🦭🦭🦭
Saya baru saja sampai, setelah memarkirkan mobil tadi, semua siswa-siswi menatap aneh ke saya. Mungkin, mereka sudah menonton video itu. Tak sedikit dari mereka berbisik ketika saya lewat di depan mereka. Seperti saat ini contohnya. Saya sedang berjalan melewati koridor dan hendak ke kelas.
"Ih, nggak nyangka ternyata aslinya mesum!"
"Iya, ih, nggak usah ngidolain Nio lagi kalo gitu!"
"Anak berprestasi, kok, mainnya sampe ke klub?! Mana mabok-mabokan, lagi!"
Begitulah tanggapan sinis mereka yang meski berbicara lirih, tetapi tetap terdengar di telinga saya. Saya berangkat sendiri karena Papa akan menyusul nanti jam delapan. "Yang sabar, ya, Bro. Lama-kelamaan mereka pasti capek sendiri, kok." Rizal merangkul saya dari belakang, juga disusul oleh Mario. Entah harus bersyukur dengan cara apa lagi ketika saya mempunyai sahabat seperti mereka.
"WOI!" Suara lengkingan yang sangat nyaring itu terdengar dari belakang saya yang otomatis mengentikan langkah kami bertiga. Kami menoleh ke belakang, Anara dengan wajah kesalnya itu berjalan ke arah kami. "Sini, lo ikut gue!" Tiba-tiba Anara menarik tangan saya dengan kasar.
"Woi, mau dibawa ke mana temen gue?!" teriak Rizal, sedangkan saya dan Anara sudah menjauh. Dia terus menarik tangan saya sampai kami tiba di belakang kelas.
"Kamu apa-apaan, sih?!" Saya menepis tangannya yang semula menggenggam pergelangan tangan saya. Sampai-sampai rasanya sakit karena Nara terlalu kuat menarik tangan saya.
"Lo yang apa-apaan, Anj*ng?! Maksud lo apa nyebar vidio kayak gitu, hah?! Lo sengaja mau bikin masa depan gue hancur?!" teriaknya yang membuat telinga saya sakit. Bisa-bisanya dia menyalahkan saya, padahal saya saja tidak tahu apa-apa.
"Bukan saya yang nyebarin video itu. Ini juga saya lagi cari pelakunya. Kamu ingat hanya masa depan kamu yang hancur?" tanya saya tak mau kalah. Enak saja main menuduh begitu.
"Lo enak, anak orang kaya, murid berprestasi, lo kalo dikeluarin dari sini juga bisa pindah ke luar negeri. Asal lo tau, kalo gue sampe kehilangan kesempatan siswa pertukaran pelajar ini, gue nggak bisa dapet beasiswa ke kampus impian gue!" Dia semakin menjadi-jadi dan emosinya makin meluap-luap. Saya sama sekali enggak mempermasalahkan pindah ke luar negeri, atau soal uang. Bahkan, yang saya pikirkan sekarang adalah perasaan orang tua saya yang menanggung malu.
"Ya, udah, papa saya bisa, kok, biayain kuliah kamu sampai lulus. Nggak perlu ngamuk gitulah. Kamu kira hanya kamu yang rugi dan malu?" tantang saya. Saya kira awalnya perempuan ini kalem, ternyata dia juga minum alkohol, toh. Kok, bisa dia terpilih sebagai siswa pertukaran pelajar? Attitude-nya saja tidak mencerminkan siswi disiplin.
Dia mendorong saya dengan sangat cepat, membuat saya jatuh ke tanah. "Anj*ng, ya, lo! Gue kira lo itu anak baik, karena prestasi di mana-mana, ternyata salah satu prestasi lo itu ngerendahin orang lain. Asal lo tau, nggak semua bisa dibeli pake uang!" Dia memaki-maki sambil menunjuk-nunjuk dengan hari telunjuknya. Sangat memperlihatkan attitude-nya yang nol itu. Sudah hilang respect saya pada gadis yang awalnya saya kira kalem dan ramah ini, ternyata toxic.
"Kepada Antonio Azriel dan Keyzia Anara segera ke ruang kepala sekolah. Terima kasih." Suara menggema dari toa yang ada di tiang itu mengagetkan saya. Saya lalu berdiri dan membersihkan celana yang kotor terkena tanah. Saya pergi lebih dulu ke ruang kepala sekolah, meninggalkan Anara yang sedang menghapus air matanya juga membenarkan rambutnya yang acak-acakan itu.
Saya berjalan ke ruangan kepala sekolah yang letaknya lumayan jauh. Di sepanjang jalan, gadis-gadis menertawakan saya. Mereka yang sedang duduk-duduk santai di depan kelasnya itu asyik merumpi.
"Kasian, pasti bentar lagi di-DO," kata gadis berbaju crop dengan rok pendek yang sedang duduk di depan kelas bersama lima orang temannya. Perkataannya itu sontak mengentikan langkah saya. Padahal, dulu dia mengejar-ngejar saya, meminta saya untuk mengajarinya beberapa materi yang ia tak paham, sedangkan kami tidak sekelas.
"Makanya, lo kalo udah hidup enak, nggak usah betingkah, deh. Begini, kan, jadinya," imbuh salah satu temannya. Lalu mereka tertawa bersama-sama. Nasib baik saya bukan tipe manusia yang pendendam, kalau saya pendendam mungkin sudah saya dorong kepalanya ke tembok terdekat.
Saya lalu lanjut berjalan ke ruang kepala sekolah, tanpa mempedulikan mereka yang sedari tadi menggunjing saya. Kata Rizal, nanti pasti mereka akan lelah dan berhenti dengan sendirinya. Saya jadi deg-degan mengingat ucapan gadis tadi, jika saya akan di-DO. Astaga, positif thinking, Nio! Semua yang dipikirkan dengan baik, semoga hasilnya akan baik juga.
Saya sudah sampai di depan ruang kepala sekolah. Terlihat Papa sudah duduk di sofa yang ada di dalam. Sedangkan Pak Liam-kepala sekolah Acardia High School itu duduk di kursi kerjanya sambil membaca berkas-berkas. Saya, kok, jadi deg-degan, ya.
Saya mengetuk pintu ruangan yang masih tertutup itu dan membukanya sendiri. Namun, entah dari mana datangnya, bisa-bisanya Nara nyelonong masuk mendahului serta menatap sinis pada saya yang masih memegang gagang pintu yang sudah terbuka. Gadis ini benar-benar nol attitude-nya. "Masuk, Nio, Nara."
Saya kemudian duduk di sofa tepatnya di samping Papa. Sedangkan Nara duduk sendiri di sofa yang ada di seberang kami. Ia duduk dengan Pak Liam. "Papa kamu mana, Nara? Kan, saya suruh wali kamu juga datang," tanya Pak Liam pada Nara. Sedangkan gadis itu hanya diam. Ia memainkan kuku-kukunya.
"A-ayah saya lagi sakit, Pak," jawab Nara dengan terbata-bata. Mungkin saja ia sengaja tak mengajak ayahnya karena takut ayahnya tahu kelakuan anaknya itu.
"Baik, mungkin saya akan mulai dengan Nara terlebih dulu. Begini, Nara, karena video itu telah viral dan menyebar dan membuat nama baik sekolah ini tercoreng, terpaksa saya harus memberhentikan kegiatan pertukaran pelajar ini. Jadi, silakan kamu balik ke sekolah kamu," ucap Pak Liam dengan tegas. Baguslah jika program itu dicabut, gadis tidak ber-attitude seperti dia memang tak pantas mendapat kesempatan itu.
Nara memasang wajah sedihnya. "T-tapi, Pak-"
"Nggak ada tapi-tapian, Nara. Sekarang juga silakan kembali ke sekolah kamu." Pak Liam mengusir Nara. Mata gadis itu memerah seperti akan meneteskan air mata.
"B-baik, Pak. Permisi." Nara berdiri dan segera pergi ke luar ruangan.
"Dan untuk Nio," ucap Pak Liam terjeda sejenak. Pak Liam lalu menatap ke Papa. "Maaf, Pak Lukman, kami dari pihak sekolah juga akan mengeluarkan Nio sebagai tindakan tegas."
"Loh, Pak, nggak bisa gitu, dong. Saya, kan, dijebak," sanggah saya dengan cepat. Jantung saya hampir copot saat mendengar Pak Liam mengusir saya.
"Nggak bisa, Nio. Apa pun penjelasan dari kamu nggak akan bisa membuat keputusan berubah, karena ini sudah dibahas dalam rapat. Nama sekolah bisa-bisa tercoreng kalau kamu tetap di sini. Maka dari itu, saya minta maaf harus mengeluarkan kamu." Ucapan Pak Lima barusan membuat saya dan Papa tak bisa berkata-kata lagi.
"Baik, kalau begitu, Pak. Kami permisi. Ayo, Nak." Papa mengajak saya berdiri dari sofa. Kami lalu keluar dari ruangan dengan tubuh lemas.
Di luar ruangan ada Nara yang duduk di bangku. Ia menatap sinis ke saya dan membisikkan kata yang sangat terdengar jelas. "Fuck you!" ucapnya sembari mengacungkan jari tengahnya. Gadis ini memang benar-benar tidak waras!
🦭🦭🦭
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Mine, Antonio [END]
Teen Fiction[STORY 6] GENRE: TEENFICTION - SUPRANATURAL ~ PREKUEL BEFORE SUNSET ~ °°°°°°° Siapa sangka jika malam ulang tahun temannya adalah awal bencana bagi anak pengusaha terkenal yang selalu mendapat prestasi gemilang di sekolah? Iya, hanya karena satu vi...