"Siapa tadi?"
Segelas kopi dia bawa dengan tangan kanan, sementara tangan kiri nya ia masukkan ke dalam saku celana. Memandangi kota dari gedung Hoesa Group ternyata semenyenangkan ini. Terutama saat matanya tadi menangkap seseorang dengan piyama yang familiar, berlari tanpa alas kaki menuju gedung perusahannya.
"Tuan Doyoung memaksa ingin bertemu anda tuan."
Jeongwoo tersenyum tipis, ia kembali menyesap kopi nya dengan senyuman sinis.
"Usir aja." Titahnya.
Sang pegawai menunduk hormat, melaksanakan perintah tuannya hingga beberapa saat kemudian Jeongwoo dapat melihat dua keamanan kantor nya menyeret Doyoung keluar dari gedung.
Lelaki itu dibiarkan terduduk di halaman, dengan wajah memerah antara malu sekaligus emosi yang mendera nya. Beberapa orang yang lewat mulai memperhatikan bagaimana Doyoung menangis di depan gedung Hoesa.
Jeongwoo hanya memperhatikan dari atas. Karena dia berada di lantai 3, ia dapat melihat jelas bagaimana Doyoung saat ini.
Sungguh menyedihkan.
Tapi entah kenapa membuat ego nya begitu bahagia. Jeongwoo menyesap kopi nya hingga tandas. Namun ia masih bisa melihat Doyoung duduk memeluk lutut di depan gedung perusahannya.
Jeongwoo menghela napas sesaat.
"Udah saya peringatkan sebelumnya kan?" Monolognya.
***
Sejak keluar dari rumah, Doyoung tak tahu kemana ia akan melangkah. Lalu kemudian ia teringat bahwa Jeongwoo merupakan anak sulung pengusaha ternama, pada akhirnya Doyoung nekat berlari kesini sebab secara impulsif keluar dari rumah. Untung jaraknya tidak terlalu jauh. Namun tetap menyakitkan sebab Doyoung keluar tanpa alas kaki.
Ia hanya ingin bertemu Jeongwoo, memohon atau apalah itu yang membuat sang ayah dibebaskan sekarang juga.
Namun berkali-kali ia mencoba, ia tetap berakhir di halaman. Ditonton oleh banyak orang yang mungkin beberapa mengenalnya lewat wawancara yang Doyoung lakukan beberapa saat yang lalu.
Tapi Doyoung tak mempedulikan itu. Dia kalut, batinnya begitu lelah membayangkan ia akan kehilangan untuk kedua kali nya.
"Kenapa kesini."
Doyoung mendongak, pandangannya berbinar ketika melihat perawakan tinggi Jeongwoo sedang berdiri di depannya. Tubuhnya menghalangi sinar matahari yang semula menerpa Doyoung.
"Jeongwoo, Gue minta maaf. Gue mohon bebasin ayah Gue. Gue bakal lakuin apapun——" Ucapan Doyoung terhenti ketika mendengar Jeongwoo terkekeh. Terkesan meremehkan.
"Saya masih inget kamu nolak saya kemarin. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Kayak nggak punya pendirian." Perkataan Jeongwoo terlewat pedas, tapi mau bagaimana lagi? Tujuan Doyoung bukan untuk memaki Jeongwoo sesuka hati seperti biasa.
"Jeongwoo Gue mohon." Doyoung seakan kehilangan harapan.
Dan Jeongwoo suka membuat seseorang yang merugikannya menderita seperti ini. Melihat bagaimana mereka memohon untuk dibantu.
"Saya nggak mau. Mending kamu pulang." Jeongwoo berbalik badan, namun langkahnya terhenti ketika tangannya ditahan oleh Doyoung. Jeongwoo meliriknya sekilas, kepada Doyoung yang masih berjongkok dengan kedua tangan memegangi tangan Jeongwoo.
"Tolongin Gue. Gue bakal lakuin apapun buat Lo. Gue mohon." Mata Doyoung benar-benar bengkak, kepalanya terasa lebih pusing dari saat sebelum kemari.
Jeongwoo memperhatikan sekitar, orang-orang mulai melambatkan langkahnya sekedar menyaksikan drama apa yang tersaji siang ini. Sedikitnya Jeongwoo mulai merasa tidak nyaman pada keadaan yang membuatnya menjadi pusat perhatian.
Pandangannya lalu berhenti pada Doyoung. Jeongwoo tak sedikitpun merasa iba dengan Doyoung yang memohon begini. Harus sejauh mana lagi Jeongwoo membuat Doyoung pada akhirnya tunduk padanya? Ini menyenangkan, sungguh.
Tapi Jeongwoo bukan orang yang memiliki banyak waktu hanya untuk melihat seseorang menderita. Ia terlalu sibuk.
"Saya nggak butuh apapun dari kamu." Ucap Jeongwoo.
"Jeongwoo..."
"Saya bilang——DOYOUNG!"
Jeongwoo terlonjak saat merasakan pegangan di tangannya melonggar, pada saat itu Jeongwoo melihat Doyoung yang terpejam dengan raut pucat pasi. Tergeletak di samping tempat Jeongwoo berdiri.
"Bangun!" Jeongwoo mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Doyoung.
"Saya nggak akan ngerubah keputusan saya walaupun kamu pura-pura pingsan kayak gini." Kata Jeongwoo tegas.
Namun raut Doyoung memang membuatnya nampak seperti benar-benar pingsan. Bagaimana ini? Jeongwoo tak pernah menarik kembali ucapannya. Dan itu akan terus terjadi.
Suara decakan terdengar setelah sekian saat Jeongwoo bergelut dengan pikirannya. Mencari siapa yang akan memenangkan perang batin.
"Kamu kenapa sering nyusahin saya?"
***
Terbangun dalam ruangan asing membuat Doyoung membutuhkan waktu untuk sekedar mengenali ruangan ini. Butuh beberapa saat sampai Doyoung merasakan sakit di tangan kiri nya. Hingga Doyoung menemukan selang infus yang terpasang rapi dan juga ruangan serba putih yang menyambutnya sejak membuka mata.
Doyoung mengitari ruangan.
Kosong.
Tak ada presensi pria yang katanya akan selalu menjaga dan mengawasi nya itu. Barangkali memang tidak harapan untuk Doyoung dapat melepaskan sang Ayah dengan mudah.
Bukankah seharusnya Sang Ayah dapat bebas dengan mudah? Ini hanya perkara melanggar kontrak, jika harus membayar kompensasi tentu sang Ayah akan mampu. Atau menyewa orang untuk setidaknya menghapus gugatan ini seolah tak pernah ada.
Ini hanya Park Jeongwoo.
Seharusnya Jihoon dapat menyelesaikan masalah ini sebelum polisi dapat memasuki rumah dan membawanya. Ayah itu walaupun melakukan hal yang ilegal, Jihoon selalu dapat melakukannya dengan mudah.
Lalu kenapa rasa-rasa nya diatas Jihoon masih ada Jeongwoo? Seakan Jeongwoo adalah seseorang yang tidak bisa Jihoon lawan?
Di tengah kebingungan yang mendominasi. Bunyi pintu memecah keheningan. Menampakkan sosok yang baru saja hadir mengisi pikiran Doyoung.
"Udah bangun?" Pertanyaan retoris dilayangkan oleh Jeongwoo sesaat setelah lelaki itu melihat Doyoung.
Doyoung belum berbicara, namun fokusnya terpecah pada sesuatu yang dibawa oleh Jeongwoo.
"Apa itu?"
Jeongwoo menaikkan sebelah alisnya. Kini tatapannya jatuh pada sebuah map yang ia bawa.
"Kontrak."
Jeongwoo mulai mendekat, duduk di kursi dekat bangkar dan mulai membuka lembaran yang ia bawa.
"Kontrak dengan Ayah kamu saya anggap batal. Saya nggak suka bikin kontrak dua kali sama orang yang gagal sama komitmennya. Jadi saya bikin yang baru." Kata Jeongwoo. Terlalu berbelit untuk Doyoung yang baru saja terbangun dari pingsan.
"Intinya?" Tanya Doyoung.
Jeongwoo berdecak, ia kembali menutup map itu lalu melemparkannya kepada Doyoung.
"Ayah kamu saya bebaskan, tapi kamu nikah sama saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
FEIGN || JEONGBBY
FanfictionSemenjak pertemuannya dengan Park Jeongwoo, hidup Doyoung seakan berada dalam tahanan. Dan Doyoung sekali lagi membenci fakta bahwa dia tak bisa lari dari sosok yang selalu ia benci itu. WARN! BXB area!