Musim hujan menyapa sejak beberapa hari terakhir, pemandangan sehabis hujan menjadi fenomena paling biasa sejak Doyoung keluar dari kelas. Seperti cuaca yang kelabu sore ini, angin dingin berhembus, menggoyahkan pertahanan Doyoung untuk tidak mendesah kecewa.
Entah sudah berapa kali dirinya berdecak, sebab sejak pagi, bukan eksistensi Jeongwoo yang hadir melainkan seseorang yang Jeongwoo sewa untuk menjadi supir Doyoung untuk beberapa hari ke depan katanya. Sang supir kini terlihat lagi sesuai jam pulang yang telah Jeongwoo berikan kepada pria paruh baya itu.
Bahkan Doyoung sangat yakin satu mobil yang sedari tadi berhenti agak berjarak dari mereka pasti juga suruhan Jeongwoo. Sebab mobil itu sudah mengikutinya sejak pagi.
Doyoung pikir Jeongwoo hanya sedang sibuk pagi ini, namun lelaki itu menepati ucapannya tentang mereka yang tak boleh bertemu untuk sementara. Jeongwoo hanya mengirimkan pesan seadanya, mengecek apakah Doyoung telah melakukan rutinitasnya seperti biasa. Lalu saat dibalas, Jeongwoo hanya membacanya saja. Bahkan Jeongwoo menolak lima panggilan suara dari Doyoung.
Lima itu sudah termasuk banyak dalam sehari jika mengingat bahwa selama ini yang sering menghubungi Doyoung terlebih dahulu adalah Jeongwoo.
Doyoung merenung setelah memasuki mobilnya. Wajah dan tubuhnya lesu tak seperti biasa. Hari ini bukan hari yang buruk, semua mata kuliah dan dosennya termasuk yang Doyoung sukai. Makanan di kantin hari ini lebih enak dari biasanya. Beberapa orang mulai meminta maaf secara terang-terangan setelah menjelek-jelekkan Doyoung. Bahkan Jihoon——sang ayah memberikan kabar ditengah kesibukannya akhir-akhir ini.
Seharusnya hari ini menjadi hari dimana Doyoung akan tersenyum sepanjang hari. Tapi entah kenapa, rasa kosong nya lebih dominan, nyaris separuh kesenangannya seakan hilang. Atau mungkin tidak lengkap sebab ketidakhadiran Jeongwoo hari ini.
Doyoung mendadak tersadar dari lamunannya, seakan dirinya berhasil menemukan jawaban atas segala pertanyaan di benaknya. Kian lama keyakinan itu semakin bulat, bersama dengan sesuatu yang seakan meledak-ledak.
Doyoung mengamati jalan sekilas, tapi sebelum bertindak, dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Keningnya mengerut begitu melihat nama di layar. Doyoung buru-buru menerimanya sebelum telepon tersebut mati.
"Iya, pa?"
Itu Asahi, papa dari Jeongwoo. Tidak biasanya Asahi menghubunginya begini kecuali ingin mengajak bertemu. Tapi kali ini, Doyoung tak mendengar nada ceria seperti Asahi saat berbicara dengan Doyoung.
Lelaki itu sedikit panik?
"Nak, kamu dimana? Papa denger Jeongwoo kecelakaan——"
Tittttt
Seolah tak peduli lagi dengan apapun, Doyoung mendadak seperti kesetanan, sebab kini fokusnya hanya tertuju pada Park Jeongwoo.
***
Doyoung buru-buru keluar sejak mobil ini berhenti. Ia bahkan tak memperhatikan langkahnya sendiri, tak peduli banyak benda yang mungkin dapat melukai nya. Doyoung rasa sudah lama sejak ia sepanik ini hanya karena sepenggal kalimat. Berita bahwa bundanya meninggalkannya untuk selamanya menjadi mimpi buruk yang kini terulang lagi.
Mungkin tidak?
Doyoung masih berharap bahwa ia sempat mengatakan semuanya.
Tapi jantungnya nyaris merosot, tubuhnya terduduk lemas saat ia melihat sendiri seseorang yang terduduk di sofa dengan raut tak kalah terkejut. Terdapat beberapa luka di tubuhnya yang sepertinya telah diobati. Tak seburuk seperti bagaimana yang Doyoung asumsikan akan terjadi pada Park Jeongwoo.
Namun, satu hal baru membuat pikiran Doyoung terusik. Lelaki itu berdiri setelah mendapat kembali kekuatannya. Langkahnya tak lagi ke arah Jeongwoo, namun kepada seseorang yang juga sama terkejutnya dengan kehadiran Doyoung.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEIGN || JEONGBBY
FanfictionSemenjak pertemuannya dengan Park Jeongwoo, hidup Doyoung seakan berada dalam tahanan. Dan Doyoung sekali lagi membenci fakta bahwa dia tak bisa lari dari sosok yang selalu ia benci itu. WARN! BXB area!