Lantai Lima

32 8 1
                                    

Tak lama, suara teleponku mulai berdering kembali. Masih dengan nomor yang tidak dikenal, aku mengangkatnya sambil menjauhkan diri dari Artian.

"Ibu Pertiwi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Jika kamu berkenan, tiket pesawat sudah aku siapkan di depan kotak surat dekat pintu kamar kosanmu. Kawan-kawanku di Jogja menunggumu. Maaf jika aku mengganggu perbincanganmu dengan orang lain. Aku tu—"

"Sara!" kataku memotong pembicaraannya yang berusaha mengakhiri percakapan kami.

"Kamu baik-baik saja kan?" tanyaku. Suaranya serak dengan nada dingin yang khas, dia menjawab "Akan selalu aku usahakan," lirihnya.

Setelah berkelahi di kepala karena kebimbangan, aku akhirnya tergerak oleh kalimat Aksara dan memutuskan untuk ke kosanku. Di lantai tiga belas, tepat di ujung, terdapat dua buah kertas. Yang satu adalah tiket pesawatku, dan yang satu amplop biru berisikan sebuah tulisan:

Apa yang kau pelajari di sekolah hari ini, anakku?
Aku diajari bahwa Washington tidak pernah berdusta,
Aku diajari bahwa tentara itu tidak gampang mati,
Aku diajari bahwa setiap orang punya kebebasan.

Begitulah yang diajarkan guruku.

Itulah yang aku pelajari di sekolah hari ini,
Itulah yang aku pelajari di sekolah.
Aku diajari bahwa polisi adalah sahabatku,
Aku diajari bahwa keadilan tidak pernah mati,
Aku diajari bahwa pembunuh itu mati karena kejahatannya sendiri,
Meski kadang kita juga membuat kesalahan.

Aku diajari bahwa pemerintah harus kuat,
Pemerintah selalu benar dan tak pernah salah,
Pemimpin kita adalah orang yang paling bijak,
Dan lagi-lagi kita akan memilih mereka.

Aku diajari bahwa perang itu tidak begitu buruk,
Aku diajari bahwa ada sebuah perang besar yang pernah terjadi,
Kita dulu pernah berperang di Jerman dan Perancis,
Dan mungkin suatu saat aku akan berperang.

Itulah yang aku pelajari di sekolah hari ini,
Itulah yang aku pelajari di sekolah.

(Paulo Friere)

Segera setelah merapikan kamar dan mengemas baju-baju, aku turun ke lantai bawah dengan koper yang cukup berat, berisi 20 buku pengantarku. Mobil yang tak pernah asing kulihat terparkir di depan gerbang, aku melirik ke arah kaca depan yang tiba-tiba turun.

"Edo?" lirihku, memastikan identitas orang di balik kemudi mobil itu. Dia mengangguk, mengizinkanku untuk masuk. Aku duduk di sampingnya, dan mobil itu bergerak.

"Kamu tidak ikut ke Jogja?" tanyaku, rasa penasaran masih memenuhi pikiranku. Dia menggeleng. "Tidak, Le. Aku ditugaskan ikut diskusi aliansi mahasiswa di sini," lirihnya. Aku mengangguk. "Kami menuntut agar presiden membatalkan revisi UU KPK dan RKUHP yang mengorupsi reformasi" ujar Edo dengan semangat.

"Kaum kapitalis semakin hari semakin konsumtif dan membatasi ragam HAM. DPR bukannya memberikan revisi yang baik, tapi malah membuat kebijakan yang dungu sama seperti masa Orba" lirihku.

"Dasar! Dewan pengkhianat rakyat. Mereka kira mahasiswa Indonesia tidak akan bertindak," ujarnya penuh amarah. Aku tertekun di mobil sambil memikirkan kalimat yang tadi kubaca.

Edo mengantarku sampai ke bandara, dan dia juga menemani ketika aku menunggu keterlambatan pesawat. "Do, ada kabar dari Sara?" tanyaku, mencoba meraba apakah ada informasi tambahan.

Dia menggeleng. "Setahuku, dia hanya memerintahkan Rian untuk menyuruhmu pergi ke Jogja" lirihnya. "Lalu, bagaimana kamu tahu aku akan berangkat sekarang?" tanyaku penasaran.

"Tania di lantai dua, dia temanku. Orang yang memberitahuku kalau kamu akan bergegas pergi," lirihnya dengan senyum kecil.

"Pokoknya yang aku ingat dari Rian, katanya Sara mengatakan:

'Kamu tidak perlu menanyakan pendapatku soal masa depan negeri ini, karena akan ada orang yang sama dan satu pemikiran denganku. Ajak dia, jamu, bahkan kalau perlu perlakukan dia sebaik mungkin, sebab jika dia marah, dia bisa menghabisi kaum elit yang sedang meredam suaranya. Aku ingin dia ikut menggugat para pemimpin bebal bersama kalian, kawan-kawan. Jangan biarkan perempuan itu berjuang sendiri.' "

Perkataan Sara membekas dalam benakku, memicu pertanyaan dan rasa ingin tahu yang semakin dalam kenapa dia melibatkanku dengan aktivis kawan-kawannya. Tak butuh waktu lama aku sudah berada di dalam pesawat. Pikiranku berantakan, dari mana aku harus memulai, mengapa harus aku? dan masih banyak perseteruan lain di kepalaku.

Artian memberikan pesan:

Hati-hati ya Le, aku takut terjadi apa-apa denganmu.


SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang