🦭40. Surat Dari Nio Untuk Nara [END]

42 3 0
                                    

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦭🦭🦭

Entah ini di mana, saya berada di suatu tempat yang sangat asing. Seperti sebuah tempat pemakaman umum, mungkin. Aneh, kenapa saya tiba-tiba ada di sini, ya?

Saya melihat jauh ke sana, ada sekumpulan orang berbaju hitam mengerubungi sesuatu. Pasti ada yang meninggal. Saya lihat ke sana, ah, lihat-lihat dulu, siapa tahu saya kenal dengan orang yang baru meninggal itu.

Saya sudah ada di dekat mereka, terdengar suara isak tangis yang tiada henti. Setelah saya makin dekat, ternyata Nara duduk di samping makam tersebut dan menangis sesenggukan. Di samping Nara ada Gladis dan Bu Yati yang menenangkan Nara. Loh? Siapanya Nara yang meninggal, ya?

Ternyata di sini juga ada Mario, Rizal, dan juga Aldo yang berdiri menyaksikan Nara. Mereka bertiga juga menangis. Saya lalu berdiri di samping sahabat saya itu. "Siapa yang meninggal, Mar, Zal?" tanya saya yang berbisik di tengah-tengah mereka. Namun, mereka hanya diam dan menangis.

Makin aneh.

Saya lalu mendekat ke nisan tersebut. Di sana jelas tertulis Antonio Azriel bin Lukman Azriel. Saya terdiam membaca nama saya yang terukir di atas nisan kayu itu. Di seberang Nara juga ada Mama yang menangis sesenggukan sembari memeluk nisan. Di samping Mama, ada Papa yang mengelus punggungnya. "Nio ...," rintih Mama. J-jadi ... saya sudah meninggal?!

"Nio, Mama pulang dulu, ya. Istirahat yang tanang, anak Mama." Mama mencium nisan yang ia peluk tadi, lalu berdiri. Dibantu oleh Papa dan Bu Yati.

Setelah kepulangan Mama, Papa, dan Bu Yati. Nara berdiri bersama dengan Gladis. Tiba-tiba saja Rizal mendorong Nara yang masih menangis itu hingga ia terjauh ke tanah. "Zal?! Apa-apaan, sih? Jangan kasar sama perempuan!" teriak saya pada Rizal. Namun, Rizal seakan tidak melihat ataupun mendengar saya.

"Gara-gara lo Nio meninggal, Anjing! Sekarang emangnya lo bisa balikin Nio ke samping kita lagi, hah?!" tunjuk Rizal ke Nara yang masih duduk di tanah. Di samping Nara ada Gladis yang membantunya berdiri.

Mario juga dengan sigap memegangi Rizal agar tidak makin emosi dan menyakiti Nara. "Heh!" Gladis mendorong pundak Rizal hingga Rizal sedikit mundur. "Ini semua murni musibah, jangan nyalahin Nara, Nara juga nggak tahu kalau bakalan kayak gini!"

Rizal dengan emosi yang makin meluap-luap itu menghapus air matanya. "Nio dikeluarin dari Acardia itu gara-gara lo, sekarang Nio meninggal juga gara-gara lo! Harusnya sahabat gue itu nggak usah kenal sama lo, biar dia nggak dapet apes kayak gini! Harusnya lo nggak usah dateng ke hotel malam itu, biar Nio juga nggak jadi dateng!" bentak Rizal yang makin menunjuk-nunjuk Nara dengan jarinya. Sedangkan Nara, dia hanya diam dan menangis sesenggukan.

Saya merasa tidak ada gunanya, karena tidak bisa melerai mereka.

"G-gue minta maaf ...," rintih Nara.

"Kata maaf lo nggak bisa bikin Nio balik hidup lagi!" bentak Rizal. Nara semakin menangis di pelukan Gladis.

"Zal, udahlah. Dengan lo kayak gini, malah bikin Nio kecewa di atas sana." Mario mencoba menenangkan Rizal. Namun, Rizal malah membalas dengan mendorong Mario.

Never Mine, Antonio [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang