Telepon dari handphoneku berdering, nomor tidak dikenal, namun tetap kubalas. Suara dering terdengar, tak asing. "Halo, Bar." Ah, aku tahu siapa dia. Senyumku tak terbendung, baru kali ini dia meneleponku.
"Aksara?" Tanyaku, mencoba memastikan. Meski aku tahu, aku tak akan keliru ketika mendengar suaranya.
"Iya, ini Aku. Sara" katanya meyakini. Aku menyiapkan diri untuk mendengarkan dia dengan seksama.
"Sore ini, akan ada siaran langsung sidang kasus kekerasan dan pelecehan di kampus" kata Aksara. "Pengadilan negeri memberi izin sidang ini disiarkan di Kampus" lanjut Aksara. "Sebagai apa?" tanyaku. "Sebagai pembelajaran, Le. Kita juga diskusi masalah kebijakan disana!" lanjutnya.
"Aku ingin kamu ikut" pintanya.
Setelah merenung sejenak, aku akhirnya setuju untuk ikut ke forum diskusi itu, sambil mengamati berjalannya sidang di pengadilan melalui layar lebar di Aula kampus.
Suasana kampus kacau balau. Wartawan berkerumun di sekeliling kampus, aksi massa memenuhi lingkungan kampus, dan aku melangkah sendirian, menelusuri keramaian sambil memperhatikan poster-poster yang diangkat oleh para mahasiswa.
"Tingkatkan Peradaban Kampus, Hentikan Perilaku Predator!"
"Stop Kriminalisasi Korban!"
"Perangi Kekerasan Seksual!"
Dan masih banyak lagi, Para perempuan berpakaian hitam dilengkapi dengan gincu di bibirnya berwarna merah yang diaplikasikan tidak beraturan, memenuhi setengah wajahnya. Aku masih terus berjalan, terhanyut dalam keriuhan dan sorakan-sorakan. Masih belum kuterlihat pintu masuk aula, kepadatan seluruh mahasiswa kali ini menjadi lautan manusia yang tidak biasanya kulihat.
Tiba-tiba, aku merasa lenganku ditarik saat berada di tengah kerumunan. Kutoleh ke arahnya, dan aku mengenali aroma bunga tulip. Dia menarikku ke ruang belakang yang menghubungkan ke aula besar.
Di sana, sekelompok mahasiswa berkumpul: pengamat, penguji, dan penonton. Yuli, berpakaian hitam dengan syal merah, berdiri di depanku sambil membawa sejumlah berkas. Edo menggenggam tumpukan buku, dan Reza, dengan kamera di lehernya, berdiri di samping Yuli. Aku hanya bisa menyaksikan gelombang protes dan orasi dari berbagai aliansi mahasiswa.
Aksara menggenggam tanganku, hangat. Sidang akan segera dimulai. Sorak-sorai semakin keras, dan umpatan mulai terdengar.
"Dosen Biadab!" "Berikan Keadilan!" "Tolak Kekerasan Seksual!"
Aksara masih belum bicara, hanya menatap sekeliling aula yang dipenuhi orang.
Para rektor dan dekan duduk di barisan depan dengan seragam hitam. Kamera Blitz berkedip-kedip di antara mereka. Ruangan ini, untuk pertama kalinya, lebih ramai daripada stadion sepak bola.
Pembukaan kasus dimulai dengan cuplikan pernyataan dari Jaksa yang menyinggung kasus Video viral tersebut.
Komentar dan spekulasi tentang video tersebut mendominasi perbincangan mahasiswa kami saat ini, diskusi ini benar-benar menghadirkan mahasiswa ahli di bidang tersebut, baik dalam psikis, hukum, dan medis. Semua fakultas hadir di bidang yang bersangkutan, aku memuji aliansi mahasiswa dan kerjasama dosen serta rektor kali ini.
Sesekali ketika sidang pengadilan memberikan hukuman ringan kami bersorak, jika ada protes pembelaan dari pengacara pelaku seluruh mahasiswa berteriak. Video persidangan masih berjalan, meski kadang pelaku mengelak akan kekerasan seksual. Kami yang menonton di ruangan ini ikut geram.
Di bagian utara, ada ragam jas warna-warni melengkapi aula ini, aku masih menatap mereka yang juga membawa beberapa poster yang diangkat.
Persidangan menjeda untuk melakukan putusan akhir.
Suara Yuli dari mikrofon terdengar jelas. Dia mulai berbicara, dan kami semua terdiam.
"Saya, Yuli sebagai mahasiswa yang memiliki hati nurani, berdiri di sini mewakili himpunan, komunitas, bahkan seluruh aliansi mahasiswa Indonesia, ujarnya. "Saya, sebagai perempuan dan mahasiswa yang terpelajar, menyatakan bahwa tindakan Pak Dosen yang tidak pantas harus ditolak di kampus kami."
Aksara meraih mikrofon dari tangan Yuli.
"Kami, semua mahasiswa di sini, setuju bahwa kasus pelecehan seksual harus diberi perhatian serius, dan kami akan selalu berpihak pada korban. Setuju, teman-teman?" ucapnya dengan tegas terdengar di aula ini.
"SETUJU!" jawab semua tanpa ragu.
"Dan kami juga setuju bahwa insiden seperti ini tidak boleh terulang lagi," sambungnya. "SETUJU!" serentak mereka menjawab.
"Dan saya ingin menyampaikan kepada para rektor dan dekan, bahwa saya tidak membenci orangnya, tapi saya menolak perilakunya" tambahnya.
Suasana hening, tak ada yang berani bicara, bahkan kamera Blitz pun enggan berkedip ketika Aksara bicara.
"Karena bagaimana pun juga, pelaku dan korban sama-sama harus diselamatkan"
Tepuk tangan meriah akhirnya memenuhi ruangan. Aksara mengajakku ke arah tribun utara itu dia bersalaman dengan orang-orang yang duduk di jajaran kursi paling depan, semakin mendekatinya aku mulai mengenali logo yang berada di masing-masing jasnya: UI, UGM, UIN, UPI, UNDIP, Universitas Trisakti, dan masih banyak lagi.
Ketika Aksara datang bersamaan dengan Yuli yang menyusul kami berdua dari belakang, mereka sontak mengangkatkan tubuhnya dari kursinya itu. Menyambut hangat kedatangan kami, dengan senyum lebar yang hangat.
"Makasih banyak Gyus! sudah membuang waktu dan jadwal penting kalian" kata Aksara menggoda. Orang yang menggunakan jas kuning itu mengangguk sambil merangkul Aksara. "Kita semua disini turut senang diundang ke Kampus lo!" ujarnya.
"Sekarang giliranmu, Sara yang harus datang ke kampus kita" Ujar ketua Bem dari UGM itu. Aksara mengangguk dan menarik leher orang yang berjas Cream itu untuk dirangkul. Aku masih berada disampingnya, sesekali dia tersenyum mengangkatkan kedua alisnya karahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEDERHANA
Science FictionON GOING (Penulis Beristirahat Dulu) Cerita ini mengikuti perjalanan seorang perempuan muda bernama Burner Leana, atau biasa dipanggil Bar. Ia berasal dari kota kecil dikawasan jawabarat dan bekerja sebagai kasir dimini market sebagai bentuk penyam...