Tigapuluh

18 6 1
                                    

Langit Bandung sore itu tampak kelabu, seolah menggambarkan suasana hati yang sedang diliputi kesedihan. Aku melangkah pelan memasuki halaman rumah sakit, tempat di mana waktu seakan berhenti berdetak. Di sudut taman yang sepi, aku melihat Artian duduk diam di bangku kayu, wajahnya terlihat letih, seperti kanvas yang telah lama tak terjamah warna.

Dengan hati-hati, aku mendekatinya. Berbagai kata berputar-putar dalam benakku, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk memulai percakapan. Namun, ketika sampai di hadapannya, hanya satu kata yang berhasil keluar dari bibirku.

"Hai," sapaku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh gemerisik daun yang diterpa angin.

Artian mengangkat wajahnya perlahan. Matanya yang biasanya bersinar penuh semangat kini tampak redup, seolah kehilangan cahayanya. Dia tidak menjawab, hanya menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan meraih tanganku. Tanpa sepatah kata, dia menarikku ke dalam pelukan erat, pelukan yang terasa berat, seolah dia mencoba menahan semua rasa sakit dan kekhawatiran yang hampir menghancurkannya.

Aku terdiam dalam pelukan itu, merasakan betapa besar beban yang selama ini dia pendam. Aku merasakan dadanya yang naik turun cepat, napasnya tak beraturan. Tiba-tiba aku merasa sangat kecil di hadapannya, di hadapan rasa sakit yang begitu besar dan tak terucapkan.

"Sudah lama kita tidak bertemu, Leana," akhirnya dia berbisik, suaranya serak, seolah ribuan kata yang selama ini tertahan di tenggorokannya akhirnya menemukan jalan keluar.

Aku mengusap punggungnya perlahan, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya suasana ini. "Maaf baru sempat menjenguk, Art. Aku sibuk mengejar mata kuliah untuk akselerasi."

Dia mengangguk, tetapi senyumnya tak muncul. Dia hanya menggenggam tanganku lebih erat, seolah takut aku akan pergi. Aku tahu, dalam pelukan itu dia menyimpan rasa takut yang dalam, rasa takut kehilangan lagi, setelah kehilangan yang sebelumnya telah mengguncang hidupnya.

Dia mengajakku masuk ke dalam gedung, ke sebuah ruang opname yang hening. Di sana, seorang pria tua terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi alat-alat medis yang berusaha mempertahankannya dari cengkeraman waktu. Itu adalah ayah Artian, pria yang selama ini dia kagumi dan cintai dengan sepenuh hati.

"Aku tidak mau kehilangan lagi, Leana," ucapnya lirih, seolah kata-kata itu adalah beban yang terlalu berat untuk diungkapkan.

Aku tersenyum kecil, meski hatiku ikut teriris melihatnya. "Tak ada orang yang ingin kehilangan, Art," jawabku, mencoba memberikan kekuatan di tengah kepedihan yang menguasai.

"Tapi dari semua hal yang aku punya, kenapa orang-orang terdekatku yang selalu lebih dulu pergi dari hidupku, Leana?" Matanya berkaca-kaca, menatapku dengan keputusasaan yang begitu dalam, seperti laut yang tak berdasar.

Aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk meresponsnya. "Supaya kamu lebih memahami cara kerja dunia ini, Art," akhirnya aku berkata dengan suara lembut. "Dan supaya kamu lebih menerima, bahwa kadang-kadang, hal yang paling sakit mungkin adalah hal yang membawa kebaikan di kemudian hari."

Artian menunduk, seolah mencerna kata-kataku yang mungkin tak sepenuhnya dia mengerti saat ini. Namun aku tahu, di balik rasa sakit yang dia rasakan, ada pelajaran berharga yang menantinya di ujung perjalanan ini. Dan meskipun dunia ini tak selalu adil, aku yakin, suatu hari nanti Artian akan menemukan warna baru di kanvas hidupnya, yang lebih indah dari sebelumnya

Setelah beberapa saat dalam keheningan yang penuh makna, aku dan Artian akhirnya berpisah. Dia masih harus kembali ke ruang opname, sementara aku meninggalkan rumah sakit dengan hati yang berat. Langit yang kelabu dan angin yang dingin seakan meresapi seluruh jiwaku, membawa pulang bayangan-bayangan kelam tentang pertemuan kami hari ini.

Aku kembali ke kedai kopi kecil yang biasa aku kunjungi. Tempat ini sudah menjadi pelarianku dari dunia luar yang penuh dengan hiruk-pikuk. Tapi hari ini, bahkan aroma kopi yang biasanya menenangkan pun tidak mampu mengusir kegelisahan yang menghantui pikiranku.

Aku duduk di pojok ruangan yang biasa, mencoba menenggelamkan diri dalam tumpukan tugas kuliah yang menumpuk. Namun, pikiranku terus kembali pada Artian dan keadaan ayahnya. Setiap kali aku mencoba fokus, bayangan wajahnya yang penuh kesedihan kembali mengganggu.

Barista kedai, yang telah kukenal cukup lama, mendekat sambil membawa secangkir kopi. Dia selalu ramah, dengan senyum yang khas dan lesung pipi yang membuatnya terlihat lebih hangat. Hari ini, dia tampak lebih sibuk dari biasanya, melayani pelanggan yang semakin ramai.

"Ini kopinya, Kak," ucapnya singkat sambil meletakkan cangkir di mejaku.

Aku hanya mengangguk tanpa banyak bicara, terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri. Dia memperhatikan sebentar, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya memilih kembali ke tempat kerjanya tanpa melanjutkan percakapan.

Waktu berlalu dengan lambat. Aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan memeriksa tugas-tugas kuliah, tetapi rasanya tak ada satu pun yang bisa kuselesaikan dengan baik. Kafe ini yang biasanya menenangkan, hari ini terasa sesak. Aku merasa terjebak dalam pikiranku sendiri, tanpa jalan keluar yang jelas.

Setelah beberapa jam berlalu, aku memutuskan untuk pergi. Kepalaku terasa berat, dan ada rasa hampa yang sulit dijelaskan. Aku melangkah keluar dari kedai, berjalan tanpa tujuan di bawah langit yang masih kelabu. Aku tahu bahwa hari ini adalah salah satu hari di mana aku harus menerima kenyataan pahit tentang kehidupan—tentang kehilangan dan ketidakpastian yang selalu mengiringi kita.

Aku duduk di taman kampus keesokan harinya, mencoba mencari inspirasi di tengah-tengah ketenangan pagi. Sesekali, aku membaca koran yang disediakan oleh komunitas literasi kampus, mencari-cari topik yang bisa mengalihkan pikiranku dari segala kegelisahan.

Tiba-tiba, langkah kaki yang tegas mendekat. Aku mendongak dan melihat laki-laki berdiri di depanku, menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. Cahaya matahari pagi memantul di rambutnya yang berkilauan, tetapi ada bayangan gelap di balik matanya yang tajam.

"Yuli sudah tidak ada, Aksara juga sudah sirna. Cahayamu semakin meredup, nona," ucapnya tiba-tiba, suaranya datar tapi sarat dengan makna.

Aku menutup buku dan koran yang sedang kubaca dengan perlahan, menundukkan kepalaku sedikit sebagai tanda undangan baginya untuk duduk di sampingku. Ada sesuatu yang tersirat dalam intonasi suaranya, sesuatu yang menimbulkan rasa ingin tahu yang mendalam di dalam hatiku.

"Apa yang sebenarnya hendak Anda bicarakan, Tuan?" tanyaku dengan nada suara yang kujaga tetap tenang, meski ada gelombang rasa penasaran yang bergejolak di dalam diriku.

Dia hanya tersenyum tipis, namun senyum itu tak mencapai matanya, menyisakan jejak kegetiran yang sulit diabaikan. 

"Bukan tentang apa yang ingin kubicarakan, tetapi di mana Burner yang ku kenal? Burner yang selalu hadir dalam setiap forum diskusi, yang keberadaannya selalu terasa di setiap sudut kampus ini? Burner yang meskipun tak dikenal banyak orang, mampu menyusup ke markas aliansi BEM SI dan melahirkan gagasan-gagasan kecil yang kini kita nikmati buahnya?"

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang