Air matanya terurai membasahi lantai. seorang gadis berusia 19 tahun yang baru saja menikmati harinya dengan asmara, kini sudah harus menghadapi sidang keluarga. Ia sengaja tak membantah apapun, sebab yang terjadi adalah sesuai fakta. Entah siapa yang melaporkannya pada sang ayah, hingga nampak begitu murka. Lebih tepatnya peduli namun cara penyampainnya menggunakan kalimat-kalimat kasar sekaligus menyindir.
"Enak ya, disuruh melanjutkan pendidikan malah asyik-asyikan kencan. Jelasin ke Ayah, siapa laki-laki sialan itu!" bentaknya. Dada Hasya bergemuruh, ia sama sekali tak terima jika Nawam dipanggil seperti itu.
"Mas Nawam bukan laki-laki sialan, dia laki-laki baik nomer satu yang pernah Hasya temui!" jawabnya tak kalah lantang.
"Mas Nawam? Nomer satu?" Zayn menyeringai, mengerikan sekali, membuat siapapun yang melihat akan merinding dalam hitungan detik.
"Udah diapain aja kamu sama dia? Kamu enggak lupa kan sama kejadian enam bulan yang lalu?" Falah ikut menimpali. Hasya tersenyum getir. "Kamu enggak trauma sama laki-laki? Enggak takut bakal disakitin sama dia? Semudah itu kamu jatuh cinta? Murahan tau enggak? Hati Hasya mencelos.
"Kalaupun trauma, Mas Nawam sama sekali enggak pantas dijadikan sebagai alasan aku untuk takut jatuh cinta, dia enggak seharusnya masuk ke dalam daftar laki-laki yang harus dicurigai. Dia adalah manusia yang menganggap kehadiran aku di dunia selain Melati dan Raina. Enggak seperti kalian," jarinya menunjuk ke arah sang ayah juga kakak.
"Tapi yang menganggap kamu ada di dunia, justeru sudah lebih dulu meninggalkan dunia," Falah berjongkok menatap lekat wajah kusam milik adiknya. "Kamu enggak takut, kalau laki-laki yang kamu sukai akan mengalami hal yang serupa?"
"Arghhhhh!!!" Hasya membanting apapun yang ada di genggamannya. Termasuk ponsel. Semua hancur menyisakan kepingan-kepingan yang sulit disatukan kembali. Falah, Zayn, begitu juga Mustika tercenung melihat tingkah gadis yang selalu mereka anggap sebagai manusia paling tenang.
***
Angin diatap gedung rumah sakit milik ayahnya bekerja sungguh membuat candu. Meski ini baru yang kedua kalinya Hasya mengulang untuk bisa merasakannya lagi. Entah ada alasan apa, Zayn tiba-tiba meminta Hasya untuk ikut ke rumah sakit, katanya ia akan mempertemukan putrinya dengan seseorang. Hasya tak banyak bertanya, setelah kejadian tempo hari, anggota keluarganya memang sedikit melunak padanya. Hasya malu setiap kali mengingat itu, bagaimana ia bisa lepas kendali sampai sebegitunya.
Kata ayahnya, orang tersebut adalah rekan kerjanya sekaligus teman sekolahnya dulu. Meski masih dirahasiakan, Hasya tidak sebodoh itu untuk bisa menebak apa rencana ayahnya, kemarin ia sempat melihat-lihat jadwal praktik dokter di salah satu akun media sosial milik rumah sakit tersebut. ada sepuluh dokter yang memiliki jadwal untuk hari ini, dan dari semuanya yang terlihat seumuran hanya ayahnya selaku Dokter Spesialis Bedah Saraf dan Dokter Pamungkas yang bergelar Sp,KJ yakni dokter spesialis kejiwaan atau yang biasa kita kenal dengan sebutan psikiater. Zayn berpesan pada dirinya untuk tidak memberitahu perihal ini pada Mustika dan Falah lebih dulu, karena masih permulaan, sekali lagi, ia hanya mampu menurut, toh ide ayahnya tak bisa dikatakan buruk, hal itu dilakukannya kebaikan sang anak.
"Ayo, sekarang giliran kamu yang ketemu sama Dokter. Beliau sudah menunggu di ruangan," sebab ponsel Hasya sengaja dimatikan, membuat Zayn kesulitan untuk menghubungi dan berakhir menyusul naik ke atap rumah sakit.
"Hasya harus ngapain kalau udah ketemu? Harus ngomong apa?" jujur, ia bingung, meskipun ia sendiri merasa ada yang sakit, namun sulit sekali jika harus merangkaianya menjadi kalimat.
"Untuk sesi pertama, biasanya hanya perkenalan. Kalau semisal Dokternya tanya tentang keluhan kamu, bilang sejujurnya saja. Enggak perlu ada yang disembunyikan. Meskipun itu berhubungan langsung dengan keluarga, termasuk Ayah," Hasya tertegun, Zayn benar-benar berubah, ia takut jika ayahnya kesambet hantu penunggu rumah sakit karena tetiba sekali bersikap baik padanya. Hasya mengangguk mengakhiri percakapan dengan sang ayah. Ia turun mendahului Zayn, setidaknya ia sudah tau dimana letak ruangannya karena tadi sempat melihat-lihat sebentar.
