Rupanya Ben sudah membuka bisnis sendiri. Dan kebetulan dirinya ingin memberi beberapa baju sebagai hadiah untuk karyawannya, meskipun dulu terkenal perhitungan, namun semenjak memiliki perkerjaan ia menjadi lebih dermawan. Ketiganya sempat makan bersama meski hanya sebentar, Ben bahkan tak segan-segan menyapa Nawam dan mengaku bahwa dirinya dulu pernah menyukai gadis itu. Nawam hanya terkekeh, baginya, Ben adalah anak ingusan yang usianya berjarak cukup jauh dengannya, jadi ia tak terlalu memperdulikannya, toh perasaan yang kerap kali muncul di anatara perempuan maupun laki-laki memanglah wajar.
Nawam kembali mengemudikan mobil milik Hasya, seperti biasa, pemuda itu menuju rumah sakit dengan menaiki taksi. Hasya tak masalah, itung-itung dirinya bisa istirahat kalau perlu tidur sekalian.
"Hasya mau ikut Mas enggak? Disana rame loh," tawar Nawam, bermaksud mengajaknya untuk ikut ke acara pentas seni nanti.
"Kayaknya enggak bisa deh, Mas. Kebetulan pas tanggal itu Hasya ada jadwal konseling."
"Emmm, gitu. Ya udah. Nanti hati-hati ya..."
Hasya hanya mengangguk. Namun matanya reflek membulat. Ia baru saja mengatakan kata keramat yakni "konseling" yang biasanya ditujukan untuk pasien pada psikiater atau psikolog. ia langsung menepuk jidatnya lastas menggerutu, menggumamkan kata payah untuk dirinya sendiri.
"Kadang mulut sama otak emang susah untuk diajak kerja sama, Sya. Jadi ya gitu, keceplosan," ledek Nawam.
"Enggak papa, enggak perlu minder. Santai aja, kayak sama siapa."
"Bukan minder, Mas. Aku cuman takut suatu saat Mas bakal menjauh dari aku sebab punya gangguan mental."
"Nah kan, keceplosan lagi, padahal Mas enggak tanya sama sekali."
Sepanjang perjalanan, Hasya hanya diam, ia tengah merutuki kecerobohan dirinya, bagaimana bisa ia begitu lepas mengatakan seputar penyakitnya pada orang yang baru dikenal selama beberapa minggu terakhir ini. namun, ia emang merasa bahwa Nawam adalah orang yang dapat dipercaya, yang tidak suka meneceritakan sesuatu milik orang lain, apalagi yang sifatnya privasi. Bahkan tadi saat mendengar Hasya mengatakan tentang penyakitnya pun, wajah pemuda itu masih nampak tenang, tak ada tanda-tanda keterkejutan.
"Mas enggak kaget?"
"Kaget kenapa? Tentang, penyakit kamu?"
"Emmmm, Hasya memainkan jemarinya, ia kini merasa gugup sekali."
"Enggak lah, untuk apa kaget, banyak diluar sana yang menderita seperti kamu, jadi jangan pernah merasa sendirian," Hasya mengulum senyum, kini ia dapat bernafas lega setelah mengetahui respon orang yang tengah ditaksirnya.
"Mau langsung pulang apa gimana?" tanya Nawam, keduanya sedang berhenti di bawah lampu merah.
"Hasya pengin ketemu sama Ibu."
"Oke, siap. Mobil segera melaju menuju ke tempat tujuan dalam kisaran waktu sepuluh menit," ujar Nawam diselingi dengan gurauannya. Hasya tertawa lepas, entah kapan kali terakhir dirinya bisa merasa bahagia seperti ini. Nawam memang benar-benar sesuatu untuknya.
Sampai di pekarangan rumah yang begitu luas, Nawam segera memarkirkan mobil, sebelum sampai, Hasya sempat meminta untuk mampir ke toko buah lebih dulu. Ia membeli satu parsel buah-buahan yang isinya beraneka ragam. Segera ia masuk mendahului Nawam.
"Assalamu'alaikum, Ibu, Ini Hasya..." suaranya memecah keheningan di rumah yang terlihat begitu rapi.
"Wa'alaikumussalam... Ya Allah, Nduk... Kamu kesini sama siapa? Kok ndak bilang-bilang dulu. Kalau tau kamu kesini, bakal Ibu bikinin makanan yang enak-enak," Danastri begitu bahagia menyambut kedatangan Hasya. Layaknya mertua yang menyambut menantunya berkunjung.