Bagian 20 : Penting

882 170 20
                                    

"Maafin Ayah."

Doyoung melirik ke arah Jihoon, perjalanan pulang kali ini Doyoung memang bersama Jihoon. Sedangkan Jeongwoo katanya ada urusan entah apa. Lagipula Doyoung pun tidak berminat untuk bertemu dengan lelaki itu.

"Buat apa?"

Jihoon menghela napas, ia tahu kesalahannya memang sebesar itu. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan lagi untuk Doyoung selain ini. Hanya Jeongwoo yang dapat menjaga Doyoung.

"Kamu terpaksa menikah kayak gini gara-gara ayah."

Doyoung melirik sang ayah, ia tak pernah sekalipun membenci sang ayah, terlepas dari rasa kehilangannya atas sang bunda yang terus menghantuinya hingga ini. Mengubah Doyoung sebanyak itu dari Doyoung si anak baik menjadi sedikit pemberontak.

Doyoung sadar dirinya banyak merepotkan sang ayah. Tapi bagaimana lagi caranya mendapatkan perhatian sang ayah selain dari itu? Sedangkan fokus sang ayah hanya mencari uang untuk kebahagiaan Doyoung tanpa pernah bertanya entah Doyoung bahagia dengan uang-uang itu atau tidak.

"Bukan salah ayah kok, Doyoung emang mau nikah. Kuliah bikin pusing. Kalo nikah ntar hidup Doyoung ditanggung sama Jeongwoo." Ucap Doyoung dengan senyum jenaka yang terpancar. Jihoon jelas tau bahwa Doyoung tak pernah menginginkan pernikahan ini sejak awal.

"Ayah sayang banget sama kamu."

"Doyoung tau."

Perkataan Doyoung sirat rasa kecewa. Jihoon tau bahwa semuanya tak akan pernah cukup untuk membuat Doyoung bahagia.

"Ayah, bisa nggak kalau kita nggak usah pulang dulu? Ayah sibuk, Doyoung jarang keluar sama Ayah."

Jihoon menghela napas, ia sangat ingin menghabiskan waktu dengan putra satu-satunya itu.

"Lain kali ya nak, Ayah harus kembali secepatnya."

Doyoung mendesah kecewa. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana untuk sekedar duduk berdua dalam waktu yang lama dengan Jihoon. Membicarakan topik selayaknya anak dan Ayah pada umumnya. Atau merasakan piknik keluarga di taman.

Seperti anak kecil, tapi kalau diberi kesempatan Doyoung ingin mengulang itu semua.

Apa kerennya menjadi anak nakal? Doyoung tak pernah ingin mengikuti pergaulan negatif yang katanya membuat semua masalahnya pergi, hidup dengan bebas dan menyenangkan. Tapi sejauh ini, Doyoung tak pernah merasakan senang selain momen bersama kedua orang tua nya.

Dan semua itu telah hilang sejak bertahun-tahun yang lalu, tepatnya sepeninggal sang bunda.

"Yaudah."

Ucap Doyoung pada akhirnya.

***

Tidak terhitung berapa kali Jeongwoo bolak-balik dari rumah ini. Rumahnya tidak sebesar milik Jeongwoo, hanya saja di dalamnya terdapat satu makhluk yang tidak ada di rumah Jeongwoo.

Ia telah membawa makanan yang diberikan oleh Asahi. Katanya untuk dimakan berdua dengan Doyoung. Tidak ada salahnya menuruti kata sang Papa walaupun hubungan Jeongwoo dan Doyoung tidak seintens yang mereka bayangkan.

Sekalian Jeongwoo mengecek bagaimana keadaan Doyoung saat ini, sekedar memastikan Doyoung tak lagi berbuat hal-hal yang tidak ia sukai. Keluar malam tidak jelas, bermabuk-mabukan atau hal-hal yang lain.

Jeongwoo membuka pintu nya seolah ini rumahnya sendiri. Keadaan rumah cukup lengang karena ini sudah malam. Hanya tersisa satpam yang berjaga di depan.

Jeongwoo langsung menetapkan tujuannya pada lantai dua tempat dimana kamar Doyoung berada. Namun, telinga nya menangkap sesuatu sejak kaki nya menginjak satu anak tangga.

Jeongwoo terpaku, memusatkan fokusnya pada pendengaran untuk memastikan suara itu benar adanya.

Lalu pandangannya berbalik, ia mengitari seluruh ruangan untuk mencari darimana asal bunyi yang membuat Jeongwoo kembali menuruni anak tangga. Langkahnya ia percepat menuju sebuah ruangan yang tertutup rapat namun tidak dikunci.

Jeongwoo terdiam sesaat setelah membuka pintu ruangan tersebut, begitupun dengan seseorang yang kini duduk sembari memeluk lututnya.

Rasanya seperti deja vu. Untuk kedua kali nya Jeongwoo menemukan Doyoung di sebuah gudang berisi segala macam pencapaian Doyoung. Lelaki itu terlihat sembab, ia tak terkejut mendapati Jeongwoo kembali menemukannya.

Sebab tujuannya tidak mengunci pintu adalah ini. Doyoung ingin ditemukan, Doyoung ingin berbicara dengan seseorang sekarang ini.

Dan ia tahu Jeongwoo pasti akan menemukannya.

"Kamu——"

Suara Jeongwoo tercekat, ia tidak menyangka bahwa Doyoung tiba-tiba memeluknya dengan cepat. Tubuh Jeongwoo membeku, tidak tahu harus berbuat apa selain diam menunggu kesadarannya kembali.

Hening menyelimuti mereka untuk beberapa saat sampai Jeongwoo memberanikan diri mengusap punggung Doyoung dengan sebelah tangannya. Kegiatan itu berlangsung cukup lama, entah karena Jeongwoo yang mendadak kehilangan kata, atau Doyoung yang tidak kunjung melepaskannya.

Maka diantara semua asumsi itu, Jeongwoo membiarkan pakaiannya basah karena air mata Doyoung. Meskipun kepalanya hampir pecah memikirkan penyebab Doyoung kembali ke ruangan ini. Atau memang sudah kebiasaan Doyoung mengunci diri di ruangan ini ketika sedih.

"Kamu——"

"Gue lagi nggak mau jelasin apapun ke Lo sekarang."

Belum bertanya, ucapan Jeongwoo telah terpotong oleh Doyoung.

"Udah makan?"

"Hm?"

Doyoung mengurai pelukan mereka. Sejujurnya, ia cukup malu karena tindakan impulsifnya barusan. Seharusnya ia cukup diam di tempat. Dan sekarang Doyoung tak berani melihat ke arah Jeongwoo.

"Papa saya bawain kamu makanan. Ayo makan." Jeongwoo mengangkat barang yang sedari tadi ia bawa.

Dan entah kenapa Doyoung menurut saja ketika Jeongwoo menariknya menuju meja makan. Lelaki itu mengeluarkan beberapa lauk yang dibuatkan Asahi, menyusunnya di depan Doyoung yang diam sejak tadi.

Sedangkan Jeongwoo mulai mengambilkan makanan di piring Doyoung, keduanya tetap diam, hanya suara piring dan sendok yang beradu.

Setelah Jeongwoo meletakkan piring yang penuh makanan di depan Doyoung, lelaki itu hanya melirik sebentar, lalu pandangannya tertuju pada Jeongwoo yang mulai mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Jeongwoo saat sedang baik terkadang membuat Doyoung nyaman. Andai saja Doyoung tidak ingat seperti apa hubungan mereka dibangun.

"Lo nggak nanya Gue kenapa?" Tanya Doyoung.

"Kamu bilang nggak mau jelasin apapun ke saya?" Perkataan Jeongwoo membuat Doyoung tertegun. Ia hanya tidak menyangka bahwa Jeongwoo bisa begitu pengertian. Doyoung memang benci ketika dirinya terlihat menyedihkan di depan orang lain.

"Lagipula saya bukan orang yang tertarik dengan hidup orang lain yang engga penting buat hidup saya."

Dan lanjutan ucapan Jeongwoo membuat ekspektasi Doyoung runtuh. Dia pikir Jeongwoo tidak bertanya memang karena pengertian dan tidak ingin Doyoung terlalu terbebani untuk bercerita. Rupanya Jeongwoo memang tipe orang yang tidak peduli dengan sekitar. Doyoung menghela napas.

Ia mulai memakan makanannya dengan sedikit jengkel. Memang apa yang ia harapkan? Jeongwoo akan peduli dengan kisah sedihnya? Atau sekedar memberikan penenang dikala hati nya sedang kelabu seperti ini.

"Kamu bisa cerita ke saya kalau kamu mau."

Doyoung mengangkat kepalanya, ia menatap heran pada perkataan Jeongwoo barusan.

"Lo barusan bilang kalau Lo nggak tertarik ngurusin hidup orang lain——"

"Yang enggak penting buat hidup saya!" Jeongwoo memotong ucapan Doyoung. Tatapan lelaki itu kini terkunci pada Doyoung.

"Kalau kamu itu penting bagi hidup saya, Doyoung."

FEIGN || JEONGBBYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang