Nawam membiarkan Hasya menangis sepanjang perjalanan menuju pantai. Benar sekali, Nawam berniat membawa Hasya ke tempat tersebut. Namun, bukan pantai tempat awal mereka bertemu, letaknya cukup jauh dari rumah sakit. Membuat Hasya tertidur lelap karena lelah sebab air matanya tak kunjung berhenti.
Hujan deras mengguyur jalanan kota Surabaya. Menciptakan suasana syahdu bagi dua sejoli yang masih malu-malu untuk menyatakan perasaan. Meski pada kenyataannya mereka saling suka, namun mereka lebih memiliki untuk berteman lebih dekat dulu. Memahami Hasya adalah PR bagi Nawam, terlebih Hasya belum menceritakan sumber penyakitnya berasal dari mana pastinya.
Nawam menyalakan musik, pemuda itu memiliki selera musik yang berbeda, ia lebih suka lagu-lagu Mandarin yang terkadang digunakan sebagai pengiring drama pada umumnya. Ia bersenandung ria, sebelah tangannya bahkan ia gerakan karena sebegitu menikmatinya. Dua hal yang membuatnya bahagia kini sudah berada disisinya. Ia tentu tak akan melepaskannya begitu saja.
Cintanya kini sudah mulai berlabuh, setelah sekian lama sendiri. Terakhir, mantan kekasihnya berselingkuh dengan duda kaya raya langganan cathering di tempat ibunya. Kala itu, ia begitu terpukul. Meski kejadian itu sudah berlangsung delapan tahun yang lalu, namun tetap saja kenangannya masih tersisa. Apalagi gadis itu pernah dengan sukarelanya ingin menyerahkan harga dirinya secara cuma-cuma pada Nawam, meski ditolak mentah-mentah oleh pemuda itu.
Bahunya seketika bergidik saat mengingat kejadian itu. Apalagi kalimat serta kostum yang dikenakan oleh mantannya itu. Membuat Nawam ingin muntah saat itu juga. Entah siapa yang mengajarinya, namun terkahir kali, Nawam mendengar jika mantannya selepas menikah dengan duda tersebut, sebulan kemudian cerai akibat mengalami kekerasan dalam rumah tangganya.
Sampai di tempat, Nawam membangunkan Hasya dengan penuh kelembutan, sebab takut jika gadis itu terkejut. Matanya mengerling, melihat sekitar, tempat asing yang belum pernah ia tapaki sama sekali, tangannya reflek berada di depan sebagai bentuk perlindungan, Nawam mengernyitkan dahi, bingung dengan tingkah Hasya barusan. Namun, tak butuh waktu lama untuk menebak apa yang ada dipikiran gadis itu.
"Jangan takut, Mas enggak punya niatan buruk sama kamu. Mas cuma pengin kamu bisa sedikit menenangkan diri, maka dari itu Mas bawa kamu kesini," papar Nawam.
"Tapi enggak ada satupun orang disini. Mas beneran kan, enggak akan mencelakai Hasya? " Nawam mengangguk serius.
"Tapi dari sekian banyak pantai, kenapa harus kesini, yang bahkan enggak berpenghuni sama sekali?" Hasya takut-takut memandang sekitar.
"Kata siapa enggak ada orang? Tuh liat, ada banyak nelayan yang baru selesai nangkep ikan," tunjuknya pada beberapa nelayan yang baru saja turun dari kapal.
"Tujuan Mas bawa Hasya kesini buat apa?" Wajah masamnya sudah nampak berseri. Tak sekacau tadi.
"Emmm, main lah. Maksudnya main dipinggir pantai gitu. Bikin istana dari pasir, atau nyari-nyari kerang sama batu warna-warni," Nawam begitu antusias menjelaskan hal-hal apa saja yang menurutnya menarik. Membuat Hasya seketika mampu menghilangkan perasaan takutnya.
Tanpa berpamitan, Hasya langsung turun dari mobil dan berlari menuju pinggir pantai, berteriak selepas mungkin, namun tidak ada satupun dari mereka yang kelihatan terkejut. Seolah hal seperti itu sudah sering dilakukan oleh pengunjung-pengunjung lain.
Nawam duduk di tepian dengan tenang, memandang sekitar tanpa halangan. Pikirannya seketika jernih saat melihat sosok yang dicintainya kembali tersenyum. Serupa beban yang membuat punggungnya menunduk, seketika hilang saat melihat paras eloknya. Hasya begitu cantik di mata Nawam, bukan hanya di matanya, namun di mata orang-orang yang mencintai Hasya.
Seumpama perhiasan, Hasya adalah berlian yang dipendam dalam tumpukan kerikil-kerikil pembawa sial. Kerikil yang menciptakan luka di telapak kakinya. Kerikil yang membuat tangannya tergores hingga darah segar keluar begitu saja.