Duapuluhtiga

28 8 0
                                    

Ketika Rian menjemputku di Bandara, aku menyapanya dengan hangat dan menjabat tangannya. Dia membalas dengan senyum tipis, mempertahankan kesan dingin yang mengingatkanku pada Aksara.

Wajahnya tampak lelah dengan lingkaran hitam di bawah mata, seolah ia terjaga selama empat hari berturut-turut. Pakaiannya terlihat acak-acakan, berbeda dari penampilannya saat aku terakhir bertemu. Dia dengan sigap membantuku membawa koper dan mengarahkan aku ke mobilnya.

"Di mana kita akan berbincang?" tanyaku. Rian menyerahkan selembar kertas kepadaku, yang berjudul "Tujuh Gugatan Mahasiswa untuk Negeri Ini."

"SGPC Bu Wirjo 1949, teman-temanku ada di sana" ucapnya pelan. Aku mengangguk, sesekali melirik ke luar jendela mobil, melihat Jogja yang tenang diguyur hujan.

Ketika kami tiba di tempat makan yang disebutkan Rian, alih-alih masuk, dia mengajakku melewati gang kecil yang mengarah ke tangga melingkar menuju ruangan di atas. 

"Masuk, Bar" katanya lirih. Aku mengikutinya ke ruangan luas yang dindingnya dipenuhi mural dan ornamen tokoh kiri Indonesia. Begitu masuk, aku menyapa semua orang di ruangan itu, yang sibuk berdiskusi. Ada yang mengkaji beberapa kasus melalui proyektor, menulis dasar hukum dan ada juga yang tertidur lelap.

"Pembahasan kali ini masih tentang menggugat tujuh putusan yang turun" kata Rian sambil memberiku selembar kertas gugatan dan beberapa dampak dari putusan tersebut.

"Memang tidak ada cara lain selain demo, An?" tanyaku. "Maksudmu?" Rian menoleh.

 "Bicara langsung ke gedung dewan misalnya," jawabku pelan. Rian terdiam sejenak, menatapku sambil menyeruput kopi yang ada di meja dekat kami. "Demo juga bicara, Nona" ujarnya.

Aku mengangguk kecil di hadapannya. "Kamu tidak suka aksi demo?" tanyanya. "Bukan tidak suka, hanya saja kita perlu upaya" jawabku. "Untuk apa?" tanyanya lagi.

"Untuk berbicara secara resmi di Gedung Dewan. Aku ingin melihat apakah dewan yang terhormat itu mampu mendengarkan atau tidak. Setidaknya beri mereka waktu" kataku.

"Jika upaya itu tidak didengar?" tanyanya lagi. "Kalau tidak didengar, apa lagi? Demo lah!" jawabku tegas. "Upayamu terlalu menguras energi, Nona. Kalau hasilnya kembali ke masa" sahut seorang pria yang tadi tertidur di pojok.

 Dia mengenakan jas UGM dan namanya Tono. Ia berjalan mendekat dan duduk di sebelah Rian, berhadapan denganku.

"Rencana demo mengepung jakarta yang kalian ajukan ini terdengar apatis" kataku. Rian dan Tono saling memandang. "Aksara mengirimmu ke sini hanya untuk mengejek kami, Bar?" tanya Rian.

Aku menghela napas, menyadari betapa banyak energi yang diperlukan untuk menjelaskan situasi ini kepada mereka. Maka dari itu, aku memutuskan untuk berdiri dan menarik papan tulis ke hadapan semua orang. Mahasiswa yang tadinya sibuk kini menatapku dengan penuh perhatian.

"Sun Tzu dalam bukunya The Art of War  mengatakan: 'Seni perang yang tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur.'  Turunkan beberapa masa dari beberapa kampus di Jakarta, lakukan Audiensi bersama para DPR disana, beri mereka waktu paling tidak tiga hari setelah penolakan yang sudah kita ajukan. Itu adalah upaya pertama kita untuk membuat revolusi secara damai. Ini bukti bahwa kita adalah mahasiswa intelektual, bukan anarkis." kataku.

"Jika Audiensi itu tidak ditindaklanjuti, kita akan melakukan aksi demonstrasi yang besar" lanjutku.

"Tidak kah, Burner Leana ini mengajak kami untuk bertaruh?" celoteh seorang pria dari kejauhan. 

"Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan, bukan?" jawabku mengutip kalimat Sutan Sjahrir. Semua orang mengangguk perlahan.

"Aksi demonstrasi ini harus bertahap! Ada Gedung DPR di berbagai kota besar yang bisa dijadikan tempat bersuara sebagai bentuk seruan penolakan terhadap RUU.

Jika pada hari itu masih tidak ada respons dari pemerintah, hari selanjutnya harus ada, bukan? Persatuan buruh, mahasiwa dan bahkan seluruh rakyat Indonesia dengan massa yang lebih besar lagi akan mengepung gedung DPR di Ibu kota. Ini adalah upaya terkahir." 

"Paling tidak kita sudah berbicara secara damai, alih-alih langsung malakukan demo masa" lirih Rian menyimpulkan. Aku mengangguk "Tidak buruk bukan?" lirihku. Tono tertegun sambil menyimpulkan senyumnya kearahku. 

"kita butuh kesepakatan paling tidak dari 20 Kampus" lirih Tono menambahkan. "Itu ranahmu, aku hanya membantu sampai sini" lirihku. Semua orang bertepuk tangan mendengar kalimatku.

Setelah berbincang hingga larut malam, Rian menyuruhku untuk tidur di salah satu penginapan yang tidak jauh dari ruang diskusi mereka. Sesampai dipenginapan, aku merebahkan tubuhku di kasur sambil sesekali mendengarkan musik Bring Me The Horizon. Musik metal memang menjadi pelipur kegundahan kepalaku sekarang. 

Who will fix me now?
Siapa yang akan menyembuhkanku kini?
Dive in when I'm down?
Siapa yang kan menyelam saat aku terpuruk?
Save me from myself
Selamatkan aku dari diriku sendiri
Don't let me drown
Jangan biarkan aku tenggelam
Who will make me fight?
Siapa kan membuatku berjuang?
Drag me out alive?
Menyeretku keluar hidup-hidup?
Save me from myself
Selamatkanlah aku dari diriku sendiri
Don't let me drown
Jangan biarkan aku tenggelam. 

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang