Kedelapan

111 29 3
                                    

Pameran seni di Bandung jadi salah satu jadwal yang ditunggu-tunggu oleh Burner. Meski diriku tidak pandai melukis, tapi aku pandai mendalami sebuah perasaan lewat sebuah gambar.

Hal-hal yang indah biasanya datang bukan dari tangan hambanya tapi berkat ridha tuhannya. - Artian Syahrul Leonis

Itulah tulisan yang aku baca sebelum langkah kaki ini memutuskan untuk masuk melihat karya-karya sang artis dengan segala hal yang ia muntahkan di pikiran dan perasaannya melalui seni lukis.

Tak lama, seksi pemandu datang menghampiriku, ia menggunakan kemeja abu-abu dengan celana cream dan sepatu loafers serta tanda pengenal yang mengalung dilehernya.

"Rombongan Ka?" Katanya. Aku menggeleng, jelas aku sendirian sekarang. Harusnya kalimat ini tidak perlu ia tanyakan.

"Boleh saya temani Ka?" Katanya. Aku mengangguk "boleh!"

Dia berjalan bersamaku menatap banyak lukisan-lukisan unik nan tulus. Aku berdiri menatap mural yang berbentuk abstrak dengan tokoh perempuan yang asik menangis memeluk sekujur tubuhnya.

"Judulnya apa?" Tanyaku.

" A Reason Why Women Are Strong" Katanya. Aku tersenyum "Menarik!" Gumamku.

"Kakak sudah sering datang ke pameran seni, Ya?" Katanya. Aku menggeleng, mana ada waktu aku datang dan bisa menikmati lukisan dengan lega seperti ini "Ini baru pertama kali Justru" Kataku.

Dia menggeleng tidak percaya "Selera seni kakak unik juga ya, seperti pengamat seni ahli" Katanya. Aku hanya tersenyum kecil, pujian paling tak bisa kuterima. Bagaimana bisa? Aku kan sudah mengatakan ini kala pertama ku mengamati sebuah karya secara langsung.

"Burner Leana, sebut nama ku Leana saja" kataku memperkenalkan diri. "Aku bisa tebak kita seumuran, kok" lanjutku. Dengan lugas dia pun setuju "Nama ku Artian Sya-"

"Syahrul Leonis?" Kataku memotong ucapannya. Aku tahu betul nama itu! baru 40 menit ku baca di depan pintu masuk, masa aku langsung melupakannya begitu saja?

Dia mengerenyitkan keningnya lantas menatapku begitu serius "Aku membaca kalimat mu yang terpajang di depan pintu sana" Kataku. Dia tersenyum penuh gairah dan mulai kembali mengekori kemana aku pergi.

"Ingatanmu keren juga ya" Katanya. Aku masih asik menatap berbagai lukisan dari tokoh-tokoh perempuan di Indonesia seperti Nazwa Shihab, Kartini, Marsinah, dan kutipan dari Ester Lianawati yang tentu seri bukunya sudah aku baca.

Kalimat yang dipadukan dengan lukisan minimalis:

"Namanya juga ilusi, lewat predikat ini perempuan tak sadar telah dimanipulasi dalam kontrak perkawinan. Atas nama pengabdian dan kodrat mereka sebagai ibu dan istri yang baik, perempuan dijebak untuk menjalani pekerjaan perawatan seumur hidup tanpa dibayar dan diapresiasi. Alhasil, perempuan juga  jadi dijauhkan dari ruang publik. Mereka dilarang berpartisipasi setara di dalam pendidikan dan politik."

Sampai pada akhirnya waktu sudah berlalu lama, tak terasa aku sudah berkeliling selama 1 jam. Aku memutuskan berdiam diri di lukisan paling sederhana yang bertajuk "Feminism" Lukisan yang menggambarkan sosok anarkis berimigrasi ke Amerika dan membuat kerusuhan besar di sana.

"Kamu tahu siapa tokoh yang dilukis di canvas ini?" Katanya. Aku mengangguk "Ema Goldman" Kataku. Dia menatapku tidak percaya.

"Meski tema seni kali ini tentang Perempuan Kuat Dunia, aku sungguh tidak percaya bahwa kamu, Leana. Orang yang tahu siapa tokoh anarkis ini" Katanya.

"Lagian siapa yang tidak mengenali Dia? Dia terkenal kok!" Kataku. Artian menggelengkan kepalanya tidak setuju.

"Seluruh pengunjungku dan pengamat seni-seni ku, Banyak yang menanyakan siapa dia, Leana" Katanya. Aku segera melirik Artian seksama,ia mulai menatap matanya yang memutar ke arah kanan dengan bibir yang sedikit ia katupkan.

Tunggu...

"Pengunjung ku?" Kataku. Dia menggelengkan kepala berkali-kali dengan ekspresi wajah yang picik "Jadi kamu yang melukis semua karya di ruangan ini?" Tanyaku memastikan.

Dia masih mengelak. "Suatu kehormatan bisa bertemu pelukisnya langsung" Kataku.

Dia menarik nafas panjang, kami duduk di ruang istirahat dekat dengan meja pendaftaran. "Ketahuan Deh" katanya. Aku hanya menertawai dirinya yang masih kikuk akan kecerobohan mulutnya yang spontan saat bicara.

Kami sama-sama membiarkan suasana hening dan hanya ramai oleh suara kamera dari pengunjung.

"Gimana?" katanya. "Apanya?" Tanyaku. "Semua lukisan yang ada di sini!" Tanyanya. "Indah dan hampir semua tokoh-tokoh perempuan yang dilukiskan di canvas-canvas itu aku tahu," Kataku.

"Ini hari terakhir aku membuka pameran di sela-sela akhir Semesterku," Katanya. "Sudah Wisuda dong?" tanyaku. "Iya! Bulan Depan," Katanya. "Makasih ya," Kataku.

"Makasih Untuk?" katanya.

"Karya seninya, dan semua yang sudah kamu usahakan sampai berada di titik ini," Kataku.

Dia mengangguk.

Perayaan hari terakhir dari seorang artis ternyata ditutup oleh aku yang menatapnya sekarang. Semua orang mengerumuni siapa tokoh di balik seni-seni yang mengagumkan soal perempuan di ruangan ini.

Tak kusangka, orang yang menjadi seksi pemanduku adalah orang yang menciptakan lukisan-lukisan yang kupandangi lama-lama. Dia membuatku hanyut ke dalam karakter abstrak dan tokoh-tokoh perempuan di dunia. Ada Ema Goldman, Kartini, bahkan sampai pada Mary Wollstonecraft.

"Kenapa memilih tema ini?" Itu pertanyaan yang kusimak dari salah satu peserta yang datang ke pamerannya kali ini. Artian mulai membuka mulutnya untuk berbicara lantang kepada para wartawan dan pengunjung yang mengerumuni dirinya.

"Inspirasi kuat mengenai perempuan ada pada Ibuku," Katanya. "Dia adalah wanita kuat yang menginspirasi saya dalam menggaungkan isu-isu kebebasan perempuan dan- " Katanya sambil menahan kalimatnya berlanjut dia menitihkan air mata yang jelas bisa aku lihat di kejauhan sini dibalik kacamataku.

"Berkat keinginan terakhir dirinya, Karya-karya saya hadir kali ini untuk memperingati 100 hari kepergiannya, ibu saya di diagnosis tumor ganas yang menyerang dirinya selama dua tahun terakhir," Katanya.

Air mata yang tidak sengaja dirintihkan tadi sudah sirna, dibalik dada busung dan suaranya yang meredam ruangan ini. Semua orang dengan syahdu mendengarkan seorang artis yang menjelaskan kenapa lukisan indah itu bisa hadir.

"Yang paling menarik hari ini adalah, pertemuan ku dengan seorang perempuan aneh.

Selama tiga hari lalu sampai hari ini, awalnya obrolan ibuku kala itu bohong.

Ibuku pernah mengatakan bahwa aku akan bertemu dengan perempuan yang datang ke pameranku. Perempuan itu bisa saja sudah sering melihat pameran seni atau baru pertama kali datang.

Dia datang menatap ragam lukisan sebagaimana pengunjung pada umumnya. Hanya saja nanti, Aku akan menatap perempuan itu dengan tidak biasa.

Sampai aku memberanikan diri untuk menghampirinya dan tidak memperkenalkan diri sebagai seorang artis yang melukis berbagai seni rupa yang dinikmati perempuan itu.

Melainkan datang sebagai orang yang menyamar sebagai seksi pemandu demi bisa memandang ketulusan dirinya dalam menatap lukisan-lukisanku.

Perempuan yang ibu bilang kepadaku, sudah aku tunggu di beberapa hari lalu saat pameran. Namun meski aku menyamar sebagai seksi pemandu tetap saja tidak ada wanita yang mengenali tokoh-tokoh spesial yang aku lukis.

Mereka-mereka yang aku pandu hanya mengetahui tokoh Kartini saja. Sampai hari-hari berikutnya dan hari ini aku bertemu dengannya.

Bertemu dengan perempuan yang mengetahui sosok anarkis yang ibu ku kagumi. Ema Goldman. Dia mengenali siapa tokoh yang terpajang dekat lukisan ibuku.

Meski ini terdengar klise, tapi sungguh Leana. Aku beruntung bisa berbicara singkat denganmu hari ini. Terima kasih banyak," Jelasnya cukup panjang lebar dan mampu membuat para pengunjung terpesona dengan apa yang dikatakannya.

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang