TOK..
TOK..
TOK...
Di tengah keheningan dini hari, saat jam menunjukkan pukul 02.39, suara ketukan pintu membangunkanku. Terburu-buru, aku membuka pintu kamar dan memeriksa ponsel, mungkin Rian ingin berdiskusi sekarang. Dengan tangan gemetar, aku mengikat rambutku dengan jepit yang tersimpan di dekat lampu tidur.
Saat pintu terbuka, aroma yang tidak asing menerpa hidungku. Di hadapanku berdiri seorang pria dengan masker dan topi hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya. Perlahan, dia membuka maskernya, memperlihatkan wajah yang begitu aku kenal. Aku terdiam sejenak, tubuhku membeku sebelum akhirnya berlari memeluknya erat.
Air mata mulai mengalir deras tanpa bisa aku tahan, isak tangisku memecah keheningan malam. Aksara, dengan otot-otot kuatnya, mengangkatku yang masih memeluknya, tasnya yang berat masih tergantung di punggungnya. Dia membawaku masuk ke dalam penginapan, langkahnya mantap meski beban yang ia bawa bertambah.
Dengan lembut, ia mendudukkanku di sofa. Aku melepaskan pelukan, namun tetap berdiri di sofa sehingga aku bisa menatap wajahnya dari atas. Dia tersenyum, memandangku dengan sorot mata yang hangat dan penuh kerinduan.
"Maaf sudah merepotkanmu, Nona" bisiknya lirih. Aku hanya bisa mengangguk, tanpa kata-kata, sebelum kembali memeluknya erat. Ah, kehangatan ini, rasa aman ini, sungguh tak tergantikan.
Aku meredam segala kerinduan yang membuncah dalam dada, memberi ruang agar dia dapat meletakkan tas-tas berat yang dibawanya. Tak lama kemudian, dia duduk di sofa bersamaku. Aku menyandaarkan tubuhku ke dekapannya. Dengan lembut, ia mengelus setiap jemariku, menghadirkan kehangatan yang lama kurindukan.
"Aku takut berjuang sendirian di sini" bisikku lirih. Aksara tertawa kecil. "Ada kawan-kawanku di sini, toh," jawabnya lembut. "Tetap saja, aku tidak merasa aman dan nyaman kalau tidak ada kamu!" lanjutku.
"Aku sudah berbincang dengan Rian tiga jam lalu sebelum memutuskan untuk mampir ke penginapanmu. Yuli juga masih ada di markas, berdiskusi dengan kawan-kawan" katanya lirih.
Aku mengangguk, merasa tersentuh bahwa pemberhentian terakhirnya adalah untuk menemuiku, bukan sekedar mampir.
"Semua orang memuji strategi berperangmu! Aku lega, apa yang aku pikirkan sama dengan pikiranmu" lirihnya. "Aku ragu pada awalnya" Kataku sambil menjauhkan diri dari dekapannya, memilih menatapnya dari kejauhan.
"Ragu kenapa?" tanyanya lembut. "Takut mengecewakanmu" bisikku. Aksara tersenyum, mengacak-acak puncak kepalaku sambil merogoh sakunya dan memberikan sebatang cokelat.
"Ngomong-ngomong, aku sudah banyak diberikan kejutan olehmu, Sara" kataku lirih. Dia tersenyum antusias. "Suka?" tanyanya. "Tidak ada alasan untuk tidak menyukainya" jawabku.
Aksara menarik kepalaku, menyuruhku berbaring di pangkuannya sambil sesekali mengelus rambutku dengan penuh kasih.
"Bagaimana dengan pertukaran pelajar mu?" tanyaku. "Aku sudah meminta izin dari keluargaku di Kanada untuk menyelesaikan urusanku di sini" jawabnya lirih. Aku mengangguk, menarik lengannya untuk memegang pipiku, merasakan kehangatan yang menenangkan.
"Besok kamu mau ke mana?" tanyaku lagi. "Ke tempat yang indah dan menyenangkan" jawabnya lembut. "Aku serius!" kataku dengan nada mendesak.
"Bertemu para petani di Jogja," jawabnya akhirnya. "Untuk apa?" tanyaku penasaran. "Menghentikan pembahasan rancangan undang-undang yang menyangkut soal pertanian," jelasnya.
"Jadi tidak menggugat RUU yang sama seperti kawan-kawanmu?" tanyaku sambil menyuapkan sebatang cokelat ke arahnya. Dia tersenyum, "Kawan-kawanku sudah melakukan tugasnya, Le. Aku ingin membela para petani sekarang." Aku mengangguk, mengerti akan dedikasinya.
Aku memberinya selimut dan bantal agar dia bisa tidur nyaman di sofa, sementara aku merebahkan tubuhku di ranjang dan menutup pintunya. Setelah berbincang lama, akhirnya kami memutuskan untuk tertidur pulas, dibalut rasa aman dan kebersamaan yang tulus.
Sinar matahari menyusup melalui celah tirai, menyorot ke wajahku dan membangunkanku dari tidur. Aku membuka mata perlahan, merasakan kehangatan pagi yang menenangkan. Setelah membasuh wajah di kamar mandi, aku melangkah keluar dan menyadari bahwa Aksara sudah tidak ada. Hanya tersisa tasnya, sebuah buku kecil, dan dua helai roti dengan selai alpukat serta segelas susu yang tertata rapi di meja dekat sofa yang menjadi tempat tidurnya semalam.
Hai, Le... Selamat pagi," bunyi pesan yang tertulis di halaman pertama buku kecil itu.
Maaf tidak mengajakmu, aku harus segera menyelesaikan urusanku di sini dan pergi ke Bandung. Kamu sudah menunaikan tugasmu, maka kembalilah ke Bandung. Yuli nanti akan menjemputmu!
Aku mendesah, merasa kesal bahwa dia selalu pergi tanpa pamit dengan layak. Aku membuka halaman berikutnya dari buku kecil itu, seolah Aksara sudah tahu reaksi kesalku.
Tidak usah kesal ya! Nanti kita bisa bertemu di Bandung.
Kalimatnya seolah menjawab gerutuanku, membuatku tersenyum kecil. Bagaimana Aksara bisa begitu mengenaliku, hingga bisa menebak reaksi yang bahkan belum terjadi? Aku membuka halaman berikutnya.
Sarapan jangan lupa dimakan ya! Kalau kamu menyalakan TV sekarang, jangan kaget.
Aku termenung sejenak sebelum menyalakan TV. Layar televisi segera menampilkan aksi demo yang sudah berlangsung di Jakarta. Mahasiswa dari Universitas Indonesia dan Trisakti terlihat berada di gerbang utama DPR. Aku berusaha mencerna pesan Aksara semalam: jangan bilang perbincangan selama tiga jam itu menghasilkan audiensi tahap pertama yang aku usulkan sebelumnya? Ini yang membuatku penasaran, aku membuka halaman berikutnya.
Aku bilang tidak perlu kaget bukan? Waktu kita tidak banyak. Hatta mengatakan: Kita berada pada permulaan perjuangan yang jauh lebih berat dan lebih mulia, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan daripada segala macam penindasan. Maka dari itu, kamu sudah harus pulang ke tempatmu, Edo dan kawan-kawanku menunggumu!
Aku menyantap sarapan yang disiapkannya dengan perasaan campur aduk, kemudian bersiap-siap untuk kembali ke Bandung. Tidak ada waktu untuk berleha-leha, perjuangan kami belum selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEDERHANA
Fiksi IlmiahON GOING (Penulis Beristirahat Dulu) Cerita ini mengikuti perjalanan seorang perempuan muda bernama Burner Leana, atau biasa dipanggil Bar. Ia berasal dari kota kecil dikawasan jawabarat dan bekerja sebagai kasir dimini market sebagai bentuk penyam...