Obatnya sudah hampir habis, menandakan hari menuju konsultasi semakin dekat. Hasya sedikit khawatir jika nantinya bertemu dengan Nawam hingga akhirnya membuat pemuda itu tau penyakit apa yang sedang dideritanya. Bukan karena malu, namun lebih pada takut jika setelah mengetahuinya Nawam akan menjauh. Hingga berujung ditinggalkan sendiri. Padahal minggu kemarin ia baru saja meninggalkan pemuda itu. Meski tindakan bertolak belakang dengan isi hatinya.
Bubur ketan merah yang sudah dimasak oleh Arumi hanya menjadi mainan bagi Hasya, ia sama sekali tak berminat untuk menelan makanan, pusat perhatiannya tertuju pada seorang lelaki yang begitu ia rindukan, apalagi keduanya belum sempat bertukar nomor ponsel. Nasib jomblo selama bertahun-tahun, sekalinya dapat justeru memilih untuk mengabaikan. Hasya memang sulit ditebak.
Seperti kemarin sore, ia rela mengendarai mobil hingga tiba di komplek perumahan Nawam, berjalan mengelilingi rumah, dengan harapan dapat melihat meski hanya sesaat, namun dirinya justeru disangka sebagai maling karena berusaha menguntit rumah yang penghuninya hanya ada dua orang saja sedangkan usahanya begitu melejit. Hasya bahkan hendak dibawa ke kepala desa untuk diinterograsi, barulah saat ia mengeluarkan kunci mobil dan beberapa kartu yang melambangkan identitas bank, mereka percaya jika Hasya bukan orang sembarangan. Harta memang terkadang bisa merubah segalanya dalam sekejap, pun sebaliknya, bisa juga melenyapkan.
Kini, ia sedang mondar-mandir di depan pintu kamar Falah, pemuda itu enggan membukakakn pintu sebab masih sibuk dengan revisi Tugas Akhir. Padahal Hasya hendak meminta petuah tentang bagaimana caranya bisa membuat lelaki yang menyukai kita tanpa tanpa tau kalau kita sebenarnya menyimpan penyakit mental. Sekali lagi, ia tidak malu, hanya ragu untuk mengakui. Lagipula, jika sudah tau pun Nawam pasti akan bertanya alasan dibaliknya. Membuat Hasya harus bernostalgia ke masa lalu. Sungkan sekali, dirinya sudah lumayan membaik, namun harus terus mengingat demi lancarnya proses pengobatan.
Dokter Pamungkas juga menyarankan beberapa kegiatan yang kiranya bisa digunakan untuk meregulasi amarah atau mengurangi kecemasan, seperti refleksi, meditasi, dan berolahraga. Hampir sudah Hasya lakukan semuanya kecuali berolahraga, ia terlalu sungkan untuk melakukan kegiatan tersebut, alasannya selalu sama yakni mengantuk. Ia juga malas jika tiba-tiba orang rumah bertanya sebab keheranan dengan tingkah Hasya yang tiba-tiba berubah.
"Udah lama aku enggak menyapa mereka," rembulan perlahan redup tertutup oleh kabut. Gerimis mengundang petir. Keduanya datang beriringan dan langsung disusul oleh angin kencang. Dingin. Hasya lekas menutup jendela dan menyibak tirai, menyalakan lampu dengan cahaya remang-remang. Ia sudah siap dengan buku diary berwarna abu-abu dan biru muda.
Untuk Melati :
Hai, apa kabar? Aku tau udah enggak sewajarnya aku melakukan hal seperti ini yang jelas-jelas tak akan pernah mendapat balasan. Tapi, aku akan tetap melakukannya sampai kapan pun, sampai aku masih punya keinginan untuk menulis. Aku kangen, kamu kangen aku enggak? Aku sakit... kamu tau kan? Aku trauma, tapi aku bahagia. Gimana dong? Lucu kan? Jangan lupa untuk ketawa.
Ditutupnya buku berwarna abu-abu, dan dilanjutkan dengan membuka buku berwarna biru muda.
Untuk Raina :
Ra... kenapa kisah kalian sama? Aku sudah kehilangan dua kali selama menempuh pendidikan. Kali ini, aku rela berhenti sebab ingin fokus ke diri aku sendiri. Aku sakit, Ra. Trauma. Tapi ini bukan apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang kalian alami. Aku akan berusaha untuk hidup tenang, meski hari-hari dihiasi aroma obat yang begitu menyengat.
***
Pakaiannya begitu simple. Ia hanya mengenakan rok plisket warna putih yang panjangnya melebihi atas lutut dan sweater rajut berwarna biru muda. Tak lupa dengan rambut yang kedua sisinya dipilin kemudian diikat ke belakang. Hasya tak nyaman sebab sudah mulai banyak yang mengenalinya, terutama rekan kerja ayahnya, jadi, ia memutuskan untuk memakai masker. Tidak apa-apa jika wajah cantiknya harus tertutup daripada ia harus tersenyum sembari menjawab sapaan hampir seluruh pegawai rumah sakit. Ia tak suka berbasa-basi dengan orang yang baru berpapasan dengannya beberapa kali saja.