🦭🦭🦭
Kami hanya berjalan kaki, kata Nara rumahnya ada di dalam gang yang lumayan jauh. Maka dari itu kami tak naik taksi. Taksi pun tak akan bisa masuk gang rumah Nara.
"Masih jauh, ya? Ini gelap sekali, Ra." Saya dari tadi tak berhenti berdengus mengeluh karena jalanan yang gelap dan sempit. Meskipun ramai rumah penduduk, tetapi jalanannya becek, membuat saya hampir terpeleset.
"Ish, bawel! Lo pasti kebiasaan naik mobil, makanya pas di suruh jalan kaki ngomel mulu!" Nara yang sibuk memilih jalan yang bagus itu memarahi saya. Saya enggak masalah jika jalan kaki. Saya tiap hari minggu aja jogging, malah yang saya keluhkan itu adalah kondisi jalanan yang becek. Mana ini sudah malam, terus nanti pulang jam berapa? Ada-ada saja Nara ini, padahal bertemu di luar juga bisa. Tahu begini, mending saya usul ajak bertemu di kafe atau warung makan pinggir jalan saja.
"Lo nanti harus bersikap lembut ke gue di depan Abang sama ibu gue, seakan-akan kita pacaran beneran."
Saya mengerutkan alis mendengar perintahnya barusan. "Memang saya pernah kasar sama kamu? Kamu pingsan pas makan sate aja saya gendong. Kalau saya kasar, mungkin udah saya gelindingin kamu ke rumah sakit," jawab saya lalu tertawan. Nara malah diam seakan tak mau memperpanjang perdebatan ini. Tumben.
Cukup lama kami melewati jalan becek itu, sampai celana saya kotor terkena tanah merah yang bercampur air. Kami sampai di sebuah rumah kecil berdinding usang. Rumah yang lampunya remang-remang. "Abang ...!" Nara mengetik pintu depan, ia menaruh bunga yang saya belikan tadi di tangan kirinya.
Seorang pria membuka pintu. Pria yang tingginya hampir setara saya, dengan memakai kaos merah dan celana pendek selutut. "Lah? Lo jadi pulang?" tanya pria itu pada Nara.
"Iyalah! Nih, kenalin pacar gue." Nara memeluk lengan saya. Laki-laki yang ia sebut sebagai abang tadi melihat ke saya. Saya rasa, ada sesuatu antara ia dan kakaknya ini.
Saya lalu mengulurkan tangan pada abangnya Nara. "Malam, Bang. Saya Nio."
Abangnya Nara pun menerima uluran tangan dari saya. "Vano," ucapnya singkat. "Yuk, masuk. Ibu udah nungguin di dalem," titah bang Vano yang malah berjalan duluan ke dalam.
"Yuk." Nara menarik tangan saya untuk masuk ke dalam. Sampai di dalam, saya tercengang dengan isi rumahnya. Bukan, bukan jelek, tetapi bisa dibilang antik. Barang-barang di dalamnya pun terkesan seperti jaman dulu. Saya yang biasanya hanya melihat barang-barang ini di televisi pun sangat terheran-heran. Ada lemari besar berwarna cokelat dan diisi oleh piring kaca juga gelas antik, ada televisi tabung yang sangat kecil, juga jam dinding usang yang bisa berbunyi itu, tetapi saya lupa apa namanya.
"Kenapa? Kaget liat rumah gue nggak semewah rumah lo?" bisik Nara yang berjalan di samping saya. Itu membuat saya yang tadinya memandangi barang-barang antik di rumah ini jadi sedikit terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Mine, Antonio [END]
Teen Fiction[STORY 6] GENRE: TEENFICTION - SUPRANATURAL ~ PREKUEL BEFORE SUNSET ~ °°°°°°° Siapa sangka jika malam ulang tahun temannya adalah awal bencana bagi anak pengusaha terkenal yang selalu mendapat prestasi gemilang di sekolah? Iya, hanya karena satu vi...