Duapuluhenam

25 5 0
                                    

Duarrr!

Srtttttt!!!!!

Suara petasan menggema di seluruh penjuru, menghancurkan keheningan di siang terang dan memancarkan aura kegentingan yang menakutkan. Hari yang dinanti-nanti dengan campuran ketegangan dan harapan akhirnya tiba. Ini adalah penanda dimulainya aksi besar yang telah lama direncanakan dengan penuh kehati-hatian dan strategi. 

Upaya dialog telah ditempuh, solusi dicari, namun respon yang diharapkan tak kunjung datang. Kekecewaan menular, meresap ke dalam hati masyarakat dan mahasiswa yang telah berkumpul. 

Kami mengepung gedung DPRD Kota Bandung dari berbagai penjuru, memblokade semua akses publik, terutama jalan raya. Suara seruan untuk keadilan menggema di udara, memecah keheningan dengan kekuatan yang tak terbendung.

Orasi mulai dilakukan dari berbagai arah. Yuli, seorang teman dekat sekaligus orator ulung, meninggalkanku dan bergerak ke garis terdepan. Dia berdiri di atas mobil bak, dengan megafon tersampir di tubuhnya, berorasi dengan semangat yang berkobar. Pemandangan itu membuatku merinding. Lautan manusia membanjiri kota Bandung, warna-warni almamater menghiasi setiap sudut.

Spanduk dengan kritikan, ocehan, dan sindiran diangkat setinggi-tingginya. Semua orang berjuang dengan semangat yang sama. Desakan dari kanan kiri semakin terasa, bau keringat menyengat hidung, dan suara teriakan menggelitik telinga.

"Kamu siap, Sara?" tanyaku pada Aksara ketika kami sudah siap melakukan orasi di gedung yang menjijikkan ini.

"Aku akan selalu siap, Leana," jawabnya lirih namun penuh keyakinan. Aku tersenyum, menggenggam lengannya sebelum kami berpisah tempat.

"Malam ini aku ingin kita minum kopi bersama. Kamu bisa pastikan itu, kan?" tanyaku, berusaha tetap tenang di tengah kekacauan. Sara mengangguk lagi.

"Akan aku usahakan, Le," jawabnya lembut. Aku mengangguk balik.

"Tolong ya, tolong pastikan supaya kamu baik-baik saja."

"Kamu juga," jawabnya, melepaskan genggaman tanganku dan bergegas ke barisan lain. Para petani dengan topi dan cangkul khas mereka serta padi-padi yang mereka cabut dari kebunnya menandakan simbol perlawanan atas matinya demokrasi di negeri ini.

Ketika dari jauh kulihat Aksara disambut hangat oleh semua buruh di sana, hatiku dipenuhi kebanggaan.

Sara, aku kadang tidak bisa menerka arah apa yang kamu pilih, tapi aku selalu percaya. Entah percaya pada dirimu atau diriku, aku percaya kalau kamu akan selalu membereskan kekacauan di negeri ini. Membela kaum-kaum tertindas oleh elit yang menguras, memberikan pemahaman kepada mereka yang tak berpendidikan. 

Aku mungkin egois, ingin diberi kejutan olehmu. Tapi apa yang lebih menarik selain menyaksikanmu dari kejauhan sini, kamu yang mengangkat megafon lantas mengutarakan keresahan para petani yang hanya tahu bagaimana bercocok tanam tanpa menyadari bahwa posisi mereka direpresi oleh pemerintahan.

Kamu selalu berani, Sara, menghadapi ketidakadilan. Ketika aku melihatmu, aku melihat harapan. Harapan bagi mereka yang tidak memiliki suara! bagi mereka yang telah lama diabaikan. 

Namun, di balik semua itu, aku tahu ada beban berat yang kamu pikul. Tanggung jawab untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Setiap kali kamu berdiri di hadapan massa, aku bisa melihat keteguhan di matamu, tetapi juga ketegangan yang tersembunyi. Aku ingin bisa membantu meringankan beban itu, untuk berbagi sedikit dari tekanan yang kamu rasakan setiap hari.

Tapi kamu juga pasti tau,  apalah daya ku, Sara?  Toh, aku juga masih bergantung dengamu kan? 

Semarak yel-yel kami nyanyikan mulai dari lagu "Buruh Tani" karya Safi'i Kemamang dan "Darah Juang" yang sangat magis ketika didengar, karya Marjinal. Kedua lagu tersebut bukan hanya sekadar lagu, melainkan menjadi simbol perjuangan dan semangat para demonstran. Sampai lagu kebangsaan kota ini, "Halo-halo Bandung", kami gaungkan dengan penuh semangat, menjadikan kota ini lautan aksi. Lagu-lagu tersebut menggema di udara, menambah semangat dan solidaritas para demonstran yang berkumpul untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Orasi Aksara membuat massa sempat hening seketika. Dengan seni retorika yang dimilikinya, dia mampu menarik perhatian dan dihormati oleh orang-orang di sekelilingnya. Kata-katanya penuh dengan semangat dan keberanian, memanggil kesadaran semua orang yang mendengarkannya.

"Para manusia bumi yang terhormat, ironis sekali bahwa di negeri yang diberkahi dengan tanah yang subur dan kaya akan sumber daya alam, para petani kita justru terpinggirkan. Lahan-lahan pertanian yang seharusnya menjadi penopang ketahanan pangan nasional kita kini dikorbankan demi kepentingan segelintir elit yang rakus. Hak-hak petani terabaikan, dan masa depan mereka menjadi semakin suram."

Aksara melanjutkan dengan penuh keyakinan, "Simbol-simbol kekayaan ini akan menjadi kosong jika kita terus membiarkan ketidakadilan ini berlangsung. Kita harus kritis dan menyadari bahwa kebijakan agraria saat ini tidak mencerminkan keadilan sosial. Kita butuh kebijakan yang memastikan bahwa lahan pertanian tetap produktif dan tersedia bagi generasi mendatang."

"Negara harus bertanggung jawab! Mereka harus mendengarkan suara rakyat, bukan hanya mendengar bisikan kaum elit. Kita menuntut kebijakan yang pro-petani, kebijakan yang menjamin kedaulatan pangan dan kesejahteraan para petani. Kita harus memastikan bahwa lahan pertanian tidak terus berkurang karena keserakahan segelintir orang

Kenaikan harga minyak goreng dan kebutuhan pokok lainnya telah menyebabkan pendangkalan pemahaman terhadap demokrasi. Kita tidak bisa terus-menerus tertipu oleh janji-janji kosong yang hanya menambah penderitaan rakyat. Simbol kekayaan yang dipamerkan oleh para elit hanyalah penipuan jika tidak diiringi dengan keadilan agraria yang nyata.

Kita tidak bisa terus-menerus dibutakan oleh ilusi kekayaan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kita harus berjuang untuk keadilan agraria, demi kesejahteraan para petani, dan masa depan anak cucu kita." Orasi ini selalu terpatri di kepalaku, sebagai pengingat akan perjuangan yang harus terus dilanjutkan.

Setelah semua mahasiswa terdiam karena orasi Aksara, Edo menarikku ke arah mobil bak Yuli. Reza juga ada di sana, dan aku dengan cepat tiba-tiba berdiri bersama Yuli. "Ayo, bagianmu kali ini," kata Yuli sambil menunggu ketua HMI berorasi di depan kami karena suasana kembali riuh.

"Yul, aku tidak bisa," jawabku dengan suara gemetar.

"Bisa, ini kesempatan bagus bukan?" Yuli mencoba meyakinkanku.

"Aku mengerti, tapi..."

"Tidak ada tapi. Ka Bagus! giliran temanku yang berorasi," kata Yuli sambil menarik megafon ke tanganku.

Dengan perasaan campur aduk antara takut dan bersemangat, aku tahu ini adalah momen penting. Meski ragu, aku sadar bahwa kesempatan ini harus dimanfaatkan. Aku mulai bicara.

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang