Marissa menjalankan mobilnya menuju cafe, ia memesan satu ice cappucino ukuran large. Ia menunggu pesanannya, saat pesanannya telah jadi ia segera kembali ke Rumah Sakit.
Namun di koridor ruang inap Azka, dari kejauhan Marissa melihat dokter dan suster yang tergesa-gesa dan masuk ke dalam ruang inap Azka. Marissa mengernyitkan dahinya, ia segera melangkahkan kakinya menuju ruang inap Azka.
Ia menyimpan cappucino nya di bangku yang berada di dekat ruang inap Azka, ia mondar-mandir sembari menunggu dokter dan suster keluar dari ruang inap Azka.
Hingga yang ia tunggu pun tiba, dokter keluar dari ruang inap Azka. Marissa segera menghampiri dokter dan menanyakan kondisi Azka.
“syukurlah pasien sudah siuman, namun kondisi pasien belum sepenuhnya stabil jadi kami akan selalu cek kondisi pasien.” Setelahnya dokter pun pergi, Marissa segera masuk ke dalam ruang inap Azka.
“Aka!"
"Are you okay? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit?” mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi dari Marissa membuat Azka terkekeh pelan.
“hm, i'm okay Na. Calm down, gak usah panik gitu.” Sebuah tepukan kecil didapatkan oleh Azka.
“gimana gue gak panik?! Habis operasi, kondisi lo kritis. Bahkan sekarang aja kondisi lo belum stabil!”
“okay okay, i'm sorry udah buat lo panik. Tapi lo harus ingat, ketua Vandalas gak selemah itu,” ucap Azka dengan nada suara yang parau.
“gak selemah itu, konon. Noh suara lo aja lemas gitu!” Azka terkekeh pelan, lantas Azka meraih tangan Marissa dan ia genggam erat.
“Na, thank you so much. Lo udah bawa gue kesini, bahkan lo rela nemenin gue operasi di hari libur lo. Gue gak tau apa yang harus gue balas ke lo, Na.” Marissa tersenyum tipis, ia menarik pelan napasnya.
“yang harus lo balas ke gue...yaitu kesembuhan lo, Ka. Gue pengen ketua Vandalas ini cepat sembuh dan balik lagi mimpin geng motornya,” balas Marissa.
Marissa merasa genggaman tangan itu semakin longgar, ia menatap Azka yang tersenyum kecil sambil menatap dirinya.
“boleh gue minta sesuatu, Na?” Marissa mengangguk.
“gue pengen lihat lo senyum sekarang,” pinta Azka.
Marissa mengernyitkan dahinya, namun biar begitu ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk suatu lengkungan. Ia melihat Azka yang tersenyum tipis, hingga tak lama kemudian kedua mata Azka mulai tertutup rapat.
Kini senyuman manis Marissa luntur. Marissa mendongakkan kepalanya, ia melihat elektrokardiogram Azka semakin menurun. Ia pun memencet bel panggilan dokter, dan tak lama kemudian dokter pun datang dan Marissa kembali menunggu di luar.
Marissa berdoa, ia kembali berjalan mondar-mandir di depan ruang inap Azka. Setelahnya dokter keluar, Marissa kembali menghampiri dokter.
“bagaimana dok, kondisi Azka?” tanya Marissa, namun dokter menghembuskan pelan nafasnya hal itu semakin membuat Marissa kalang kabut.
“maaf, pasien...telah tiada.”
DEG!
“suster, tolong catat.” Suster mengangguk setelahnya suster kembali ke ruang inap Azka untuk mencatat tanggal kematian Azka sedangkan dokter kembali ke ruangannya. Marissa segera masuk ke dalam ruang inap Azka.
“Aka! Bangun!”
“Mahardika Azka Ardiaz!”
“BANGUN, AKA!” Marissa mulai menangis. Suster mencatat hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu. Setelahnya suster menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh Azka.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐲 𝐕𝐚𝐧𝐝𝐚𝐥𝐚𝐬 𝐋𝐞𝐚𝐝𝐞𝐫
Teen Fiction𝑀𝑎𝑟𝑖𝑠𝑠𝑎 𝑁𝑎𝑑𝑖𝑛𝑒 𝑉𝑖𝑒𝑛𝑎 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑖 𝑝𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑉𝑎𝑙ℎ𝑎𝑙𝑙𝑎 𝐻𝑖𝑔ℎ 𝑆𝑐ℎ𝑜𝑜𝑙. 𝑁𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑡𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑠𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑑𝑖 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 𝑖𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑖 𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑘𝑜𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡...