Doyoung melirik sekeliling dengan selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Ia belum merebahkan dirinya, hanya bersandar pada kepala ranjang saat Jeongwoo pergi entah kemana.
Rumah ini terasa asing sebab ini pertama kali nya Doyoung berkunjung di rumah pribadi Jeongwoo. Lelaki itu tanpa bertanya membawa Doyoung kemari seolah telah mengetahui pertengkaran Jihoon dan Doyoung sebelumnya.
Rumah Jeongwoo begitu rapi untuk ukuran lelaki yang tinggal sendirian. Kamar nya terasa lega sebab tak banyak barang yang disimpan disini. Benar-benar seperlunya. Aroma khas sang pemilik memenuhi indra penciuman Doyoung sejak tadi.
Ia belum berbicara sama sekali setelah menangis cukup keras. Setelah tenaga nya tak ada lagi, Doyoung akhirnya memilih diam. Tapi perasaannya cukup lega sekarang.
Tak berselang lama, pintu tiba-tiba dibuka dari luar, menampilkan sosok Jeongwoo yang masuk ke dalam bersama makanan di tangannya. Ia duduk di tepi ranjang, membuat suasana mendadak canggung.
"Makan dulu."
Doyoung menerimanya tanpa drama seperti biasa. Sejujurnya, Doyoung yang diam begini sedikit mengganggu Jeongwoo. Sekarang ia dapat melihat serapuh apa Doyoung, dan seberapa besar masalah yang mungkin dianggap kecil oleh orang sampai mempengaruhi Doyoung sebegini parah nya.
"Kita kapan nikah nya?"
"Hah?"
Niat hati ingin membiarkan Doyoung makan dengan tenang, justru Jeongwoo mendapatkan pertanyaan tak terduga. Seolah selama ini Jeongwoo hanya menggantung tanpa kepastian. Ia berpikir sejenak, Jeongwoo tak mengerti motif dibalik pertanyaan yang diajukan mendadak ini.
"Terserah kamu. Saya ikut kamu."
"Kalau bulan ini bisa?"
Jeongwoo mengerutkan keningnya. Ia pikir semua pembahasan Doyoung ini akan merujuk kepada permohonan pembatalan yang selalu ingin Doyoung lakukan. Tapi sekali lagi, kalimat yang keluar justru tak terduga.
Jeongwoo mengamati Doyoung dengan seksama. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang menurutnya mencurigakan.
"Kenapa buru-buru-- Maksud saya kenapa kamu tiba-tiba ngomong kayak gini?"
Doyoung menggeleng kecil. Ia juga tidak yakin mengapa berbicara seperti itu. Tapi sesuatu mengganggu pikirannya begitu keras. Doyoung menunduk, memainkan makanan tanpa berniat memasukannya ke dalam mulut.
"Gue kayaknya udah nggak punya tujuan hidup lagi. Semuanya kayak ninggalin Gue sendirian. Bentar lagi juga pemilihan, kalau misal ayah beneran jadi walikota, dia bakal lebih sibuk dari sekarang. Setidaknya Gue mau mempertahankan Lo--" Doyoung menggeleng cepat, mengoreksi kalimatnya yang terasa sangat tidak pas.
"Gue butuh Lo."
Doyoung mengambil napas dalam-dalam.
"Lo...nggak berniat ninggalin Gue kan?"
Jeongwoo terdiam, tidak ada yang tau apa yang sedang dipikirkannya. Bahkan Doyoung sekali pun. Lelaki itu penuh dengan tanda tanya. Terutama saat Jeongwoo bangkit dari duduknya.
"Kamu makan dulu." Kata Jeongwoo seakan sengaja menghindar. Ia berjalan keluar tanpa berpamitan. Dan Doyoung memperhatikan lelaki itu sampai pintu kembali tertutup.
Ini terasa lebih buruk daripada penolakan.
Dan terjadi lagi,
Mungkin Doyoung memang tak seharusnya menaruh harapan pada manusia. Baik sang Ayah, maupun Park Jeongwoo.
***
Kedua matanya seolah enggan menutup meskipun malam telah semakin larut. Jam dinding terus berputar tak menunggu Doyoung untuk sekedar memejamkan matanya, mengistirahatkan dirinya dari penatnya kehidupan sejauh ini. Doyoung hanya melamun, memperhatikan plafon kamar dan juga aroma khas yang begitu menyeruak. Namun si pemilik kamar justru tak kembali sejak beberapa jam yang lalu.
Doyoung tak lagi dapat menangis sebab semuanya seakan sudah ia tangisi. Matanya membengkak, pandangannya kosong. Seolah semua kesedihan dan keputusaan tergambar jelas malam ini.
Saat pukul tiga pagi, Doyoung kembali duduk. Merasakan tenggorokannya yang kering setelah pikirannya memutar segala bentuk kekhawatiran yang menyelimuti.
Matanya melihat sekeliling. Namun Doyoung tak menemukan air minum di dekatnya. Ia sempat menghela napas sebelum memutuskan untuk pergi keluar. Ia tak mendengar suara Jeongwoo sejak tadi, membuatnya berasumsi bahwa lelaki itu memang tak berada di rumahnya.
Entah pergi kemana.
Namun dugaannya ternyata salah. Meskipun pencahayaan malam ini remang-remang, Doyoung cukup mudah untuk mengenali seseorang yang tengah duduk di sofa itu.
Doyoung mendekat, sesaat ia berhenti saat mencium aroma yang begitu menusuk. Tak butuh waktu lama untuk Doyoung menyadari bahwa seluruh botol yang ada di meja itu merupakan alkohol.
Doyoung berjalan ke tepi, mencari saklar lampu untuk membuat ruangan sedikit lebih terang. Dan Doyoung terkejut melihat betapa kacau nya Jeongwoo saat ini. Lelaki itu masih dengan pakaian yang sama, hanya saja lebih berantakan dari terkahir kali saat bersama Doyoung.
Botol kosong alkohol tergeletak diatas meja, namun si pemilik masih tetap menegak minumannya dari gelas seloki. Lelaki itu menoleh sekilas, matanya sayu, wajahnya merah padam.
"Jeongwoo?" Panggil Doyoung sembari mendekat. Ia duduk di samping Jeongwoo. Sesekali mengibaskan tangannya untuk menghalau bau alkohol yang begitu pekat.
Doyoung tak pernah melihat Jeongwoo sekacau ini.
"Lo--" Ucapan Doyoung mendadak terhenti saat kedua tangan Jeongwoo berada di pipi Doyoung.
"Kamu bisa nggak berhenti ngerepotin saya?"
Suara Jeongwoo parau, pria itu benar-benar dibawah kendali alkohol saat ini. Dan Doyoung tak mengerti mengapa Jeongwoo mengatakan hal itu.
"Lo ngomong apasih?
Jeongwoo berdecak.
"Kamu harus tau Doyoung. Sejak ketemu kamu, Saya dibuat bingung setiap hari. Saya nggak fokus sama tujuan saya, saya buang-buang waktu cuma buat ngawasin kamu."
"Itu ngerepotin saya."
Jeongwoo terkekeh kecil.
"Tapi anehnya saya suka."
"Saya sibuk sampai nggak punya waktu buat keluarga saya. Tapi buat kamu saya tinggalin semua urusan saya."
"Saya jarang nyetir sendiri ke kantor, tapi saya antar-jemput kamu setiap hari."
"Kamu bikin hidup saya yang tertata jadi berantakan."
"Kamu harusnya setuju nikah sama saya sejak dulu. Kenapa bikin saya lebih repot? Saya bukan orang yang sabar Doyoung. Tapi kamu benar-benar menguras kesabaran saya buat dapetin kamu."
"Hari ini kamu tiba-tiba ngajuin pernikahan. Saya seneng, bingung, kesel, marah, nggak tau. Tapi rasanya campur-campur. Saya kayak mau bunuh kamu tapi jika saya lakuin itu, saya juga ikut mati."
Ucapan Jeongwoo semakin rancu.
"Udah cukup!" Doyoung mencoba melepaskan kedua tangan Jeongwoo dari pipi nya, tapi semakin Doyoung berusaha. Semakin kuat pegangan Jeongwoo. Doyoung sempat merintih, namun ia terkejut ketika Jeongwoo mendadak mendekatkan wajahnya.
Semua terjadi begitu cepat, saat Doyoung sadar, bibir nya telah bertemu dengan milik Jeongwoo. Permainan yang didominasi Jeongwoo itu dilakukan dengan tidak sabar dan cukup kasar, mau tak mau Doyoung membuka mulutnya, memberikan akses sebanyak yang Jeongwoo mau.
Lantas kegiatan itu berhenti sejak Doyoung merasa seluruh napasnya telah habis. Dirinya mendorong Jeongwoo kuat-kuat, kemudian napasnya tersengal-sengal.
Tapi beberapa saat kemudian, Doyoung menubrukkan tubuhnya pada tubuh Jeongwoo membuat keduanya terjatuh diatas sofa dengan Doyoung yang berada diatas Jeongwoo. Doyoung kali ini dengan sadar menempelkan bibirnya sendiri dengan milik Jeongwoo. Dengan sadar pula memimpin permainan yang tak pernah ia duga akan ia lakukan.
Entah sejak kapan, semua terasa menyenangkan bagi Doyoung, meskipun ia ragu apakah Jeongwoo akan mengingatnya nanti.
***
Update nya Kapan-kapan lagi hehe...
KAMU SEDANG MEMBACA
FEIGN || JEONGBBY
FanfictionSemenjak pertemuannya dengan Park Jeongwoo, hidup Doyoung seakan berada dalam tahanan. Dan Doyoung sekali lagi membenci fakta bahwa dia tak bisa lari dari sosok yang selalu ia benci itu. WARN! BXB area!