Seperti halnya hidup, semuanya tak berlangsung baik dan menyenangkan setiap hari. Ada masa dimana semua kejadian buruk berkumpul menjadi satu di dalam satu hari. Dan Doyoung mengalaminya hari ini.
Sejak tadi, Doyoung seolah mendapatkan banyak kesialan. Termasuk karena Jeongwoo sedang berada di luar kota hari ini. Bukannya Doyoung merindukan lelaki itu, hanya saja terasa sepi tanpa menjahili Jeongwoo. Padahal biasanya yang terpancing emosi juga Doyoung.
Doyoung sejenak berhenti sesaat setelah memasuki rumah sebab ia melihat sang ayah tengah duduk dengan televisi menyala.
"Ayah pulang?"
Jihoon melirik jam lalu setelahnya ia menghela napas. Ia menyuruh Doyoung untuk mendekat kepadanya. Pria paruh baya itu seperti sedang menahan sesuatu.
"Apa ini?"
Doyoung mengerutkan keningnya saat melihat beberapa lembar foto tersaji di atas meja. Ia lebih bingung ketika melihat potret dirinya ketika sedang berada di dalam club. Ditemani beberapa wanita yang sebenarnya sudah Doyoung tolak.
"Darimana ayah dapat foto ini?"
Jihoon berdecak, raut wajahnya menandakan bahwa sang ayah memang sedang dalam masalah.
"Ayah udah bilang sama kamu buat nggak macem-macem sampai pemilihan kan? Ini apa hah? Ada yang ngepost ini di media sosial. Ayah dalam masalah, Doyoung!"
Doyoung mengerutkan keningnya sekali lagi. Melihat kembali kapan tepatnya terakhir kali ia pergi ke club untuk bersenang-senang. Dan foto ini kalau tidak salah terjadi sebelum Jihoon mendaftar sebagai calon walikota.
"Ini udah lama, Ayah. Waktu Ayah belum nyalon. Doyoung nggak macem-macem kok."
Jihoon nampaknya masih belum puas dengan penjelasan Doyoung. Sebab masalahnya foto itu banyak dilihat oleh orang sehingga mengubah persepsi mereka tentang Jihoon. Hal ini tentu merugikan bagi nya.
"Emang apa yang kamu cari di tempat itu? Ayah nggak pernah ngajarin kamu main wanita kayak gitu. Sekarang lihat, ayah yang kena imbas nya." Kata Jihoon. Kepalanya nyaris pecah setelah foto ini diunggah oleh seseorang yang tak diketahui.
"Untung Jeongwoo udah beresin masalah ini. Tapi tetep aja, pendukung ayah jadi berkurang gara-gara kamu." Ucap Jihoon dengan nada sedikit naik. Ia meledak begitu mendengar perkiraan pendukung lawan yang lebih besar darinya. Ini merupakan ancaman bagi Jihoon.
"Doyoung juga nggak tau kalo ada yang ngefoto. Aku mana tau kalau ayah habis itu mau nyalon jadi walikota? Ayah pikir dengan kesibukan Ayah, Doyoung nggak kesepian?"
"Aku tau mana yang salah mana yang bener. Tapi harus ayah tau seberapa frustasi nya Doyoung cuma buat dilirik sama Ayah. Kita sama-sama kehilangan bunda tapi kenapa rasanya kayak cuma aku yang kesepian?"
"Ayah pikir Aku hidup di dunia ini cuma butuh uang?"
Tanpa sadar air mata Doyoung mengalir membasahi pipi nya. Ia mengusapnya kasar, melihat bagaimana sang Ayah membeku.
"Aku ngerti ayah menyibukkan diri biar nggak ingat sama bunda. Tapi ayah pikir yang keinget sama bunda cuma ayah? Doyoung nggak bisa peluk siapa-siapa saat sedih, Doyoung cuma bisa ngunciin diri di gudang, bareng sama kenangan-kenangan bunda. Ayah tau itu nggak?"
"Ayah tau nggak? dua kali Doyoung sedih karena Ayah tapi justru yang nemuin dan nenangin Doyoung itu Jeongwoo bukan ayah. Doyoung nggak pernah minta ucapan maaf dari ayah. Tapi bisa nggak Aku dipeluk kayak waktu kecil habis ayah marahin aku?"
Doyoung kembali mengusap air matanya.
"Ayah bahkan lebih peduli jumlah pendukung ayah daripada alasan kenapa aku sampai ke pergi ke club. Maaf kalau Aku ngecewain ayah. Tapi kayaknya aku juga kecewa sama ayah."
Setelah mengatakan itu, Doyoung berbalik badan dengan cepat. Ia berlari keluar mengabaikan Jihoon yang memanggilnya berulang kali.
***
Doyoung berjalan tanpa tujuan. Menikmati dinginnya angin malam yang terasa menusuk dibalik pakaiannya yang tipis. Doyoung tak memakai jaket hari ini, hanya kaus lengan pendek dan celana panjang.Hatinya terlalu kecewa, kecewa pada sang ayah, kecewa pada tuhan yang mengambil bunda nya sangat cepat, kecewa pada semesta yang seolah mempermainkannya, dan kecewa kepada Jeongwoo sebab lelaki itu tidak ada disaat Doyoung sedang ingin ditemukan. Diyakinkan bahwa di dunia ini Doyoung masih memiliki harapan. Memang bukan ia satu-satunya yang terluka atas keputusan takdir, menyerah bukanlah pilihan yang tepat.
Tapi bagaimana sekarang?
Doyoung tidak tahu ingin kemana. Ia hanya membawa langkah gontai nya menyusuri sepanjang jalan yang bisa ia tapaki. Dunia semakin kelabu saat Doyoung tak lagi dapat berpikir jernih.
Seolah langit mendukung Doyoung untuk hancur hari ini.
Bersamaan dengan petir yang perlahan saling menyaut, Tapi semua seolah tak sebanding dengan sakit yang menyerangnya perlahan.
Langkah Doyoung mulai melambat, menoleh ke belakang untuk sekedar melihat siapa yang akan mengejarnya malam ini. Membisikan kalimat penenang dan rasa khawatir. Tapi kehampaan menghiasi di tengah kesibukan kota di malam hari.
Doyoung berhenti saat dirinya sampai di sebuah jembatan besar. Lalu lintas masih sepadat saat siang. Mobil-mobil melaju menghiraukan Doyoung yang merasa putus asa malam ini.
Jembatan itu lumayan tinggi, di bawahnya mengalir sungai yang deras memberikan suara yang menenangkan. Saking tenangnya Doyoung sampai terbuai untuk melewati batas yang ia mampu.
Bagaimana sekarang? Bagaimana nanti? Semua berputar dengan kacau. Ia tidak tahu mengapa ia selemah ini. Ia tidak tahu mengapa luka nya terus terbuka meskipun ia mencoba menyembuhkannya dengan apapun. Hanya karena kehilangan sosok matahari di dalam hidupnya, hidup Doyoung menjadi gelap gulita sepenuhnya.
"Bunda?"
Doyoung tidak sedang berilusi. Ia hanya memanggil sang bunda di tengah langit yang bergemuruh. Akahkah sang bunda melihatnya malam ini? Putra kecil nya sudah sebesar ini.
"Doyoung udah ngelewatin semuanya sebisa Doyoung. Tapi kalau ternyata Doyoung harus nyerah, bunda bakalan marah nggak?"
Rasanya hampir semua kendaraan yang melewati dirinya melambatkan laju nya, seolah ingin tahu mengapa ada manusia di tepi jembatan sedang berbicara sendirian. Lalu setelahnya mereka kembali melaju tanpa peduli.
Doyoung melihat kembali ke dalam sungai yang mengalir. Terlihat jernih saat kilat menyambar sesekali.
Dan saat jemari nya menyentuh pembatas jembatan, Doyoung tiba-tiba tertarik ke belakang, tubuhnya jatuh dengan keras, matanya terpejam setelah memekik.
"KAMU GILA?"
Hah? Doyoung menetralkan degup jantungnya yang memburu, dengan perlahan ia membuka matanya saat tak merasakan sakit apa-apa. Sebuah suara itu, suara yang kemudian ia sadari siapa pemiliknya.
Lelaki itu terengah dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Ia mungkin terluka setelah menjadi 'alas' saat Doyoung terjatuh.
Tapi sesaat kemudian, tangisan Doyoung pecah. Pemuda itu meraung, tak peduli tentang apa yang dipikirkan orang atau bagaimana orang di depannya terlihat sangat marah.
Sebab kali ini, untuk ketiga kalinya, Park Jeongwoo datang tepat waktu.
***
Halooo, gimana hari nya? Apakah ada yang masih nungguin cerita ini? Ketik 'mau' buat double up😁😁
KAMU SEDANG MEMBACA
FEIGN || JEONGBBY
FanfictionSemenjak pertemuannya dengan Park Jeongwoo, hidup Doyoung seakan berada dalam tahanan. Dan Doyoung sekali lagi membenci fakta bahwa dia tak bisa lari dari sosok yang selalu ia benci itu. WARN! BXB area!