Duapuluh Sembilan

26 5 1
                                    

Malam itu, langit Jakarta seperti kain hitam kelam yang terserak di atas kami, berat dengan awan kesedihan yang tak tertahankan. Kehilangan yang kami rasakan menyatu dengan gelapnya malam, menjadikan perjalanan ini sepi dalam kebisuan yang melingkupi seluruh bus. Hanya deru jalanan yang terdengar, seperti irama kesedihan yang tak terelakkan.

Pagi pun menjelang, namun tekad kami tak tergoyahkan. Kami melangkah dengan keberanian yang lahir dari rasa iba yang mendalam terhadap negeri ini, negeri yang seolah merintih di bawah bayang-bayang demokrasi yang hampir mati. Di jalanan siang hari, riuh rendah massa menggema, sorakan dan teriakan dari megafon menyeruak di udara, memecah kesunyian. Namun, ketika azan berkumandang, segalanya berhenti sejenak, seakan semesta mengingatkan kami untuk berhenti dan bersujud. Di antara kami, ada yang berdoa dengan keyakinan yang kokoh, ada yang berjaga dalam diam, dan ada yang melawan dengan tekad membara.

"Mereka semua berjuang atas kebenaran menurut mereka masing-masing," ujar Aksara, suaranya bergetar, mencoba meredam amarah yang mulai merasuk dalam jiwa kawan-kawan yang ingin menerobos pintu DPR dengan kekuatan yang tersisa.

"Kita rehat sejenak, kawan-kawan! Istirahat juga bagian dari perjuangan," seru Edo, mencoba menenangkan massa yang semakin riuh, suara gemuruh yang seolah tak berkesudahan.

Kami berkabung dalam kebisuan, hanya senyuman kecil yang terkadang terselip di antara tangis, sebagai upaya saling menghibur. Kehilangan Yuli adalah luka yang tak akan pernah sembuh, sebuah kenangan yang membekas di hati kami, terutama bagi mereka yang pernah ia bimbing dengan penuh kasih. Meski di hari terakhir kami berdemo, kekacauan semakin menggila, memakan korban yang tak bersalah, fokus kami tetap satu: berjuang untuk keadilan. Sisanya, kami serahkan kepada Tuhan, yang Maha Adil.

Gas air mata berkali-kali membasahi wajah kami, namun mundur bukanlah pilihan. "Jika perdamaian tak disambut, maka kekacauan adalah jawabannya," pikirku dalam hati, mencoba mencari pembenaran atas amarah yang mendidih.

"Kita harus menjadi pemberontak di hadapan negara yang sudah rusak!" teriak Aksara penuh semangat, api di matanya menyala-nyala.

Tiga hari setelah aksi yang penuh duka itu, pada hari Kamis, kami berkumpul di depan Gedung Sate. Pakaian hitam-hitam kami kenakan, membawa foto Yuli yang tersenyum gagah, seolah tak menyesal jika kematiannya harus penuh kesalahpahaman.

"Pakaian hitam ini biasa aku pakai ke kampus sendirian," bisikku kepada Aksara sebelum mendengarkan orasi dari teman-teman BEM kampus lain.

"Sekarang pakaian hitam ini kami pakai untuk mengenang kepergian seseorang," balas Aksara dengan lirih, perban melingkari dahinya akibat benturan dengan aparat.

"Ironis sekali, Sara," kataku, suaraku nyaris tak terdengar di tengah keramaian.

Setelah mengunjungi Yuli untuk terakhir kalinya, hari itu juga menjadi perpisahanku dengan Sara. Dia harus melanjutkan studinya ke tempat yang jauh, dan aku harus rela melepaskannya, meski hati ini belum siap untuk kehilangan lagi.

Di bandara yang pernah kami kunjungi bersama, aku termangu, menatap lautan manusia yang lalu lalang. Sara menggenggam tanganku erat, senyumku kelu, hanya bisa menatapnya dalam bisu.

"Akan ada orang yang lebih menyenangkan di bumi ini, Le," katanya lembut, matanya penuh harap.

"Aku harap demikian," jawabku lirih, meski hatiku ragu.

"Aku ingin titip satu harapan kecil."

"Apa?"

"Semoga kedepannya, hal-hal baik menyertaimu. Semoga kamu dan dirimu tetap kuat. Jaga dirimu, oke?" katanya, suaranya bergetar.

Aku hanya bisa mengangguk, tak mampu berkata apapun.

Dua sosok penting dalam hidupku telah pergi dalam waktu yang hampir bersamaan, meninggalkanku sendirian di sini. Seruan aksi dan perpisahan ini menjadi kilas balik yang pahit, seolah menjadi penutup dari sebuah kisah yang sebenarnya baru saja dimulai.

Aku menuliskan secarik puisi di sebuah halte, tempat yang akan mengantarku ke perjalanan berikutnya.

Halo Tuan,

Kita memang pernah bersapa untuk saling meluka

Meski ini baik, tetap saja sakit

Padahal, baru kemarin kita bahagia

Sudah mulai di gugur kan saja

Ada apa Puan?

Kenapa ini tak berjalan lama?

Kenapa singkat dan tak terasa?

Tibakah waktunya kita?

Di pengujung bumi

Yang siapapun harus diikhlaskan pergi.

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang