Kesembilan

100 29 4
                                    


Sudah satu minggu lamanya aku tidak bertemu dengan Aksara dalam kebetulan yang tak pernah kusangka.

Kali ini, wujudnya bisa kulihat kembali. Di tempat yang biasa aku kunjungi, di aroma biji-biji kopi yang masih segar digiling dengan mesin-mesin tradisional. Di meja yang biasa aku pakai sendirian sambil menatap bintang-bintang kala malam atau di bangku yang pernah kami duduki kala bertemu kembali.

Sekarang, aku melihatmu dengan banyak kawan visionermu. Kawan-kawan dari berbagai daerah, ada yang berkulit hitam eksotis dan berambut keriting. Bisa kutebak dari logat samar yang kudengar dari kejauhan sini kedua orang itu dari timur.

Kamu dan mereka asyik berbicara, yang satu masih memetik gitar diiringi deruan kecil yang ia gumamkan. Bisa kutebak itu adalah kunci nada dari lagu The Beatles dengan lirik:

When I find myself in times of trouble, Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom, let it be
And in my hour of darkness she is standing right in front of me
Speaking words of wisdom, let it be

Suaramu yang tak pernah asing ditelingaku, selalu terdengar paling jelas meski aku berada di dekat pintu masuk di kedai kopi ini. Matamu menoleh ketika satu dari temanmu terlihat memberitahumu tentang perempuan yang terlihat menatap punggungmu dikejauhan sini.

Tak pikir panjang, kamu sigap menoleh dan berjalan ke arahku sambil tersenyum kecil. Senyum yang tak pernah kamu biarkan sirna ketika menatapku. Kusapa dengan senyuman indahku kembali. Semakin mendekat kamu, aroma kopi dan bunga tulip yang khas tercampur dari pakaiannya mu kini tercium jelas.

"Lama tak jumpa, Burner" Katanya. Aku mengangguk menyimpan buku bacaanku dimeja dekat pintu masuk. Aksara pun duduk dihadapanku. 

"Gimana sama hari ini?" Katanya. Aku yang asik memperhatikan menu baru dari minuman di tempat kopi yang biasa aku kunjungi, menjawab tanpa memandangnya sama sekali.

 "Sama saja.. tidak ada yang menarik" kataku. 

Dia menarik kertas menu itu, sial! dia selalu berhasil membuatku fokus kearah matanya yang dingin itu.  

"Mumpung kamu masih muda, didiklah dirimu sendiri dengan jalan mengamati dunia nyata. Mempelajari bagaimana dunia nyata itu dan bagaimana orang-orang nyata di sekelilingmu bertindak dan berekasi" Katanya. 

"Memang sepenting itu memperhatikan orang-orang ya?" Kataku. Dia menyerahkan kertas menu itu lagi pada genggaman ku. 

"Kalau tidak mau memperhatikan orang-orang. Minimal perhatikan saja aku" Katanya. Aku tersenyum kecil sambil menatap matanya yang berapi-api itu. "Egois!" Gumamku 

"Manusia adalah mahluk paling egois" katanya.  Aku masih tersenyum kecil sembari membuka buku yang akan aku pelajari hari ini. 

"Latte satu ya mas" Kata Aksara seolah tau jenis kopi apa yang biasa aku minum disini. Barista itu menyaut "Siap Mas!" 

Aku membuka buku sketsa ku mengeluarkan pensil tipis dan kusimpan dimeja. Dia masih menyimak segala kegiatan ku sambil menatap teman-temannya yang ku lirik oleh pupil mataku. 

"Sana! Pergi" Kataku. Sang pelayan menyimpan secangkir kopi ke meja ku. Dia menatapku sambil menyimpan kedua tangannya di meja ku. 

"Aku tidak bisa berlama-lama berduaan di meja seorang wanita yang ke kedai kopi ini untuk belajar" Katanya. Aku mengangguk. 

"Jadi alih-alih aku meninggalkan mu, Burner. Mau kah kamu bergabung dengan kami?" Lanjutnya, kopi yang sedang aku minum seketika ingin aku keluarkan lagi. Apa maksudnya? aku? Bergabung dengan kelompok idealis di meja itu? bersama teman-temannya? 

"Tidak terimakasih, Aksara. kamu pergi saja" Kataku. Dia mengangguk mengerti dan mengangkat kaki nya untuk segera pergi dari hadapanku lagi. 

Sosok perempuan dengan rambut yang digelung tiba-tiba datang, dia mematung sebentar di depan mejaku, melirik ke arah sekelilingnya seolah sedang mencari gengnya. Sorot matanya penuh keingintahuan, seakan mempelajari setiap sudut ruangan dengan cermat sebelum akhirnya menetapkan pandangannya pada meja itu.

Perempuan itu melangkah mantap ke arah meja Aksara bersama kawan-kawannya. Aksara terlihat menyambutnya dengan senyum hangat, seolah-olah mengenalnya dengan baik.

"Siapa dia?" Gumamku, tertarik dengan penampilan keren perempuan itu. Pakaiannya terlihat stylish, dengan kaos putih yang dipadukan dengan outer flanel berwarna hitam yang sedikit kebesaran, memberikan kesan kasual namun berkelas.

"Widiiihh...Ketua BEM kita sudah datang!!" teriak salah satu pemain gitar, memberikan tanda kehormatan dengan memberikan bangkunya untuk diduduki oleh perempuan itu. Tanpa menunggu waktu lama, dengan sigap dan cekatan, aku langsung mencari informasi tentang si perempuan melalui Intan.

Intan, memiliki relasi dan jaringan koneksi yang luas di berbagai fakultas bahkan himpunan serta BEM, langsung membalas pesanku dan memberikan link Instagram miliknya. 

Terlihat jelas dari tindakan si musisi itu saat menyabut perempuan itu. Ternyata, dia adalah seorang aktivis kampus. 

"Tumben diskursus di kedai kopi!" katanya, menambahkan kehadiran energi yang dinamis dalam ruangan. Aku fokus mendengarkan percakapan mereka, terseret oleh kecerdasan dan semangat yang terpancar dari setiap kata yang diucapkan mereka.

"Dalam dunia bisnis, perpolitikan dilakukan sambil minum kopi!" kata si Gondrong dengan suara khasnya, memunculkan suasana santai namun berisi dalam diskusi mereka.

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang