🦭33. Izin

6 0 0
                                    

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦭🦭🦭

Pagi pun tiba, kami berlima segera bersiap-siap untuk pulang ke asrama. Kata Om Arian, kami diizinkan untuk tidak usah masuk dulu jadi ini. Perjalanan dari pantai ke asrama itu sangat lama, yang ada kami kelelahan di perjalanan dan tidak akan fokus belajar. Sekarang kami sudah ada di mobil Rizal untuk pulang. Saya dan Mario duduk di dekat jendela kursi tengah, sedangkan Nara dan Gladis duduk di tengah.

Nara sedari tadi hanya tidur pulas di pundak saya. Kasihan, mungkin ia kelelahan karena acara semalam. Tangan saya merangkulnya, memastikan kepalanya tetap berada di pundak saya.

Hari ini rencananya saya ingin meminta izin pada Bu Yati untuk meminta agar perjodohan itu dibatalkan. "Zal, nanti saya berhenti di rumah Mama saya aja, ya. Mau ambil beberapa barang yang ketinggalan," ucap saya pada Rizal yang duduk di bangku depan.

"Oke, gampang kalau itu mah," jawab Rizal. Di sepanjang perjalanan, ketika semuanya tertidur pulas, saya sendiri yang bukannya tidur, malah memperhatikan Nara yang sedang tidur. Cantik, sangat cantik. Padahal tadi malam saya pun agak susah tidur, karena tak henti-hentinya memikirkan Nara. Ah, jadi begini, ya, rasanya jatuh cinta.

Saya iseng berfoto dengan Nara saat ia sedang tertidur. Akan saya pasang sebagai wallpaper nantinya. Pasti sangat lucu. Hahahah!

....

Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan rumah Mama. Saya turun, meninggalkan Nara yang kepalanya saya alihkan agar bersandar di pundak Gladis. Saya tidak tega membangunkannya.

Sampai di sini, rumah terlihat sangat sepi. Padahal, tadi sewaktu di perjalanan saya mengirimi pesan pada Mama, katanya mama di rumah. "Mama ...!" teriak saya memanggilnya.

"Iya! Ini Mama di dapur!" Teriakan Mama itu membuat saya menoleh ke pintu dapur. Tumben Mama di dapur, biasanya Mama itu tidak pernah pergi ke dapur walaupun sedarurat apa pun. Mama adalah wanita karir yang sibuk menghabiskan waktunya di butik miliknya.

Saya segera menuju dapur, siapa tahu Bu Yati juga ada di sana. "Mama masak?" tanya saya yang terkejut melihat Mama sedang memotong beragam sayuran. Tumben sekali ia mau memegang peralatan dapur seperti ini.

"Iya, Mama mau belajar masak, diajarin Bu Yati. Temen-temen Mama pada cerita kalau mereka masakin suaminya. Ya, udah Mama nggak mau kalah, makanya Mama juga belajar masak!" jawab Mama dengan semangat lalu kembali memotong sayuran yang ia pegang itu.

"Bu Yati ke mana, Ma?" tanya saya yang celingukan mencari Bu Yati. Namun, ia tidak ada di sini.

"Ada, di halaman belakang. Lagi bersihin halaman."

"Ya, udah Nio ke sana, ya, Ma." Saya segera berjalan ke halaman belakang. Benar saja, terlihat Bu Yati sedang membersihkan rumput-rumput di sana.

"Bu Yati!" panggil saya dan langsung berlari padanya.

"Loh, Mas Nio pagi-pagi udah ke sini aja. Ada apa, Mas? Mau Ibu buatin sarapan cumi pedes atau mau Ibu setrikain bajunya Mas Nio?" tanya Bu Yati.

Saya tertawa mendengar tawaran yang barusan beliau katakan itu. "Bukan, Bu. Mau ngomongin sesuatu. Kita duduk di ayunan, yuk," ajak saya. Bu Yati mengangguk dan segera mengikuti saya yang berjalan ke ayunan.

Saya duduk di ayunan lalu Bu Yati duduk di kursi taman yang ada di sini, karena ayunannya hanya ada satu. "Ada apa, Mas? Kok, kayaknya penting banget?" tanyanya yang terlihat penasaran.

"Tentang Nio dan Nara, Bu. Nio ...." Saya menjeda kalimat itu untuk sekadar menghela napas. Saya tahu, ini akan terdengar konyol. "Nio sayang sama Nara, Bu. Tolong ... batalkan perjodohan itu."

Bu Yati tak kunjung menjawab, beliau hanya diam dan menatap saya. Apa saya salah, ya? "Jadi ... Mas Nio udah tahu tentang perjodohan itu?" tanya Bu Yati, lalu saya mengangguk.

"Nara sudah cerita waktu itu ke Nio. Nio mohon, tolong batalkan perjodohan itu. Kasihan Nara yang masih ingin menggapai cita-citanya, Bu," jawab saya.

Bu Yati menangis dan segera berdiri lalu memeluk saya. "Mas, makasih udah mau sayang sama anak Ibu," ujarnya yang masih menangis terisak sembari memeluk saya. "Nanti Ibu batalkan perjodohan itu. Ibu memang dari awal maunya Nara sekolah dulu yang tinggi."

Mendengar itu membuat saya lega. Lalu, langkah selanjutnya apakah saya harus mengungkapkan perasaan ini pada Nara? Saya bingung, padahal Bu Yati juga sudah setuju kalau perjodohan itu dibatalkan.

🦭🦭🦭

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Never Mine, Antonio [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang