Lantai Delapan

22 5 0
                                    

Setelah menghirup aroma minyak yang menyengat, yang seketika menyeruak ke hidungku dan membuatku terjaga, aku melihat hari sudah petang. Suara ricuh masih menggema di luar sana, menambah ketegangan suasana. Siapa yang ada di sampingku?

Ternyata perempuan yang tadi dilindungi oleh sang kakak itulah yang berada di sana. Dengan perlahan, aku mengangkat tubuhku yang terasa berat untuk duduk di atas kasur. Di sekitarku, semua orang masih terbalut perban, bahkan beberapa masih merintih kesakitan.

"Ka..." bisiknya lirih.

Aku menoleh.

"Ka Yuli meninggal dunia," ujarnya dengan suara bergetar. Waktu seolah berhenti. Suara ricuh di luar sana tiba-tiba menghilang dalam kepalaku, hanya menyisakan wajah Yuli yang biasanya selalu ceria. Pagi tadi, dia masih berdiri di sampingku, begitu bersemangat dan penuh heroik. 

"Bohong, Tuhan! Ini pasti hanya mimpi buruk yang mengerikan," gumamku. Aku memaksakan kakiku yang terasa kaku untuk berdiri, sementara air mata mulai membanjiri wajahku. Yuli? Meninggal? Oh Tuhan, ini tidak mungkin. Dalam keputusasaan, aku membanting kepalaku dengan kepalan tanganku, berharap ini semua hanyalah mimpi.

"Ka, ini obat pereda perihnya—"

Plaak! Aku menyingkirkan siapapun yang mencoba menghalangi langkahku yang lemah. Kepalaku penuh dengan kilas balik pertemuan pertama kami hingga momen-momen indah yang kami lalui bersama.

Hari-hari lalu, dia selalu bersama denganku, tidur di sampingku, Tuhan. Wanita hebat itu? Ah, ini tidak mungkin. Aku mencoba mengatur napas, tetapi air mata terus saja mengalir tanpa henti. Seorang laki-laki dari arah pintu berlari menopang langkahku yang goyah. Dia memelukku erat.

"Kita sama-sama kehilangan," kata Aksara.

"Kapan? Kenapa bisa? Kenapa kamu tidak menjaganya? Apa karena aku hanya menjanjikan kamu minum kopi sehingga kamu yang selamat, Yuli tidak? Kenapa bisa, Sara?" pertanyaan-pertanyaan itu terus mengulang dalam pikiranku.

Sara memelukku lebih erat, seolah memahami betul kesedihanku yang tak terucapkan. Betapa terkejut dan kecewanya aku, yang hanya terbaring beberapa jam ini, melewatkan peristiwa memilukan yang harus dialami sahabatku. Teman setia, partner di lapangan, dan kini dia telah pergi selamanya.

"Dia sudah kami kirim ke rumah orang tuanya. Aku menahan pemakamannya supaya kamu bisa mengantarnya," kata Aksara dengan suara yang nyaris pudar, seolah-olah setiap kata yang keluar darinya membawa beban yang tak tertahankan.

Aku menggelengkan kepala dengan keras, air mata terus mengalir tanpa henti. "Aku ingin bertemu dengannya, Sara. Aku tidak mau hanya mengantarnya. Aku ingin mendengar pujian darinya karena aku telah berhasil berorasi tadi pagi. Sara, Yuli pasti masih ada di sana. Bisa jadi itu bukan dia, mungkin—"

Aku berusaha menyangkal kenyataan, berharap bahwa yang mereka katakan bukanlah Yuli. Namun, mata Sara terlalu jujur, menatapku dengan kedalaman yang sama sedihnya, mengungkapkan kebenaran yang tak terhindarkan.

"Aku tahu ini sulit untuk diterima," kata Sara sambil mengusap punggungku dengan lembut. "Yuli pasti bangga padamu. Dia selalu bangga padamu."

"Aku tidak bisa menerimanya, Sara. Dia adalah bagian dari hidupku, kekuatanku. Bagaimana aku bisa melanjutkan aksi ini tanpa dia?" tanyaku, suaraku pecah dalam tangisan yang semakin keras.

"kematian dia, disebabkan oleh kebijakan konyol negeri ini"

Sara memegang janjinya, dia berhasil selamat dalam demo pertama kali ini. Namun, satu dari kami, perempuan feminis yang gigih itu, telah gugur di medan. Aku pikir kami akan melakukan konsolidasi massa kedua, sambil minum kopi seperti revolusi Prancis atau amanat dari Machiavelli. Tapi sekarang, semua impian itu hancur berkeping-keping.

Aku merasa tidak bisa menghentikan tangisku, tapi aku berusaha berhenti bicara. Karena aku baru sadar, yang dekat dengan Yuli tidak hanya aku. Sara juga. Aksara adalah laki-laki yang jauh lebih dahulu mengenalnya, bukan?

"Yul, kematianmu diberitakan di seluruh stasiun TV. Aku dengar kamu ditembak oleh dua oknum bersenjata. Entah dari aparat atau dari siapapun, aku tidak mau mengurusi hal itu."

Sesampai di rumah orang tua yuli, Aksara masih mendampingiku. Seluruh aliansi BEM, petinggi kampus, dan semua orang yang terlibat bahkan berhubungan dengannya datang. Aku melihat peti mati di depan rumah yang ramai oleh setangkai ucapan dan bunga.

Wajahnya sangat pucat, namun dia tetap cantik, kurus dengan poni yang menghiasi dahinya. Di peti itu, senyumnya sedikit tersimpul, lesung pipinya terlihat.

"Yul, selamat malam. Aku sudah di sini. Meski enggan mengantarmu karena aku ingin bersamamu terus, aku berusaha ada di sampingmu. Sama sepertimu yang menemaniku di Jogja.

Yul, gugur sudah orasi-orasi indahmu. Tapi perjuanganmu akan kami teruskan. Banyak orang yang hadir di pemakamanmu. Mereka semua pernah terlibat denganmu. Hal baik apa yang mengetuk mereka sehingga mau mengantarkan jasadmu, Yul?

Dua kali tembakan tertusuk di perutmu. Semua orang kesal kepada siapapun yang berani menghabisi nyawamu, tapi apa yang kami hadiahkan sekarang selain keadilan adalah kedamaian untuk dirimu dulu.

Yul, kupat tahu Baltos yang kita makan, apakah itu yang terakhir? Kamu belum memujiku karena berhasil berorasi tadi. Bolehkah kamu memujiku sekali sebelum kamu pergi?

Kami berjalan menuju tempat penguburan jasad, suasana begitu kelam. Semua orang mengenakan pakaian hitam, dengan satu pita putih yang terlilit di masing-masing lengan, sebagai tanda penghormatan terhadap apa yang pernah dia perjuangkan semasa hidupnya. Sara menggenggam foto Yuli erat-erat, tanpa setetes air mata yang jatuh dari matanya. 

Aku menggenggam jemari Sara dengan erat. Aku tahu ini sangat berat baginya. Aku yakin, Sara sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan semua rasa sakit ini. Selesai di pemakaman Yuli, semua orang melakukan kumpulan massa dan turut berkabung atas gugurnya aktivis perempuan. Aksi sudah berhenti dua jam lalu, setelah memakan hampir 400 korban.

Aku, Reza, Edo, dan Sara duduk di teras rumah, menatap kosong ke arah orang-orang yang ikut berkabung atas meninggalnya aktivis muda bernama Yuli. Kesedihan melingkupi kami, membebani setiap napas yang kami hirup.

Edo masih menangis kecil, sesekali menyeka ingus dengan bajunya. Reza mencoba menguatkan Edo, tetapi aku tahu, dia juga tengah berjuang dengan kesedihannya sendiri. Sedangkan Aksara hanya duduk diam, menatap kosong pada foto Yuli yang ada di tangannya.

Tiba-tiba, seorang laki-laki berbaju tentara datang menjerit sejadi-jadinya, memanggil nama Yuli dengan putus asa. Dia berlari menuju ruang ibadah umat Kristen, suaranya menggetarkan seluruh ruangan.

"Jangan bilang?" Edo berbisik dengan curiga, matanya masih merah dan bengkak karena tangis.

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang