Bagian 1 : Park Jeongwoo

2K 171 13
                                    

Langkah kaki itu mengendap-endap di tengah remang-remang cahaya. Jam dinding telah sampai di waktu-waktu tengah malam. Seharusnya kali ini berhasil, mengingat ruang tamu terasa sepi tanpa kehidupan.

Langkahnya semakin dipercepat, sembari menenteng sepatu di tangan kanannya. Sengaja ia lepas untuk meredam bunyi sekecil apapun.

Karena ia tidak boleh sampai ketahuan.

Atau--

Ceklek

Bunyi klik yang entah darimana, disusul dengan cahaya yang membuat lelaki itu merasa silau untuk beberapa saat. Sampai ia menyadari bahwa posisinya kini sedang dalam bahaya, matanya membulat sempurna ketika melihat seorang pria paruh baya duduk di kursi dengan tangan melipat di depan dada. Setelah jas masih melekat di tubuhnya menandakan lelaki itu bahkan belum memasuki kamarnya.

Sedetik kemudian, ia mengubah posisinya menjadi berdiri tegap dengan senyuman canggung.

"Ayah?! Kok belum tidur?" Ia mencoba mencairkan suasana seolah berharap bahwa sekali ini saja sang ayah akan membiarkannya naik ke atas kamar dan tertidur karena besok dia harus berangkat pagi-pagi.

"Kamu pikir Ayah bisa tidur kalo tau anak satu-satunya belum pulang? Main kemana aja kamu? Kelayapan nggak tau waktu." Sang ayah mendesah frustasi, ia menyaksikan putra satu-satunya yang kian hari kian meresahkan.

"Suntuk di rumah Yah, tiap hari denger tim sukses Ayah ngasih strategi kampanye." Lelaki itu membuat ekspresi seolah malas dengan semuanya.

"Kim Doyoung!"

Oke, nama lengkapnya sudah disebut. Itu artinya sang ayah mungkin tidak akan melepaskannya dengan mudah kali ini. Doyoung diam, siap mendengarkan kalimat-kalimat yang nantinya mungkin akan membuatnya sakit kepala.

"Kamu tau sebentar lagi pemilihan walikota. Ayah capek-capek kampanye tapi kalau orang tau kelakukan kamu, yang ayah lakuin bakal sia-sia."

Kim Jihoon, Ayah dari Doyoung itu tak tau harus melakukan apalagi untuk membuat Doyoung seperti dulu, maksudnya anaknya sudah cukup banyak berubah. Dari pintar dan penurut menjadi liar seolah dirinya adalah dua orang yang berbeda.

"Pemilihan walikota itu urusan Ayah, bukan urusan Aku. Lagian Aku nggak pernah nyombongin diri kalo aku anak Ayah, seharusnya nggak ada yang tau." Balas Doyoung santai. Ia bahkan sempat melihat jemari kuku nya seolah tak tertarik dengan pembicaraan ini.

Jihoon melepas kacamatanya, ia sudah tau akan respon dari sang putra yang seperti ini.

"Kalau gitu, kamu harus terima keputusan Ayah sekarang ini."

Setelah kalimat itu, perhatian Doyoung tertarik kembali. Sampai kemudian ia menyadari bahwa sedari tadi ada presensi lain yang juga tengah menatapnya dengan tatapan tajam. Entah sejak kapan Doyoung seperti merasa terintimidasi. Tubuh tegap dengan balutan jas membuatnya semakin...menakutkan?

Ah, tidak!

Tidak mungkin tiba-tiba dirinya akan dijodohkan dengan orang ini.

"Ini Tuan Park——"

"Nggak mau, Ayah!" Doyoung bahkan tak membiarkan Jihoon menyelesaikan kalimatnya.

Sedangkan sang Ayah mengedikkan bahu seolah tak peduli.

"Dia yang bakal ngawasin semua kegiatan kamu."

Doyoung menaikkan sebelah alisnya, sepertinya dugaannya salah, bahkan mungkin kali ini lebih buruk dari sekedar perjodohan.

"Ayah mau dia ngawasin semua kegiatan aku?" Doyoung menunjuk seseorang yang namanya tidak lengkap disebut, tapi katanya tadi adalah Tuan Park.

"Namanya Park Jeongwoo. Yang sopan kalau sama orang!"

Doyoung menghela napas malas. Tapi rasa penasarannya lebih dominan.

"Ya siapapun itu, dia bakal ngawasin aku?" Doyoung terkekeh mengejek.

Memangnya sang Ayah tidak memberitahu kepada Jeongwoo-Jeongwoo ini bagaimana nasib para bodyguard Doyoung yang diminta Jihoon untuk mengawasi kegiatan laki-laki itu. Sangat mengenaskan, bahkan tidak ada yang bertahan dalam satu bulan, mereka rela tidak menerima gaji daripada harus bekerja dengan Doyoung.

"Saran aja sih, mending anda pergi selagi bisa. Saya ini merepotkan." Kata Doyoung kepada Jeongwoo. Tapi lelaki itu nyaris tanpa ekspresi, dan entah kenapa Doyoung bahkan tak bisa menatapnya lama-lama.

"Saya suka yang merepotkan." Kali ini Jeongwoo buka suara, seolah menerima tantangan Doyoung. Dan lelaki itu kembali menatap sang Ayah.

"Doyoung nggak mau, dia jelek."

Jihoon nyaris tersedak, tapi untungnya ia dapat mengatasi nya.

"Keputusan Ayah udah bulat. Tuan Park bakal ngawasin semua kegiatan kamu, dia punya hak nyeret kamu pergi kalau kamu pergi ke tempat yang enggak bener. Dan semua keuangan kamu, dia yang pegang--"

"APA!"

Tidak bisa, biasanya kalau sang ayah mengirim bodyguard tidak sampai mengurusi keuangan.

"Doyoung nggak mau!" Balas Doyoung dengan sedikit berteriak.

Sedangkan Jihoon mengangguk.

"Karena Ayah lagi masa kampanye, Ayah nggak bisa usir kamu sembarangan. Jadi pilihannya kamu terima keputusan Ayah atau ayah kirim kamu ke asrama." Kata Jihoon puas melihat sang putra yang sepertinya tidak memiliki pilihan.

Sejujurnya di asrama jauh lebih buruk daripada harus diawasi oleh bodyguard. Doyoung pernah sekali dikirim kesana, dan dia harus memohon-mohon kepada Ayahnya untuk dipulangkan. Dan Doyoung tak ingin lagi kesana.

Lagipula, memangnya Jeongwoo ini bisa tahan berapa lama sih?

Dengan banyak sekali rencana tersusun, akhirnya laki-laki itu mengiyakan keputusan sang ayah walaupun sedikit terpaksa. Dan kemudian ia pergi begitu saja tanpa berpamitan meninggalkan dua orang di ruang tamu.

Sepeninggal Doyoung, Jihoon menatap Jeongwoo dengan penuh harapan.

"Dia berubah sejak ibunya pergi. Kamu yakin bisa ngatasin dia?"

Sedangkan Jeongwoo mengangguk pasti, ia tau tak akan mudah mengatasi isi pikiran Doyoung. Namun ia tidak akan semudah itu kalah.

"Saya akan menaklukkan dia."

***

Halooo,

Aku membawa Jeongbby lagi dengan versi yang lain. Dan seperti biasa, semua yang terjadi disini biarlah tetap disini, maaf jikalau alur-alur ke depannya akan sangat membosankan atau tidak sesuai. Semoga apa yang aku buat bisa menjadi hiburan untuk kalian yang sedang berat menjalani hari.

Mari saling menghargai.

Aku harap kalian suka❤️

FEIGN || JEONGBBYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang