30. Tak Seperti Biasanya

28 18 0
                                    

Semenjak Nawam sudah diperbolehkan pulang ke rumah, ia berubah menjadi sosok yang teramat manja pada Hasya, tak ingin sedetik pun berjarak. Untungnya, Danastri tidak curiga saat Nawam tidak pulang selama dua hari satu malam, Hasya memberi alasan yang cukup logis, ia mengatakan jika Nawam ada pekerjaan tambahan untuk mengontrol Latihan anak-anak di sanggar miliknya sendiri. Tentu saja Danastri percaya sebab kalimat itu keluar dari mulut perempuan yang digadang-gadang menjadi calon menantunya. Saat kepulangan Nawam pun, Zayn yang dengan sukarelanya mengantar sampai rumah, namun ia memutuskan untuk langsung pulang tanpa mampir terlebih dahulu.

"Ayah kamu enggak suka sama hubungan kita?" Tanya Nawam saat baru saja turun dari mobil.

"Jangankan suka sama hubungan kita, suka sama anaknya sendiri aja enggak," entah mengapa mulut Hasya lancar sekali meloloskan kalimat itu. "Udah, Mas, jangan terlalu dipikirin, beliau memang seperti itu, enggak pinter basa-basi," ucap Hasya menutupi sifat angkuh ayahnya.

Danastri sudah menyiapkan makan siang yang begitu mewah, ia bahkan rela pergi ke pasar pagi-pagi sekali demi bisa mendapatkan ikan yang masih segar. Ia berencana membuat pepes ikan request dari calon menantunya itu. Sambutan dari aroma masakan menguar memenuhi indera penciuman, benar saja, masakan sudah siap semua, tinggal menatanya di atas meja. Hasya mengabaikan Nawam yang tengah kesusahan membawa tas berisi pakaian kotornya, dan memilih untuk membantu Danastri. Pakaian itu sengaja Hasya ambil dari sanggar, beruntung Nawam punya beberapa cadangan pakaian disana.

Ketiganya makan dengan lahap. Ikan pepes, udang terasi, sambal bawang, acar, lalapan, ayam goreng, dan nasi putih yang baru saja matang menambah nikmat acara makan pada siang hari ini. Terkhusus Nawam yang kemarin hampir makan bubur tanpa rasa sedikitpun akibat lidahnya yang terasa pahit. Nawam bahkan sampai menambah beberapa kali, berbeda dengan Hasya yang hanya nambah tiga kali, itupun masing-masing tambahan berisi satu centong nasi dengan porsi besar.

Hasya memilih untuk duduk di teras depan sembari menunggu Nawam bersiap-siap, pemuda itu langsung meminta waktunya untuk mau berjalan-jalan sampai petang menjelang. Entah kemana, asalkan bersama. Hasya juga sedikit memoles wajahnya kembali agar terlihat lebih segar. Sudah siap, tepat pukul dua, keduanya berangkat dengan menggunakan mobil Nawam. Untungnya bekas darah kemarin siang sudah dibersihkan oleh tukang cuci mobil, Hasya sengaja membawanya kesana, ia tak sanggup membersihkannya sendiri sebab takut melihat darah. Tubuhnya reflek lemas saat melihat begitu banyak bercak atau tetesan darah. Terlebih lagi itu adalah darah milik kekasihnya.

"Sebenarnya kita mau kemana, Mas?" tanya Hasya, pasalnya keduanya hanya berputar-putar mengelilingi jalan yang sama.

"Kemana aja, kita muter-muter dulu sambil mikir mau kemana, nanti kalau udah capek baru deh berhenti buat cari makan."

"Hasya penginnya kemana?" sambungnya, dengan balik bertanya.

"Nurut aja deh, Mas. Hasya jarang keluar, jadinya enggak terlalu tau sama tempat-tempat untuk nongkrong," jelasnya yang memang suatu kebenaran.

Keduanya berhenti di salah satu rest area yang nampak begitu ramai. Banyak penjaja makanan yang sudah siap melayani pembeli, di depan ada sebuah telaga yang sangat indah, berhubung sekarang hari libur, pengunjungnya terlihat membludak, hampir memenuhi tepian telaga yang dibatasi oleh pagar besi. Di sekeliling banyak sekali pohon pinus yang menjulang tinggi, persis seperti sedang berada di hutan, membuat Hasya reflek mengetuk-ngetukan kaki di atas tanah, ia mendadak tak bisa diam.

"Hasya kenapa? Ada yang sakit? Kok mendadak pucat gitu?" Nawam meletakkan punggung tangannya pada kening Hasya untuk mengecek suhu badan gadis tersebut. taka da yang aneh, namun mulai banyak peluh serta bibir yang semakin memucat.

"Hutan belantara? Telaga? Air? Hasya ada punya trauma dari salah satunya?" bukannya menjawab, Hasya mendadak sesak nafas, membuat Nawam bergegas membawnaya ke tempat yang tidak terlalu ramai. Ia menyandarkan Hasya pada dahan pohon jati yang kiranya sudah tumbuh puluhan tahun lamanya. Dengan hari-hati, ia membantu Hasya untuk meminum air sedikit demi sedikit.

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang