🦭10. Perkara Sate

17 1 0
                                    

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦭🦭🦭

Di dalam lift, terlihat Mario dan Rizal seakan menertawai saya. "Kenapa?" tanya saya sinis. Entah apa yang mereka tertawakan, padahal muka saya enggak ada lucu-lucunya.

"Lucu aja, sekarang malah lo jadi rebutan dua cewe tadi," jawab Rizal. Mereka masih menahan tawa seperti tadi. Saya malah lebih heran, kenapa Jihan bisa pindah ke sini juga. Gadis itu tak ada habis-habisnya mengikuti saya.

Saya menatap curiga pada mereka. Muka-muka seperti mereka ini memang pantas dicurigai. "Kenapa Jihan bisa tahu kalau saya pindah ke sini?" tanya saya yang membuat mereka langsung memasang badan tegap dan berhenti menahan tawa. Tuh, kan, memang sudah pasti ulah mereka.

"Iya, iya. Gue yang ngasih tahu. Maaf, ya, soalnya dia berisik banget, anjir, malem-malem ngetuk-ngetuk pintu rumah gue. Nanyain Nio pindah sekolah ke mana mulu. Gue awalnya enggak mau ngasih tahu, tapi dia kekeh nungguin di depan rumah kalau gue nggak ngasih tahu. Ya, udah terpaksa gue bilang, daripada orang yang lewat ngiranya dia gembel karena tidur di teras gue." Penjelasan dari Mario itu membuat saya menepuk dahi karena tidak habis pikir dengan Jihan. Ya, ampun, dia ternyata sungguh nekat menyusul saya ke sini. Padahal, baru saja saya bernapas lega karena terbebas dari gadis itu.

"Kayaknya dia emang sesuka itu sama lo, deh. Kenapa ga lo pacarin aja, sih?" tanya Rizal. Padahal saya sudah bilang ke mereka kalau saya memang ingin fokus sekolah dulu. Lagian saya juga masih enam belas tahun, usia yang masih sangat belia untuk sekadar bermain-main dengan hubungan.

"Nio nggak mau pacaran, Ege! Kalo lo mau mending buat lo aja, dah," jawab Mario sambil menyedot susu kotak yang saat ini ia minum.

"Idih, ogah! Cewe cupu begitu bukan selera gue, sih," jawab Rizal. Saya hanya diam, merasakan pusing sebab kejadian tadi. Apa saya salah kalau sekolah di sini? Benar kata Nara, itu hanya akan menambah gunjingan untuknya. Namun, saya sudah terlanjur daftar. Teman-teman juga sudah ikut pindah ke sini, enggak mungkin, kan, kalau saya minta ke Papa untuk pindah lagi. Bisa diomeli Mama nanti malahan. Ah, sudahlah. Lagian, sekolah di sini juga enggak terlalu buruk.

Kami bertiga mencari kamar nomor 303 yang ada di lantai dua. Ternyata, ada banyak sekali kamar di sini. Kata Mario, perkamar diisi oleh tiga orang. Itu artinya banyak yang tinggal di sini.

Setelah menemukan kamar yang kami cari, saya segera membuka pintu kamar ini. Rizal dan Mario segera berbaring ke ranjang yang memakai sprei serba putih itu. Ada tiga ranjang terpisah di sini. Bukannya ikut berbaring dengan mereka, saya justru sibuk memasukkan koper-koper milik saya dan menyusun baju di lemari yang disediakan. Mereka berdua mungkin sudah merapikan baju-baju mereka ke lemari hingga mereka sekarang bisa santai.

Ruangannya cukup luas, ada satu kamar mandi, satu ruangan dapur, tiga lemari, lalu ada sebuah televisi juga. Pemandangan yang tersaji jika melihat ke luar jendela adalah jalanan ibu kota yang ramai dengan kendaraan yang padat itu. Sedikit panas karena jendela menghadap barat.

Never Mine, Antonio [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang