Duapuluh

39 16 2
                                    

Satu minggu setelah kepergian Aksara, aku sibuk tenggelam dalam tugas-tugas kelompok yang menumpuk. Kampus yang biasanya menjadi tempat paling indah, kini kehilangan pesonanya tanpa kehadiran Aksara. Setiap sudut kampus yang dulu dipenuhi harap untuk menemuinya, kini terasa hampa. Waktu terasa terlalu singkat, dan lima bulan kebersamaan kami meninggalkan kesan dan kenangan yang tak terhapuskan, aku enggan pula melupakannya. 

Pagi itu, Yuli menghubungiku. Ia menyuruhku datang ke ruang BEM. Aku menurutinya, penasaran dengan apa yang akan ia katakan. Saat bertemu, wajah Yuli yang biasanya ceria kini terlihat hampa, seolah bukan hanya aku yang kehilangan Aksara, tapi juga sahabatnya.

"Udah nggak ada kelas?" tanya Yuli dengan nada datar. Aku hanya mengangguk. Dia memelukku erat, menghela nafas panjang sambil sesekali menepuk pundakku.

"Lebay. Toh cuman satu tahun" lirihku, membuat Yuli melepaskan pelukannya seketika. Dia mengerenyitkan dahinya, menatapku heran.

"Emang dirimu sudah ikhlas?" tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan. "Secepat itu?" tanyanya tak percaya. Aku mengangguk sekali lagi. "Cihh emang aku yang sayang besar ke sara tuh" desisnya membuatku tersenyum, sambil mengambil sebuah kotak kecil dari meja di belakangnya dan menyerahkannya padaku. 

"Yang menyakitkan dari hidup adalah semua orang berjalan dengan semestinya, padahal kita lagi pengen diem aja di semesta ini" lirih Yuli. "Ini apa?" tanyaku sambil membuka kotak itu.

"Kunci" jawabnya pelan. Di dalam kotak yang ku buka, aku menemukan kunci dengan gantungan hewan-hewan laut: paus, bintang laut, kuda laut, dan terumbu karang.

"Sara titip itu. Dia bilang kamu pasti suka" ujar Yuli sambil membuka handphone-nya. Notifikasi di handphone-ku juga ikut berdering. Yuli mengirimkan lokasi rumah tua yang tak jauh dari kampus.

Aku segera keluar dari ruangan itu dan memesan taksi. Sore di Bandung terasa semakin sejuk. Terlihat Dua buah bangunan bersebelahan yang hanya dipisahkan oleh pagar kayu yang tak simetris. Di sebelah kanan, terlihat bangunan kafe yang ramai, dengan nama cafe "Kafe Idealis" terpampang besar disudut pagar. Di sebelah kiri ada rumah kosong yang terawat dengan beragam bunga tulip menghiasi pekarangannya .

 "Rumah Aksara"  lirihku membaca tulisan yang terpangpang digerbang kecil hadapanku. 

Aku tersenyum, menyadari ini tempat tinggalnya. Tak lama setelah membeku disana, seorang pelayan datang dari arah kafe menuju ke arahku.

"Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanyanya. Aku memperlihatkan kunci yang kugenggam. Pelayan itu tersenyum kecil, mengambil kunci itu dan membukakan gerbang utama.

"Aksara banyak cerita soal kamu" lirihnya sebelum pergi meninggalkanku. Aku menatap ragam bunga tulip yang berjajar rapi, air yang menggenang di sela-selanya, dan menghirup wangi khas yang selalu ada di bajunya. Keramaian kafe diiringi bau kopi yang menyengat menambah suasana.

Di dalam rumah, aku menemukan sebuah meja dengan selembar kertas kecil. 

Hai Bar. Maaf jika ini mendadak, ini rumahku. Kalau kamu lagi lelah, mampir ke sini! Aku menjamin kamu tidak akan kesepian

Kalimat itu tertulis di kertas itu. Aku tersenyum dan membuka pintu ruangan.

Ahhh, aroma buku-buku lama langsung menyambutku. Ada vinyl beserta alat pemutarnya di pojokan, poster-poster terpampang di sekeliling ruangan. Kamar Aksara penuh dengan buku-buku yang tersusun rapi di rak, cermin menghadap matahari, dan jendela yang memperlihatkan pemandangan kafe yang semakin hidup menjelang malam.

Aku mengambil satu buku bertajuk: Hanya Saja Definisi Cinta Kita Berbeda karya Febriawan Jauhhari. Di halaman pertamanya tertulis, "Untuk kita yang sedang, akan, dan sudah jatuh cinta." Romantis sekali, bukan? Aku menyusuri dapur kecil yang dipenuhi poster-poster foto pahlawan revolusi dan aktivis yang hanya kukenal sebagian.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

Aku membuka pintu perlahan, menemukan seorang laki-laki dengan kumis tipis dan rambut yang dikuncir.

"Ka Burner ya?" lirihnya. Aku mengangguk. "Kak Sara titip pesan sebelum berangkat ke luar negeri. Kalau ada perempuan yang datang ke rumah ini, aku diperintah kasih kopi gula aren produk baru buatanku ke kakak" lirihnya lagi. Aku tersenyum, merasa Aksara penuh dengan misteri.

"Terus?" tanyaku penasaran.

"Katanya: kalau kopi ini enak menurut kakak, kita diizinkan lounching menu baru" jawabnya. Aku tertawa, mengambil gelas kopi tersebut dan meminumnya. Rasanya khas, bau kopinya menyengat dengan gula aren yang sedikit masam namun gurih. Aku menyukainya.

"Ini enak" komentarku. Dia tersenyum hangat, lega mendengar komentarku. "Kakak sampai jam berapa di sini?" tanyanya.

"Kenapa memang?" tanyaku.

"Nanti mampir ke kafe ya, Kak. Semua karyawan pasti senang kalau tahu kakak" ujarnya. Aku mengangguk.

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang