Hasya membiarkan Nawam tertidur dalam pangkuannya. Ia dengan telaten mengelap begian wajah Nawam yang bersimbah darah. Dengan tenang Hasya mengambil satu demi satu helai tisu yang sudah tinggal separuh. Tak lupa ia juga bagian hidup Nawam dengan air mineral yang selalu tersedia di dalam mobil. Niat hati ingin langsung membawa Nawam ke puskesmas terdekat, namun saat dirinya hendak meminta tolong kepada orang, Nawam dengan kondisi setengah sadar menggenggam pergelangan tangan Hasya seraya menggeleng lemah.
"Bangun, Mas. Lama banget tidurnya," gurau Hasya. Satu menit yang lalu, ia baru saja melihat dahi Nawam mengernyit, namun sedetik kemudian berubah seperti sedia kala, tenang.
"Emmmm..." erangnya. Namun masih dalam posisi mata terpejam. Hasya jadi curiga jika pemuda itu hanya pura-pura agar mendapat perhatian khusus darinya.
Nawam segera beranjak dari pangkuan Hasya. Pening di kepala masih terasa. Sepertinya luka lama kembali terbuka sebab ingatannya seringkali menjelajah ke masa kecil membuat dirinya reflek memukul kepalanya sendiri. Nampak sekali gurat kesakitan di wajahnya, giginya menyatu mengeluarkan desisan akibat menahan sakit. Hasya kembali khawatir, ia segera mengambil alih kursi kemudi. Memapah Nawam untuk berpindah posisi. Tanpa bertanya lebih dulu, segera ia lajukan mobil untuk menuju rumah sakit terdekat, ia mencari di google maps, butuh sekitar sepuluh menit untuk sampai dengan kecepatan rata-rata.
Nawam duduk meringkuk memegangi kepalanya yang teramat sakit, sedangkan Hasya hanya mampu menangis dalam diam, ia tak menyangka akan mengalami hari seperti ini saat bersama dengan sang kekasih. Saat tiba di lampu merah, Hasya dapat melihat jika hidup Nawam kembali mengeluarkan darah, ditambah dengan air mata yang sudah mengalir secara bergantian. Kemelut dihatinya semakin memuncak, ia tak ingin berlagak panik, sebab hanya memperkeruh keadaan.
"Mas, tahan ya? Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit. Hasya yakin Mas kuat," kalimatnya memang penuh semangat namun tidak dengan manusianya.
Tiba di rumah sakit, Nawam segera ditangani langsung oleh Wildan Kusuma Wijaya selaku Dokter Spesialis Saraf. Nawam langsung di tempatkan ke dalam ruang ICU sebab kondisinya yang kritis. Hasya menunggunya dengan setia di depan pintu, sesekali wajahnya ia tampakkan dari balik jendela, barangkali yang tengah tertidur di dalam ruangan sempat membuka mata meski hanya sesaat. Hasya masih merahasiakan ini dari Danastri, ia tau betul jika wanita paruh baya itu memiliki riwayat penyakit jantung, jadi, untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan Hasya memilih untuk tetap diam.
Dokter Wildan menyapa Hasya sebentar sebelum memasuki obrolan ke ranah yang lebih serius. Dokter yang usianya baru menginjak dua puluh tujuh tahun itu tampak nyaman berbincang dengan Hasya. Bahkan Dokter Wildan sempat mengajak Hasya untuk makan dulu di kantin rumah sakit sembari memulai percakapan, namun Hasya menolaknya dengan halus, ia tidak mau meninggalkan Nawam sendirian di ruangan yang sunyi.
"Mbak Hasya kenal Galen dari kapan? Kebetulan dia adek tingkat saya dulu pas masih SMA," ucap Dokter Wildan memulai percakapan.
"Baru-baru ini, kurang lebih ada sekitar tiga atau empat bulanan," jawabnya.
"Sebelumnya anda tau, jika saudara Galen mempunyai riwayat penyakit apa?" Hasya menggeleng. Dokter Wildan menarik nafas pasrah. "Galen merahasiakan penyakitnya dari siapapun, termasuk ibunya. Tapi, menurut saya, anda perlu tau, dia sudah memendam dan menahannya terlalu lama. Galen Arnawama menderita COT atau Cedera Otak Traumatik.
19 Agustus 2016
Saat hendak masuk Universitas, Danastri berinisiatif membelikan Nawam sepeda motor agar tidak perlu naik kendaraan umum untuk pulang pergi. Sebab, Nawam juga tidak mau tinggal di asrama kampus ataupun kos-kosan, karena tentu saja ibunya akan berada di rumah sendirian. Ia tidak tega jika harus melakukan itu.