mengunci pintu asrama.
Sampai di bawah, ada Nara dan Gladis yang duduk di sofa. Gadis yang merupakan pacar saya itu malam memakai kaos yang kebesaran berwarna merah, dilengkapi dengan jeans robek-robek itu. Saya hanya mengernyitkan dahi keheranan menatap pakaian yang ia pakai. "Kok, pakai kaos?" tanya saya.
Nara yang menyadari itu langsung berdiri dari sofa. "Lah? Kenapa rapi banget, dah? Santai aja, sih. Toh, cuma makan malem biasa," jawab Nara dengan santainya.
"Tau, tuh, Nio. Padahal, udah gue bilang suruh pake baju yang bagus, malah milih pake kaos doang," sahut Gladis yang berdiri di samping Nara. Dia memakai dress ala Korea berwarna putih dengan motif polkadot kecil.
Gladis mendekat pada Mario, mereka berdua tampak melempar senyum malu-malu satu sama lain. "Jadi, pacar kamu itu Gladis, Mar?" tanya saya. Mereka mengangguk bersama-sama.
"Pajak jadiannya, dong! Ya, kalo jadian diem-diem bae!" sindir Rizal. Padahal, tidak jadian pun dia juga sering kami traktir.
"Kayaknya lo yang harus traktir kita, lo sendiri yang nggak punya pacar di sini, ahahah!" Nara tertawa diikuti oleh Gladis dan Mario. Mereka menertawai Rizal dengan terbahak-bahak.
"Lah, iya, juga. Diliat-liat ternyata gue yang jomblo sendiri di sini." Rizal tertunduk sedih seolah ia betulan bersedih.
"Masih ada stok kalo lo mau," sahut Mario.
Rizal yang tadinya menunduk langsung menoleh padanya. "Siapa?" tanya Rizal.
"Jihan," jawab Mario sembari tertawa.
"Dih, ogah! Dia, kan, penggemar beratnya Nio, mana boleh gue ambil. Ntar Nio nggak punya penggemar lagi," jawab Rizal yang membuat saya tertawa.
"Ya, udah. Ayo, keburu telat. Gue udah pesenin taksi online. Udah di depan juga," ujar Nara. Dia lalu menggandeng tangan saya dan mengajak keluar asrama. Sampai di luar, memang ada dua mobil taksi online yang terparkir di sini.
"Kok, dua?" tanya saya.
"Punya orang lain mungkin. Gue pesen yang ini," tunjuk Nara pada salah satu mobil. Kami segera menaiki mobil taksi itu. Rizal duduk di samping sopir taksi. Saya dan Nara di tengah, sedangkan Gladis dan Mario di belakang.
Nara menunjukkan jalan menuju restoran tersebut. Sepanjang jalan kami berempat hanya saling diam mendengarkan Rizal yang bercakap-cakap dengan Sopir taksi.
🦭🦭🦭
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Mine, Antonio [END]
Teen Fiction[STORY 6] GENRE: TEENFICTION - SUPRANATURAL ~ PREKUEL BEFORE SUNSET ~ °°°°°°° Siapa sangka jika malam ulang tahun temannya adalah awal bencana bagi anak pengusaha terkenal yang selalu mendapat prestasi gemilang di sekolah? Iya, hanya karena satu vi...