Ketujuhbelas

44 18 2
                                    


Aku membuka kedua mataku yang terlelap sekian lama, merasakan beratnya kelopak mata yang akhirnya mengizinkan cahaya sore memasuki pandanganku. Di sebelahku, Aksara tertidur dengan wajah yang damai. Udara di dalam mobil terasa hangat, meskipun di luar teriknya matahari yang hampir menyentuh cakrawala.

Mobil kami mengarah ke laut, perpaduan antara arah perjalanan dan matahari yang akan terbenam membuat suasana semakin memesona. Seakan takdir telah menetapkan bahwa kami akan tiba di sana pada saat yang tepat, di momen yang penuh keindahan.

"Perjalanannya sejauh itu kah? Sampai tubuhmu dibuat lelah?" Tanyaku pelan sambil meraih pipi Aksara yang tertidur lelap. Tanganku merasakan kehangatan di pipinya, seolah mengisyaratkan betapa lelap tidurnya.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk bangun dari tidurnya yang nyenyak. Dengan gerakan ringan, dia menoleh ke arahku dengan senyuman kecil yang mengembang di bibirnya, seakan memberi tahu bahwa dia siap untuk kembali menyongsong perjalanan yang masih berlanjut.

"Kita sampai jam berapa?" tanyaku, ingin memastikan waktu yang telah berlalu sejak kami memulai perjalanan ini. Aksara menegakkan tubuhnya dan melirik jam tangan yang menghiasi pergelangan tangannya.

"Tiga jam lalu" jawabnya sambil menatap layar jam. Aku mengangguk mengerti, mengingat betapa jauhnya perjalanan yang telah kami lalui.

Ketika akhirnya kami memutuskan turun dari mobil dan berjalan lebih dekat dengan pesisir pantai berpasir putih, angin laut menyambut kedatangan kami dengan lembut. Kami berdiri di tepi pantai, menatap langit yang mulai memerah oleh kehadiran matahari yang akan segera tenggelam. Di antara jari-jemari kami, ombak kecil bermain-main, memberi nuansa kedamaian yang sempurna, seolah mereka memang suka menyapa dua orang yang datang bersamaan.

"Terakhir kali ke laut kapan, Bar?" tanya Aksara, memecah keheningan di antara kami. Aku menoleh ke arahnya, merapikan rambutku yang tertiup angin sepoi-sepoi pantai.

"Lima belas tahun lalu," jawabku ragu, seperti mencoba mengingat kembali momen itu. Aksara tersenyum, mengajakku berjalan menyusuri tepian pantai, menyatukan langkah kami dengan alur ombak yang berirama.

"Seperti Bumi yang terus berputar, membawa kita untuk belajar dari banyak hal. Kita adalah variabel dalam perjalanan hidup, bertemu untuk berpisah, datang untuk pergi, ada untuk kembali, dan memulai untuk mengakhiri" lirih Aksara, matanya yang dingin menyampaikan makna yang dalam.

"Aku ikut pertukaran pelajar di Kanada" ceritanya, mengungkapkan alasan di balik kalimatnya itu. Aku mengangguk, mencoba memahami keputusannya.

"Tiba-tiba?" tanyaku, mencoba memahami lebih jauh. Dia menarik jemariku dan mengepalkannya, seolah mencoba menenangkan diri.

"Ini sudah direncanakan satu tahun lalu" lirihnya, suaranya penuh makna. Aku mengerti, merasakan getaran emosi yang menyertainya.

"Jadi kamu membawaku ke laut hanya ingin mengatakan kabar ini?" Tanyaku. Sara menatapku dalam, dia mengigit bibir bawahnya. Tak tahu harus menjelaskan dengan cara apa. 

Sekarang aku mengerti kalimatnya. "Turut senang, Sara!" ucapku sambil melangkah perlahan, menyatukan langkah dengan langkahnya. "Hanya satu tahun!" lirihnya, suaranya mengikuti langkahku. Aku mengangguk, mencoba menenangkan hati yang terombang-ambing oleh berbagai perasaan. Kenapa perginya harus sekarang? Padahal kita tidak pernah memulai apa-apa?

"Sara" panggilku, mencoba meredakan kekhawatirannya. Dia menoleh dengan wajah yang berat hati, menyambut dengan senyuman hangat.

"Itu berita baik, mari rayakan" ujarku. Aksara menarik tubuhku kedekapannya sesekali mengusap punggungku "Maaf Jika ini terdengar mendadak. Aku sungguh khawatir kamu akan marah" Ujarnya. Aku tersenyum dibalik pelukan itu sambil sesekali merasakan aroma Tulip yang tercampur dengan bau asin yang dihasikan air laut. 

"Untuk apa aku marah, Sara? Cinta bukanlah sekedar saling membutuhkan, tapi lebih dari itu: saling pengertian, tanggung jawab dan kebebasan untuk menyatakan keinginan, termasuk keinginan untuk mencintai dirinya sendiri" Lirihku. 

"Aku janji kita pasti bertemu lagi" Lirih Aksara. Aku menggeleng "Yang paling enteng di dunia ini adalah Janji, Sara" Lirihku. Aksara menghela nafas panjang dan menatapku penuh risau. 

"Jadi kamu mau aku, Bagaimana?" Tanya Sara. 

"Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.

Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.

Tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu, sayangku.

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.

Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mendalawangi.

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Banang (?)

Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra. Tetapi aku ingin mati di sisimu, manisku.

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini sayangku

Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padakuTegaklah ke langit luas atau awan yang mendung.

Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak'kan pernah kehilangan apa-apa." Lirihku membacakan puisi  Soe Hok Gie. 

"Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak'kan pernah kehilangan apa-apa" Lirihku mengulangi kalimat terakhirnya. Aku tersenyum mendengar puisi indah itu keluar dari mulutku, sambil menyandarkan kepalaku kebahu dirinya yang busung itu aku mengatakan kalimat ini

"Jadi kamu tidak perlu khawatir"  

SEDERHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang