Udara Bandung dengan hujan yang berulang kali mengguyur terasa syahdu, seperti mengiringi perjalanan kami yang baru saja tiba di bandara malam itu. Yuli memutuskan untuk menginap di kostanku, menambah kehangatan dalam kebersamaan kami yang lama terpisah. Sesekali, dia menatap lukisan diriku yang tertempel di dinding, sebuah karya yang penuh kenangan.
"Dari siapa?" tanyanya, matanya menyelidik penuh rasa ingin tahu. Aku menatap lukisan itu, merenungi sejenak sebelum menjawab, "Artian, temanku," lirihku. Tangan merogoh ponsel di saku, memeriksa sosial media Artian yang kini berada di London. Dengan cepat, aku mengetik pesan:
"Art, semoga pameranmu berhasil ya! Aku turut merayakan."
Malam itu kami memutuskan untuk beristirahat. Keesokan paginya, Reza menjemput kami untuk mengikuti diskusi di ITB. Putusan yang digugat oleh mahasiswa di Jakarta masih belum memberikan balasan baik melalui pers maupun tertulis. Ketidakpercayaan terhadap para dewan biadab itu semakin menguat di kalangan mahasiswa.
Adnan, ketua BEM ITB, berada di ruangan, sesekali menjelaskan beberapa poin konsolidasi dan manajemen aksi. Diskusi berjalan intens, membahas kajian dan dialektika aksi dengan penuh semangat.
Setelah berdiskusi dengan mahasiswa dari kampus lain, Adnan masih harus mengikuti seminar dan rapat terbuka, membuatku terpaksa berpisah dengan Yuli. Aku tak memiliki jabatan apa-apa, hanya seorang pengamat yang terlibat dan memiliki keinginan untuk berubah.
Duduk di taman Ganesha ITB, aku menyaksikan mahasiswa lalu-lalang mempersiapkan slogan dari spanduk dan menulis di segala pojok. Dari belakang, seseorang menahan kepalaku, membuatku tak bisa menengok ke mana-mana. Ah, aroma bunga tulip itu, siapa lagi kalau bukan dia?
"Aku tahu kamu itu, Sara," lirihku. Dia terkekeh dan duduk di sebelahku.
"Yuli mana?" tanyanya.
"Rapat aliansi BEM," jawabku. Dia mengangguk dan memberikan coklat ke arahku, tapi aku menggeleng menolak.
"Tumben," tukasnya sambil merogoh saku lainnya, lalu memberikan satu ikat gelang.
"Apa ini?" tanyaku sambil mengambil gelang tenunan dihiasi oleh beberapa benang mencolok.
"Hadiah, dari Jogja, karya anak petani," katanya. Aku menyodorkan satu lenganku agar gelangnya bisa dipasang oleh Aksara. Dia menurutinya, memakaikan gelang itu padaku.
"Cantik ya," kataku sambil melihat gelang tersebut.
Tak lama kemudian, Yuli menghampiri kami berdua, membawa sebuah kajian besar. Aku dan Aksara membuka notulensi yang dihasilkan dari kajian yang dikumpulkan BEM seluruh Indonesia.
"Aku ga akan ikut aksi kalian," kata Aksara sambil berdiri.
"Ah, aku tahu. Burner cerita, katanya dirimu akan berada dilapangan yang sama, tapi dengan penolakan yang berbeda?" tanya Yuli.
Aksara mengangguk dan memberikan buku itu kembali ke Yuli sambil sesekali memegang pundaknya.
"Yang penting kan perjuangan kita sama! Lagian perusakan dan kekejaman kebijakan selalu menghiasi kehidupan kita, dan fungsi kita adalah menunaikan keadilan itu sendiri.
Aku akan selalu berdampingan dengan para petani untuk sekarang, karena mau bagaimana pun, mahasiswa berintelektual seperti kalian sudah ada untuk meningkatkan kepekaan terhadap penindasan yang dilakukan pemerintah. Dan itu sudah cukup, giliran ku berjuang dengan manusia manusia tulus seperti mereka."
Aku dan Yuli saling bertukar pandang, merasakan beban dan semangat yang sama. Di tengah kegelapan dan ketidakpastian, masih ada harapan. Dan harapan itu adalah api yang harus terus kami jaga, demi perubahan yang lebih baik.
"Pemerintah di negeri ini sudah bobrok ikut campur dalam urusan reforma agraria. Para petani semakin merugi dan terbebani. Padahal perspektif tentang tanah tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengeksplorasi ketidakadilan sosial, tetapi juga sebagai fondasi untuk membangun struktur sosial yang lebih inklusif dan berkelanjutan," tutur Aksara dengan suara tegas, lalu pergi meninggalkan kami berdua dalam keheningan yang sarat makna.
Yuli menatap punggung Aksara yang semakin menjauh, lalu berkata, "Pikiran Sara jauh dari Kiri maupun kanan ya, Bar. Kadang hanya dia yang tak bisa kutebak langkahnya." Aku tersenyum, merasa bahwa itulah daya tarik Aksara yang sebenarnya—pemikirannya yang mandiri dan sering di luar dugaan.
"Kalau rapatmu sudah selesai, cari makan yuk," ajakku, berusaha mengalihkan perhatian.
Yuli mengangguk setuju. "Ketupat tahu enak tuh di Baltos," katanya, mengusulkan tempat makan favorit kami.
Kami berjalan menuju warung Bu Tini, sebuah kedai makan kecil yang sederhana namun penuh kenangan. Duduk di sana, kami menikmati opak yang tersaji di meja, sambil menunggu pesanan utama. Suasana warung yang tenang memberikan ruang untuk merenung dan berdiskusi lebih dalam.
"Ini aksi pertamamu ya?" tanya Yuli, memecah keheningan.
Aku mengangguk, "Demo selalu identik dengan mahasiswa," kataku, mencoba menyuarakan pemikiranku.
Yuli mengangguk, matanya memancarkan kesungguhan.
"Sejarah telah menyaksikan berbagai peristiwa besar di dunia yang tidak lepas dari aktor intelektual di belakangnya. Kaum intelektual yang diwakili masyarakat kampus, termasuk juga mahasiswa, sering menjadi penggagas utama dalam setiap perubahan," ucapnya, mengingatkan kembali peran penting yang kami emban.
"Kalau ga kita usahakan, siapa lagi yang mau membela kaum tertindas sekarang" lirih Yuli
Aku mengangguk setuju "keadilan adalah titik tengah dari semua persoalan. Aku harap supremasi keadilan di Negeri ini lekas pulih"
Yuli tersenyum. "Semua orang pasti berharap yang sama, Bar"
Kami merenungkan kata-kata itu dalam diam sejenak, membiarkan maknanya meresap. Diskusi kami berlanjut, menyinggung berbagai topik mulai dari reformasi agraria hingga perjuangan mahasiswa dalam menciptakan perubahan sosial. Semangat dan idealisme yang mengisi setiap percakapan mengingatkan kami bahwa di tengah segala tantangan, harapan untuk masa depan yang lebih baik tetap ada.
Ketika makanan kami akhirnya tiba, kami menyantap ketupat tahu dengan lahap, seolah mengisi tenaga untuk perjuangan yang masih panjang. Di warung kecil itu, kami menyusun strategi dan merencanakan langkah ke depan, menyadari bahwa perubahan tidak terjadi dalam semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEDERHANA
Science FictionON GOING (Penulis Beristirahat Dulu) Cerita ini mengikuti perjalanan seorang perempuan muda bernama Burner Leana, atau biasa dipanggil Bar. Ia berasal dari kota kecil dikawasan jawabarat dan bekerja sebagai kasir dimini market sebagai bentuk penyam...