Bagian 9 : Kampanye

790 144 11
                                    

Doyoung benci saat harus berhadapan dengan orang banyak. Bukan berati dirinya termasuk jajaran introvert. Sebab sebenarnya Doyoung ini adalah seorang extrovert yang mudah bergaul. Namun hanya ketika ia bertemu dengan orang-orang yang seusianya. Berteman biasa.

Namun kali ini, dirinya benar-benar malas ketika sang ayah mengatakan bahwa dirinya harus ikut serta dalam kampanye. Hanya ingin menunjukkan kepada publik bahwa keluarga mereka harmonis meskipun tanpa kehadiran sang Mama di sisi Doyoung. Yang membuat Doyoung semakin yakin harus kabur dari rumah hari ini adalah sebab ia harus mengarang kehidupannya di depan media hanya untuk meraih suara sang Ayah.

"Kampanye Ayah bukan urusan Gue. Udah Gue bilang Gue nggak mau terlibat." Tapi berkali-kali Doyoung mencoba berbagai gaya untuk kabur, tetap saja ujung-ujungnya Jeongwoo menemukannya bahkan sebelum sempat Doyoung menginjak jalan depan rumahnya.

Dan sekarang Doyoung berdiri di sudut ruangan layaknya tersangka, sekaligus merajuk seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan. Ia merosot duduk di lantai sebab semalam suntuk ia mencoba melarikan diri namun selalu tertangkap.

"Udah bener gitu main kabur-kabur aja?" Tanya Jeongwoo retoris. Jelas saja benar menurut Doyoung. Semua tergantung sudut pandang.

"Terus harus apa? Emang protes Gue di dengerin? Selain kabur Ayah bakal tetep maksa Gue ikut jumpa pers kan?" Balas Doyoung lagi.

Mengapa dalam hidupnya banyak sekali kesialan semenjak ada Jeongwoo.

"Terus kalau kabur, emang kamu punya tujuan?"

Mulut Doyoung yang tadinya terbuka untuk mengutarakan kata mendadak terbungkam. Ia mengingat lagi bahwa Mashiho sedang pergi ke kampung halamannya sedangkan kalau diingat-ingat, teman Doyoung yang disetujui Jeongwoo baru Mashiho. Jona saja entah dimana sekarang, tidak pernah ada kabar lagi setelah malam pertemuan Doyoung dengan Haruto saat itu.

Tapi sejak kapan Doyoung mengikuti semua keputusan Jeongwoo? Tidak boleh, Doyoung tidak boleh tunduk sekalipun Jeongwoo ini ketua mafia yang punya lahan berhektar-hektar dan ratusan pembunuh bayaran, atau bandar narkoba dan senjata. Siapapun sebenarnya Park Jeongwoo, Doyoung tidak akan takut menghadapinya.

"Temen Gue banyak—"

"Sebutin."

Doyoung dibuat bungkam, ia melipat tangan di depan dada nya, dan juga meniup poni yang mulai menutupi matanya. Ia mendengus kesal.

"Gue sebutin juga Lo nggak bakal kenal." Balas Doyoung.

"Lagian kenapa Gue harus ikut ginian? Cerita hidup Gue aja di buat sama orang." Doyoung mengalihkan pembicaraan, lalu menunjuk pada setumpuk kertas yang berisi tentang betapa bahagianya keluarga Doyoung saat ini.

Jeongwoo membuat jeda sesaat, dilihatnya Doyoung yang kini tengah kesal. Kalau diingat-ingat, lelaki itu memang selalu kesal, bahkan mungkin Jeongwoo tak pernah melihat bagaimana Doyoung tersenyum bahagia. Bukan senyuman sinis atau meremehkan.

"Lima belas menit."

Doyoung mengerutkan keningnya. Apa maksudnya tadi? Jeongwoo ingin membunuhnya dalam 15 menit atau bagaimana.

"Maksudnya gimana?"

Jeongwoo bangkit dari duduknya, lalu mendekat dan mengulurkan tangannya ke arah Doyoung.

"Kamu ikut Ayah kamu, setelah lima belas menit, saya janji akan bawa kamu keluar dari sana."

***

Doyoung mengepalkan tangannya begitu melihat banyak sekali media yang meliput mereka. Jihoon nampak berwibawa dengan setelan jas dan juga tampang yang menyakinkan. Sejauh ini, sepak terjangnya dalam mengurus politik memang bagus, hanya saja karena itu keluarganya justru jauh dari kata baik-baik saja.

FEIGN || JEONGBBYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang