Sepuluh

54 18 2
                                    


" Terlalu aneh rasanya ada Yuli di tengah-tengah kami," kata si rambut keribo itu dengan nada heran.

"Kenapa? Perempuan tak boleh berorasi soal isu-isu politik? dan bergabung dengan para pria?" sahut perempuan yang dipanggil Yuli dengan tegas.

 "Tidak, bukan begitu maksudku, Li" kata laki-laki itu, terdengar agak kikuk.

"Seorang feminis perempuan yang berhasil menjadi ketua eksekutif mahasiswa di kampus. Bukan kah, Lili jadi salah satu tokoh terdekat kami yang mengubah paradigma bahwa perempuan juga bisa setara dengan kami, Do?" ujar si kulit eksotis dengan penuh keyakinan.

"Mungkin menurutmu, Edo. Feminisme adalah sekumpulan perempuan yang marah dan ingin menjadi seperti laki-laki, ya?" goda Yuli sambil asik menyeruput kopi yang entah milik siapa.

"Pada awalnya, pernyataan itu mungkin bisa dimaklumi, bukan, Do?" kata Aksara, disambut anggukan setuju dari Edo.

"Aku tidak tahu, ternyata otak cerdikmu pernah dangkal, Sara" ujar perempuan itu sambil membuka kertas yang sempat dibuka oleh Aksara.

Meskipun gerakan semua teman-teman mendesak Yuli untuk menurunkan volume suaranya, tetapi itu tetap terdengar jelas bagi aku yang berada dikejauhan sini. "Kasus pencabulan Mahasiswa Oleh Dekan" sebut Yuli. 

Yuli menoleh ke arahku, Aku sigap berakting seolah berpura-pura tak mendengar apa-apa. "Hey, nona cantik" katanya. 

"Maksudmu aku?" kataku sambil menunjuk diri sendiri. Dia mengajakku mendekat dengan kedua tangannya yang mengisyaratkan 'Kemari'

Aksara menatap dingin ketika aku mulai mendekatkan diri kearah mereka. Si kulit eksotis memberikan ruang agar aku bisa duduk di samping Yuli. Tak butuh waktu lama, Yuli berhasil membuat aku membeku di tempat.

"Karena saya sudah mengetahui kamu dari Sara. Perkenalkan, saya Yuli, ketua BEM di kampusmu" katanya. Aku mengangguk mengerti dan menyebut namaku.

 "Leana," ucapku.

"Aku ingin tahu banyak tentangmu, jadi mari mulai membuka pembicaraan. Diskusi adalah langkah awal kita bisa saling mengenal, bukan?" katanya, sambil menoleh ke arah aksara. "Menurutmu, feminis itu seperti apa, Leana?" tuturnya, melanjutkan pembicaraan yang sempat ia jeda.

Aku menjawab sesuai dengan porsi yang pernah aku pahami dan pelajari sebelumnya.  "Gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi, dan segala macam penindasan" kataku.

Kalimat itu bukan kalimat pertama yang aku sampaikan sekarang, kalimat itu pernah disampaikan oleh penulis Bell Hooks dalam pengantar utama bukunya Ada kutipan menarik yang aku baca disana

Kutipannya: 

"Kemana pun aku pergi, kepada siapa pun yang ingin tahu siapa diriku dan apa yang biasa aku kerjakan dengan bangga, akan kuceritakan bahwa aku adalah seorang penulis feminis."

"Menurutku, feminisme bukan tentang anti-laki-laki, karena salah satu masalah utamanya adalah seksisme. Kecerdasan ini membuatku mengingat bahwa kita semua, baik perempuan maupun laki-laki, telah disosialisasikan sejak lahir untuk menerima pemikiran dan tindakan seksis" lanjutku.

Aksara menatapku, tersenyum, dan memandang Yuli yang masih serius mendengarkan pembicaraanku. "Jadi menurutmu, feminisme tidak hanya melawan laki-laki kan,Leana?" kata si keribo.

"Terlalu naif rasanya jika feminisme diartikan sesederhana itu." Tutur Aksara. 

"Seksisme Ya? Isu yang menarik" Kata Edo.

Sebelum perempuan dibebasakan, para perempuan ditanamkan pemikiran seksis sehingga meyakini bahwa nilai dari diri kita ditentukan oleh penampilan, apakah enak dipandang atau tidak, utamanya oleh laki-laki. 

"Back to topic, Yuli. Kamu terlalu asik mendengarkan maskulinitas dari Leana. Sekarang kami akan mendengarkan tindakan apa yang akan dilakukan kamu dalam menangani kasus yang sudah ku gali informasinya" Ujar laki-laki dengana tubuh eksotis itu.

"Sebenarnya aku ingin mengadakan sidang terbuka di aula sih, Re. Hanya saja, korban memilih untuk tetap diam dan tidak mau jikalau wajahnya di ungkapkan ke publik" katanya. 

"Apa yang menarik dari kasus tersebut, Yuli" Kata Edo 

"Kejadiannya ketika dia sedang bimbingan skripsi" Kata si kulit eskotis itu menjawab mewakili yuli. Sekilas dia dipanggil Re. 

"Bentuk pelecehannya seperti apa?" Kata edo

"Verbal" Kata Aksara. Mataku terlihat kosong, ujung bibirku, ku gigit sedari tadi ketika menyinggung soal masalah seksual. Aku masih tak bisa memberikan reaksi apa-apa dan hanya mengepalkan jari jemari sekuat mungkin.

"Dosen Anjing!" Gumam ku membuat mereka menoleh karahku. Aku langsung mengangkat kaki ku dan memutuskan untuk pergi darinya. 

"Bar! Are you Oke?" Kata Edo. Aku tak menyautinya dan hanya pergi dari ruangan itu. 

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang