Delapanbelas

36 16 1
                                    


Aku tak menyangka kepergian Aksara akan terjadi begitu tiba-tiba, padahal baginya pertukaran pelajar ini sudah matang dalam rencananya. Namun, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana dia bisa meninggalkanku saat aku tengah jatuh cinta padanya?

Hari ini, aku mengantarkan Aksara untuk berbelanja pakaian musim dingin, hanya dua hari sebelum keberangkatannya. Oh ya, dia berangkat bersama salah satu ketua fakultas seni, Sofia.

"Kamu akan lama di sana, Sara!" kataku pelan sambil mendorong kedua bahunya menuju tempat ganti. Aksara tersenyum dan membiarkanku membantunya memilih dan mengenakan pakaian yang cocok di tubuh kekar dan tinggi itu.

"Sudah cukup hangat" bisik Aksara sambil sesekali memberikan pose ke arahku yang menunggunya dengan pakaian yang aku pilihkan. "Terserah pakaiannya seperti apa pun, di tubuhmu pasti terlihat pas."

Aksara membeli tiga buah baju, lalu menggenggam jemariku erat sambil sesekali melirik toko-toko sepatu yang akan kami kunjungi selanjutnya. "Terima kasih sudah mengantarku, Bar" ucap Aksara. Aku mengangguk dengan senang hati.

"Kita ke toko buku dulu!" bisikku sambil menariknya ke Gramedia terdekat di lantai paling atas. "Tapi kamu-kan sudah punya banyak buku!" lirihku bermonolog. Aksara mengangguk memperhatikanku, dan aku pun menyusuri rak-rak dengan jemari yang menunjuk berbagai ragam bacaan.

"Meski ada banyak buku milikmu, aku harap di pesawat kamu tetap memilih membaca daripada hanya tidur mendengkur" kataku pelan. Dia tertawa kecil, meski aku tahu pertemuan ini tidak sepenuhnya dinikmati oleh kami. Aku mencoba memberikan kenangan-kenangan kecil dalam hidupnya sebagai balasan atas apa yang telah dia berikan padaku.

"Meski kita tidak menanamkan apa pun, tapi Bar, kamu serius tidak merasa sedih atas kepergianku?" tanyanya sambil menatapku yang asyik memilih buku. Aku tersenyum, "Lagi-lagi, untuk apa aku harus bersedih, Sara?" tanyaku.

"Perasaan itu berbeda dengan pemikiran, Burner" katanya pelan. "Apa yang baik menurut akal belum tentu baik untuk hati, bukan?" Aku menoleh padanya, melihat matanya yang berkaca-kaca sambil sesekali dia mengerutkan dahinya.

"Aku rasa kamu yang bersedih di sini?" kataku sambil tersenyum. Aksara menghela nafas dan membantingkan tubuhnya ke belakang rak buku itu, sesekali menundukkan kepala untuk memikirkan kalimat apa yang akan dia katakan.

"Soe Hok Gie, bilang dia tidak pernah kehilangan apa-apa, tapi satu hal yang dia lupakan," katanya pelan. Aku menatap matanya yang menahan kesal dan gundah tak beraturan itu. "Apa yang dia lupakan, Sara?" tanyaku. Aksara mengambil buku dari rak atas dekat puncak kepalaku, memajang buku Catatan Seorang Demonstran di samping lengannya.

"Dia justru meninggalkan orang-orang yang membuat mereka merasa kehilangan dirinya" katanya pelan.

 Aku tersenyum, menikmati tingkah Sara yang berbeda dari biasanya. Aku kira dia akan menjadi rasional dalam kisah cinta ini, menunjukkan maskulinitasnya dan meraih banyak hal daripada terperangkap dalam bujuk rayu orang yang dicintainya.

"Aku sudah terampil dalam hal ini: meninggalkan atau ditinggalkan. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa alam semesta mengajarkan kita dari kedua variabel itu?" tanyaku. Aksara menghela nafasnya.

"Terkadang, terlepas dari teori idealis yang aku bawa, atau melihat secuil imajinasi yang rasional di wajah dinginmu itu. Aku tahu, aku tahu betul ada sejuta protes yang menyeruak di kepalamu. Kamu tahu? Aku semakin berat hati, Burner. Aku berat hati melihatmu yang baik-baik saja," katanya pelan.

"Sara..." kataku pelan. Dia berdiri di depanku, aku terkekeh kecil sambil mengatakan, "hampir lima bulan lamanya, mungkin dengan cara ini, kita mendekati perpisahan yang terbaik. Aku bangga dengan perasaan yang begitu mengharukan ini. Bagiku, kamu adalah teman dan laki-laki terbaik yang pernah aku temui. Terima kasih.

Mulai dari sini, di mana pun kamu berada, berapa lama pun, aku yakin akan terus merasakan keberadaanmu di dekatku. Jadi, aku sungguh baik-baik saja, Sara" kataku pelan sambil memeluknya.

Sara mencium puncak kepalaku sambil sesekali membelai-belai rambutku dibalik pelukannya.

 "Kita tidak bisa melihat masa depan, dan justru karena itulah kita bisa menjadi penguasa atas nasib kita sendiri. Tahun depan, aku akan datang sebagai laki-laki yang lebih baik lagi. Sampai waktunya tiba, aku harap bertemu denganmu adalah nasib yang bisa aku usahakan" lirihnya. aku tersenyum menyambut hangat kalimatnya yang syahdu nan ragu itu. 

Alunan musik terdengar melintasi pintu luar, memanggilku untuk kembali ke dalam mall. Saat aku memasuki ruangan, pandangan mataku tertuju pada keramaian yang diiringi oleh suara merdu seorang penyanyi cantik yang mengalunkan lagu. Sementara aku berjalan, aku terpesona oleh pesonanya yang memikat, yang menyampaikan pesan melalui setiap nada yang ia nyanyikan.

Di tengah keramaian itu, kami terhanyut dalam pesona suara indahnya yang memenuhi ruangan. Dari kejauhan, terlihat sosoknya yang anggun berada di atas panggung, memancarkan pesona yang tak terbantahkan. Setiap kata yang terlantun dari bibirnya membawa makna yang dalam, seakan mengungkapkan kebijaksanaan tentang takdir dan masa depan.

Saat aku merenung, teringatlah lagu yang pernah aku dengar di masa kecilku: Que Sera Sera karya Doris Day. Liriknya sangat aku hafal, Aksara juga ikut menyanyi seolah lagu ini menjadi pemersatu suasana kami berdua. 

When I grew up and fell in love
Saat aku tumbuh dewasa dan jatuh cinta

I asked my sweetheart
Kutanya kekasihku 

What lies ahead
Apa yang kan terjadi

Will we have rainbows
Akankah selalu ada pelangi

Day after day
Dari hari ke hari

Here's what my sweetheart said
Beginilah jawabnya

Que sera, sera
Whatever will be, will be
Apapun yang kan terjadi, terjadilah

The future's not ours to see
Kita tak tahu yang kan terjadi di masa depan

Que sera, sera
What will be, will be
Apapun yang kan terjadi, terjadilah

Dalam lantunan lagu dan keindahan suara penyanyi itu, aku merasa tersentuh oleh kata-kata itu. Mereka menyiratkan kebijaksanaan yang dalam, mengingatkanku bahwa takdir adalah sesuatu yang tak bisa kita kendalikan sepenuhnya, dan yang terbaik adalah menerima apa yang akan terjadi dengan lapang dada. Karena bertemu denganmu bukan lah sumber kekecewaan, Aksara. Aku akan menerima apapun yang ditakdirkan Tuhan. Karena meski berakhir sakit, boleh jadi itu baik. 


SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang