Duapuluhtujuh

28 5 0
                                    

"Kawan-kawan, aku hadir atas nama rakyat Indonesia dan atas nama perempuan Indonesia. Terlepas dari apa yang kalian perjuangkan, aku berdiri di sini bersama seorang perempuan yang ikut berorasi di garda terdepan di gedung tercinta tapi menjijikkan ini.

Kawan-kawan, awalnya aku berpikir bahwa berjuang itu melelahkan. Aku juga berpikir bahwa perempuan dalam stereotip seksis para demonstran akan dikucilkan. Tapi, pemikiranku ternyata salah besar. Kalian, para laki-laki, ikut melindungi kami, menghargai kami, dan memberikan kami kesempatan untuk membela hak-hak perempuan.

Jika tuntutan upah turun, kami memandangnya dari perspektif bagaimana para laki-laki yang bekerja di sektor tersebut dapat memberikan resiko terhadap keluarga dan istrinya. Kami memahami bahwa tuntutan ini bukan hanya tentang angka di atas kertas, melainkan tentang kelangsungan hidup dan kesejahteraan keluarga mereka.

Jika tuntutan mengenai aborsi, kekerasan seksual, dan kriminalisasi perempuan, stereotipe yang kami bawa adalah: bagaimana dengan ibu-ibu kalian jika peraturan itu disahkan? Kami tidak hanya berbicara tentang hak-hak perempuan secara abstrak, tetapi juga tentang perlindungan dan keamanan bagi semua perempuan, termasuk ibu, saudara perempuan, dan anak-anak perempuan kalian.

Kawan-kawan, yang hadir di aksi ini tidak hanya didominasi oleh laki-laki. Ada kaum hawa di sini, ada masyarakat sipil, para petani terhormat di ujung sana dan para buruh di bagian lainnya. Kami berjuang bersama-sama mempertahankan keadilan. Aku turut senang, ketika semua aksi berdempetan, kalian pasti melindungi kami.

Kami tidak berdiri di sini untuk mengedepankan satu kelompok di atas yang lain. Kami berdiri di sini untuk memperjuangkan hak dan keadilan bagi semua. 

Ini bukan hanya tentang perjuangan individu, melainkan tentang solidaritas dan kesatuan. Kami berdiri bersama-sama, menyuarakan ketidakadilan, dan menuntut perubahan yang nyata. Orasiku ku akhiri disini, tapi perjuanganku akan berlanjut sampai nanti"

Sorak sorai dan tepukan bergema di seluruh penjuru, menambah semangat para demonstran. Yuli tersenyum, merasa bangga dan terharu melihat antusiasme massa  mendegarkan ku berani berorasi.

Greessssss!!!!! 

Suara gerbang yang mulai dibobol terdengar nyaring, menandai dimulainya kekacauan. Mahasiswa semakin anarkis, tembakan gas air mata menyerbu ke arah kami. Hari semakin sore, dan kepanikan melanda semua orang. Mereka berlari kesana-kemari menghindari bom asap yang meledak di sekitar kami. Aku dan Yuli berusaha turun dari mobil bak terbuka itu dan berlindung di baliknya.

"Evakuasi mahasiswa kita dulu, Do!" perintah Yuli dengan tegas. Edo mengangguk dan segera meninggalkan kami untuk melaksanakan tugasnya. Reza juga ikut membantu mengevakuasi beberapa korban yang sudah terlanjur terkena gas air mata.

"Kawan-kawan, dimohon tenang!" seru Yuli mencoba menenangkan kerumunan di dekat kami. Di tengah kekacauan itu, Yuli masih sempat memberikan instruksi dan semangat kepada para demonstran.

"Aku tidak sempat memuji orasi mu, nona! Tapi nanti kita bertemu lagi, ya!" katanya sambil meninggalkanku, mengibarkan bendera merah putih terbalik di punggung kecilnya. Yuli terus berusaha mengevakuasi beberapa mahasiswa yang terkena gas air mata dan lemparan batu dari berbagai arah.

Aku masih mengatur nafasku di balik mobil bersama dengan para demonstran lainnya. "Gpp kan de?" lirih salah satu mahasiswa di dekatku, suaranya penuh kekhawatiran.

"Iya ade gpp, Ka. Aku cuma kesemprot sedikit," jawabnya lemah. "Kaka bilang ga usah ikut demo," katanya sambil menjitak perempuan yang kuduga adalah adiknya. Dia merangkul perempuan itu, dan aku melihat tangan yang berdarah karena terkena bebatuan yang terlempar.

"Mas, tanganmu berdarah," kataku. Dia menoleh dan menatapku tajam. Aku terdiam sejenak, lalu mengambil pita rambutku dan menarik jarinya untuk menghentikan pendarahannya.

"UNISBA dijadikan tempat evakuasi mahasiswa yang terkena aksi unjuk rasa. Bawa adikmu dan istirahat," kataku. Dia langsung menarik adiknya dan pergi meninggalkanku.

"Awas, gas air mata disemprot aparat lagi!!!!!" teriak salah satu mahasiswa yang kabur di sampingku. 

Asap gas air mata semakin pekat, menutupi pandangan dan membuat mataku perih tak tertahankan. Aku terjatuh, terhuyung-huyung di tengah kerumunan massa yang panik. Suara teriakan, gemuruh langkah kaki, dan suara tembakan gas air mata menggema di telinga, membaur menjadi satu dalam kekacauan yang mencekam.

Kaki ku terasa berat, setiap langkah seperti tertahan oleh beban yang tak terlihat. Udara di sekitarku penuh dengan bau menyengat gas air mata, membuatku terbatuk-batuk tak henti. Kepanikan melanda, tapi aku mencoba tetap tenang. Aku tahu bahwa aku harus bertahan, harus keluar dari kepungan ini.

"Sini, Bar," lirihnya. Itulah kalimat terakhir yang aku dengar sebelum kesadaranku perlahan menghilang.

Setengah sadar, aku merasakan tubuhku diangkat dan dipapah oleh beberapa orang. Suara-suara di sekitar mulai memudar, seakan-akan aku berada di dunia yang berbeda. Hanya suara detak jantungku yang terdengar jelas, berdegup kencang di telingaku. Rasa sakit di kaki dan tubuhku terasa samar, tertutup oleh adrenalin yang mengalir deras.

"Aku pastikan membawamu ke tempat yang indah dan menyenangkan, Le. Jadi tolong bertahanlah sebentar" suara seseorang terdengar dekat di telingaku. Aku mencoba membuka mata, namun hanya bisa melihat bayangan-bayangan kabur dari orang-orang yang membantuku. Mereka bergerak cepat, saling bekerja sama untuk mengevakuasi para korban.

Ahh, aroma bunga tulip itu. Aku aman sekarang!

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang