Sudah tujuh hari Azka pergi ke rumah Marissa untuk belajar bersama, dan seperti sekarang Azka berada di kamar Marissa. Azka menunggu sang empunya yang berganti pakaian di toilet, hingga tak lama kemudian yang ia tunggu pun keluar.
Marissa berjalan mendekat pada Azka yang kini sedang memainkan handphonenya, Marissa merebut handphone itu dari genggaman Azka yang ia dapati sebuah lirikan tajam dari sang empunya. “ganti baju gih, biar nyaman belajarnya.”
Azka beranjak dari duduknya, ia pun membawa baju kaos dan celana pendek dari tas ranselnya. Azka melangkah menuju toilet dan bergegas mengganti bajunya, sementara Marissa menyiapkan buku beserta cemilan untuk menemani mereka.
Tak lama kemudian Azka membuka knop pintu toilet, ia melangkah keluar dan melipat baju seragamnya lalu ia masukkan ke tas ranselnya. Azka duduk bersebrangan dengan Marissa, ia menarik buku sejarah yang dihadapannya.
Baik Azka maupun Marissa terlarut dalam buku pelajaran yang sedang mereka baca, tak ada satu pun pembicaraan diantara mereka.
Waktu pun berlalu, Marissa menutup bukunya. Ia melirik ke arah jam weker yang berada di atas nakas, “gak kerasa udah jam setengah enam aja.”
Azka mendongakkan kepalanya, ia pun melirik jam weker milik Marissa. Ia pun menutup buku sejarah yang telah ia baca tadi, Azka pun mengemas barang-barangnya.
“mau pulang sekarang, Ka?” tanya Marissa, yang ditanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
“makan malam disini dulu aja,” tawar Marissa.
“kata kamu jangan pulang larut,” ucap Azka.
“tapi kan lo pasti capek baca sejarah, harus ada asupan.” Azka terkekeh kecil.
“cuman baca doang ngapain capek?”
“gak mau tau! Pokoknya lo harus makan malam dulu disini!”
“kok maksa?” tanya Azka.
“jadi lo tetap gak mau? Ya sudah! Pulang aja kalau begitu!” Marissa membereskan bukunya lalu ia simpan buku itu di meja belajarnya.
“kok ngambek sih, Na?” Marissa menatap malas lelaki yang kini menyelempangkan ransel di bahu tegapnya itu.
“nggak kok, gak ada yang ngambek!”
Tangan kanan Azka menarik lembut lengan milik Marissa, sedangkan tangan yang satu lagi ia bawa ke atas kepala gadis itu lalu diusapnya kepala itu lembut. Sorot mata menatap lembut gadis itu, kedua sudut bibirnya melengkung ke atas.
“nanti kapan-kapan aku makan malam disini, untuk sekarang aku gak bisa. Ada sesuatu yang harus aku urus,” jelas Azka.
Marissa mengangkat tangan kanannya, lalu ia acungkan jari kelingkingnya tepat dihadapan lelaki itu. Marissa menatap lucu lelaki itu, “promise?”.
“i promise, sayang.” Azka tersenyum gemas, ia melingkarkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik gadis yang dihadapannya itu.
。゚•┈୨♡୧┈• 。
“Azka, gimana rencana yang lo bicarain waktu itu?”
“jadi, tapi gue rasa kita lakuinnya waktu ujian berakhir.” Azka mendapati sebuah kernyitan dahi dari lawannya.
“why?”
“cewek gue minta buat gue fokus dulu sama ujian, that’s why I asked for a postponement for that plan.” Lelaki yang kini berada di hadapannya tertawa, Azka mengernyitkan dahinya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐲 𝐕𝐚𝐧𝐝𝐚𝐥𝐚𝐬 𝐋𝐞𝐚𝐝𝐞𝐫
Teen Fiction𝑀𝑎𝑟𝑖𝑠𝑠𝑎 𝑁𝑎𝑑𝑖𝑛𝑒 𝑉𝑖𝑒𝑛𝑎 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑖 𝑝𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑉𝑎𝑙ℎ𝑎𝑙𝑙𝑎 𝐻𝑖𝑔ℎ 𝑆𝑐ℎ𝑜𝑜𝑙. 𝑁𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑡𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑠𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑑𝑖 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 𝑖𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑖 𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑘𝑜𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡...