Sembilanbelas

40 17 1
                                    

Aku, Yuli, Reza, dan anak-anak aktivis lainnya menyempatkan diri untuk mengantar dua mahasiswa berprestasi, Aksara dan Sofia, ke bandara. Waktu keberangkatan pesawat mereka sudah tiba. Di tengah hiruk-pikuk orang banyak, Aksara masih menyempatkan menggenggam tanganku erat.

"Jaga diri baik-baik di sini ya!" bisik Aksara dengan lirih. Aku hanya bisa mengangguk dan memeluknya erat, berharap waktu bisa berhenti sejenak. Ah, sial! Apakah pertemuan kami harus sesingkat ini?

"Kamu juga," balasku pelan. Dia mengangguk, melepaskan pelukan kami perlahan. Dari kejauhan, Yuli yang tampak sedih berlari mendekat dan memeluk Aksara begitu erat sambil berkata, "Gue pasti akan kangen banget sama lo." Aksara membalas pelukan itu dan tersenyum kecil saat teman-teman lain ikut memeluknya bergantian.

Dengan berat hati, Aksara dan Sofia melangkah menuju tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Mereka melambaikan tangan untuk terakhir kali, dan perlahan punggung mereka menghilang dari pandangan kami.

"Kamu baik-baik aja, Le?" tanya Yuli penuh perhatian. Aku menggeleng, air mata yang sudah lama kubendung akhirnya pecah. Yuli tersenyum lembut, mendekapku dan memberikan sepucuk surat dalam amplop biru.

Di kamar kost, duduk di depan meja belajar, aku membuka surat itu dengan hati-hati.

"Hai Leana,

Ahh, rasanya baru kemarin aku mengganggumu di konser itu. Kamu, orang aneh yang asyik membaca buku dengan wajah serius namun tetap menawan.

Bukan karena aku tidak tahu siapa Mark Manson ketika bertanya soal bukunya, tapi karena aku ingin berlama-lama mendengarkan suaramu. Ketika kamu fokus bicara, aku pun ikut fokus memperhatikanmu, dan dari sana mulutku tiba-tiba lebih dulu bicara, mengatakan bahwa aku tertarik denganmu. Meskipun kalimat itu membingungkan, bukan?

Kamu paling tidak suka dipanggil Burner. Baiklah, di tahun berikutnya aku akan memanggilmu Le, aku berjanji, sungguh!

Aku kaget ketika melihat anak semester satu membawa buku Bertrand Russell di kedai kopi. Selera kamu memang bagus, meski aku tak menyangka kamu memilih filsafat di antara banyaknya genre buku.

Melihatmu dengan pakaian hitam pada hari Kamis, di tengah orang-orang berpakaian warna-warni membuatku bertanya-tanya, kenapa kamu seidealis itu? Dari banyak perempuan yang kukenal, kamu satu-satunya yang tak bisa kutebak. Kamu sungguh penuh kejutan. Semakin lama aku di dekatmu, semakin banyak pengetahuan yang kamu bagikan, semakin hatiku tak karuan. Entah karena kekaguman atau rasa suka, aku sangat menginginkanmu.

Hingga hari yang membuatku tercengang tiba. Aku tidak bisa menyusuri sejauh apa masa lalumu. Tapi jika itu menyakitkan, sembuhlah. Aku tidak tahu seberapa dalam rasa sakitnya, tapi kuatlah. Karena mungkin itu baik untukmu, itu sudah berlalu, dan aku harap hal-hal menyenangkan akan memihakmu.

Terakhir, aku tak sabar melihat Leana di tahun depan. Maaf jika pertemuan kita terlampau singkat dan justru menyesakkan dada. Tapi aku harap, aku harap...

Kamu dan dirimu tetap menawan seperti sekarang. Karena aku akan tetap dengan diriku yang sekarang. Dan kalimat paling terakhir lagi,

Cara terbaik mendewasakanmu adalah meninggalkanmu, dan cara terbaik membuatmu tetap tumbuh adalah membiarkanmu belajar dari banyak hal.

Dari Aksara, Bandung, 13 Oktober 2019."

Itulah surat singkat yang aku baca sembari merintihkan air mata. Keberadaan Aksara mungkin sudah jauh, tapi kata-katanya terasa begitu dekat di hatiku. Ah ini kah akhirnya?

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang