Keduabelas

88 18 3
                                    


Hari ini aku bertemu dengan Artian, si pelukis terkenal di fakultasnya. Dia menyuruhku untuk datang di sore hari ke Bandung Indah Plaza dan duduk di pinggiran mall. Dia ingin meminta saran ku terkait pameran karya yang akan dilakukan di London serta berkolaborasi dengan pelukis kenalannya yang tinggal dan berskolah di Liverpool.

"Nunggu lama, Le?" Kata Artian yang menggunakan kemeja hitam dengan baju overall yang membuatnya semakin terlihat lucu. "Baru kok" kataku.

"Turut berduka ya" katanya. Aku tersenyum kecil, kampusku kini digegerkan dengan polemik paling panas di jagat raya. Kasus pelecehan yang sempat Yuli singgung beberapa hari lalu kini terusut ke media massa oleh sang korban yang akhirnya memilih berbicara.

Sampai saat ini, Aksara pun belum menghubungiku. Mungkin karena sibuk mengupas tuntas kasus itu? atau dia sedang berdalih dan berdebat dengan dekan atau pun rektor mengenai di mana kemerdekaan perempuan itu?

Bukankah merdeka adalah terhindar dari yang namanya pelecehan seksual?

"Jadi tema lukisan apa yang akan kamu sombongkan ke rumah Big Ben itu?" kataku. Artian memberikan tablet yang ia rogoh di tasnya ke arahku. Ada layout dan tata letak lukisan yang dia perlihatkan padaku.

"Ruangan nya sedikit besar, karena akan ada pelelangan kolaborasi lukisan aku dengan temanku, Alex. Sudah dua tahun ia menjalin profesi sebagai screever di trotoar London sambil kuliah " katanya.

"Tema lukisannya adalah abstrak ekspresionisme dan formalisme sih, inspirasinya datang dari Willem de Kooning, pelukis asal Belanda--

"Yang memimpin gerakan Abstrak Ekspresionis. Satu-satunya karyanya yang terkenal adalah serangkaian lukisan wanita yang ia gambarkan provokatif, dengan bentuk agresif lalu ditampilkan dengan sapuan tebasan cat yang mengesankan. Ada kesan ganas namun secara bersamaan terlihat lucu"  kataku memotong pembicaraan Artian.

"Kamu tahu siapa dia?" serunya dengan wajah yang tidak menyangka, matanya menyipit dengan dahi yang berkerut. "Memang siapa yang tidak tahu, dia?" Artian tekekeh. Lagi-lagi kalimat menyebalkan itu datang dari mulutku sendiri.

"Gak aneh sih, tema lukisanmu sepertinya memiliki relevansi dengan dengan wanita" kataku. Dia tersenyum sambil membuka tas yang diletakkan di dekatku.

"Nih!" katanya memberikanku sekotak kanvas yang dibungkus wrap bening. "Hadiah," katanya. Aku melihat ada aku di balik kanvas itu. "Aku?" kataku heran. Dia mengangguk dan mengatakan,

"Terima kasih sudah mengabulkan apa yang ibuku pernah harapkan" katanya. Aku terkekeh sambil memegang kanvas itu. "Astaga! Itu kan hanya kebetulan. Boleh jadi karena ibumu ingin memberikan motivasi agar kamu tertarik lebih jauh dengan seni lukis!" kataku. Dia mengangguk sambil menatapku dengan serius.

"Mungkin?" katanya. Aku tersenyum melihat dia yang mampu melukis wajahku padahal pertemuan itu sangat singkat. "Ingatanmu bagus!" kataku sambil menyimpan kanvas itu ke tasku.

Belajar filsafat tidak pernah menjadi hal yang sia-sia; semua induk ilmu pasti bersumber dari sana. Gaya Abstrak dari seorang Artian melalui lukisannya tentu sangat aku ketahui, meski tidak sedetail itu. Namun Aliran seni abstraksionisme merupakan aliran yang berusaha melepaskan diri dari beragam sensasi serta asosiasi figuratif yang hadir pada suatu objek.

"Alasan kenapa aku terinspirasi dari lukisan-lukisannya. Karena Kooning memiliki gaya khas sekali. Ia tidak pernah sepenuhnya meninggalkan representasi dan menjadikan perempuan sebagai salah satu subjek yang paling umum," katanya.

"Salah satu karya abstrak ekspresionis yang terkenal yang aku tahu adalah 'Starry Night' dari Vincent van Gogh" kataku. Dia mengangguk setuju. "Nah! Kalau Van Gogh, agaknya semua orang mengenali dia" kata Artian menggodaku.

"Jadi, bagaimana tanggapan kamu soal kasus pelecehan seksual itu di lingkungan kamu?" katanya. Aku membeku ketika ditanya seperti itu, mulutku terbungkam merana.

Aku menarik nafas panjang-panjang dan menatap jalan raya yang ramai seiring waktu sudah menyambut malamnya.

"Tindakan dia dalam membeberkan siapa pelakunya sungguh pemberani, bukan? Meski dia akan kehilangan rasa percaya dirinya seumur hidupnya. Aku rasa, dia adalah perempuan kuat" kataku. 

"Kalau aku jadi dia, mungkin aku tidak akan melakukan tindakan seberani  itu"  Artian mengangguk.

"Aku jadi teringat kalimat : "Mahluk paling unggulah yang mampu bertahanhidup" " katanya. Paradoks dari Empedokles itu mungkin bisa sangat relevan sekarang. Meski boleh jadi perempuan itu berpura-pura tabah dan memiliki keberanian kecil sehingga bisa bicara terbata-bata ke publik dalam cuplikan video yang entah berantah direkam di mana.

Bisa jadi di kamar yang berantakan, ketika dia menangis tersedu-sedu atau di ruangan sepi di mana dia bisa menjerit tanpa ketahuan, atau di ruang makan yang ia jadikan sebagai pelipur dari kesedihannya karena bagaimanapun menangis membutuhkan tenaga.

Menceritakan betapa sakitnya dia ternodai oleh laki-laki bengis itu. Oleh seseorang yang menyandang jabatan sebagai teladan dan ahli pendidik itu. Sungguh miris! ternodai lah kalimat Ki Hajar Dewantara mengenai  seorang guru :

Di depan memberikan contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. 

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang