🦭🦭🦭
"Mimpi lo!" Nara tiba-tiba mengelap wajah saya menggunakan tangannya yang kotor itu. Otomatis debu yang ada di tangannya berpisah ke wajah saya. Ish, gadis ini! Bisa jerawatan wajah saya nanti. "Berisik lo! Kalo mau bikin baper, lo salah orang kalo ke gue," bisiknya. Pasti kalau berbicara dengan keras, ia takut teman-teman akan dengar.
"Benarkah? Kita lihat saja nanti," jawab saya sembari tersenyum. Setelah saya pikir-pikir, membuatnya terbawa perasaan kemungkinan seru.
Saya lalu membantu Nara menyusun kayu-kayu itu sebisa saya. Ternyata tidak sulit, kok. Hanya menyandarkannya satu sama lain agar terlihat rapi, tetapi kalau tidak kokoh, takutnya api merambat dan membakar gubuk ini saat kami tidur nanti.
Tak lama kemudian, api unggun pun sudah jadi. Kami semua duduk mengelilingi api agar badan jadi hangat. Sudah tentu saya bersebelahan dengan Nara. "Ngantuk, nih. Tidur, yuk," ajak Rizal yang mungkin sudah lelah mencari sinyal sejak tadi.
"Udah nyerah lo cari sinyalnya?" tanya Mario yang membuat kami semua tertawa.
"Ya, udah. Nara sama Gladis tidur di ruangan yang di dalam, ya. Kita-kita biar tidur di luar," ucap saya. Untungnya gubuk ini terdiri dari dua ruangan. Ruangan yang ada di dalam dan di luar. "Pakai jas saya biar nggak kedinginan." Tak lupa saya mengingatkan Nara. Takut dia kedinginan nanti.
"Nggak usah. Nih, gue balikin. Nanti kalo lo yang masuk angin gimana? Anak manja nggak boleh masuk angin." Nara mengembalikan jas hitam itu pada saya.
"Nggak usah khawatir. Kemeja saya tebal, kok. Jadi pakai kemeja aja itu udah hangat. Beda sama kamu yang pakai kaos saja, pasti kedinginan nanti." Saya pun kembali memberikan jas itu ke pangkuan Nara. Gadis ini cuma pakai kaos yang kebesaran saja sok-sokan nggak memerlukan jas saya. Nanti kalau dia masuk angin, Bang Vano pasti menyalahkan saya. Lagian, Nara senang sekali menyebut saya dengan sebutan 'anak manja'.
"Ya, udah. Makasih." Nara tersenyum sembari menerima jas yang saya berikan. "Yuk, Dis." Ia dan Gladis lalu masuk ke ruangan yang dalam.
***
"Woi, pada bangun napa! Mau pulang kaga lo?!" Teriakan itu membuat saya yang tadinya masih memejamkan mata, jadi terbangun. Siapa lagi kalau bukan Rizal yang heboh.
"Apa, sih, Zal ...." Saya menganga tak percaya saat melihat yang dihadapan saya adalah sebuah mobil. Ternyata tak sia-sia usaha Rizal mencari sinyal. Ini adalah mobil keluarga Rizal yang digunakan untuk mengantar dan menjemputnya pulang sekolah.
"Yuk, pulang. Kalian ga mau sekolah emangnya?" ajak Rizal.
Kami semua lalu menaiki mobil itu dan segera pulang. Untungnya Rizal tak menyerah mencari sinyal.
***
Sekitar setengah jam perjalanan, kami akhirnya sampai di depan asrama. Para siswa-siswi sudah berdandan rapi hendak menuju ke sekolah. Itu membuat kami berlima lari ke dalam asrama. Segera menaiki lift dan segera menuju kamar masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Mine, Antonio [END]
Novela Juvenil[STORY 6] GENRE: TEENFICTION - SUPRANATURAL ~ PREKUEL BEFORE SUNSET ~ °°°°°°° Siapa sangka jika malam ulang tahun temannya adalah awal bencana bagi anak pengusaha terkenal yang selalu mendapat prestasi gemilang di sekolah? Iya, hanya karena satu vi...