episod 6.Bab 1

92 8 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Rahasia hati.
.
.
.
.
.


Kami melangkah masuk ke dalam rumah besar itu, dengan langkah yang bimbang namun penuh harap, seolah setiap langkah membawa kami lebih dekat pada sebuah jawaban yang entah ada di mana. Dalam heningnya senja, aku merasa seolah ada suara-suara bisu yang bergema di dalam hati, suara-suara yang tak bisa kuartikan dengan kata-kata, tetapi hanya bisa kurasakan seperti angin yang tak terlihat, namun terasa.

Di antara deru nafas dan gemerisik daun di luar jendela, aku tahu, Dilla ada di sampingku, memegang tanganku erat menguatkan diriku. Tanpa dia, aku merasa tak berarti apa-apa. Hanya dengan Dilla, aku merasa bisa menghadapinya semua segala kebingungan, segala perasaan yang membelit batin ini. Aku bisa merasakan tatapan-tatapan asing di sekelilingku, namun dengan Dilla, segala rasa itu bisa kutepis jauh-jauh. Hanya dia yang aku percayai.

Betul sekali…

Dan saat aku melirik ke dalam ruang itu, mataku menangkap siluet-siluet yang tiba-tiba muncul di balik bayang-bayang. Ada mereka, ada dua sosok yang aku kenal, atau tepatnya aku pernah mengenalnya. Ada dua wajah yang pernah seakan menjadi bagian dari hidupku, adik-adikku-ah, tidak. "Adik tiri begitu" kata orang. Mereka hadir dengan tatapan yang tajam, penuh pertanyaan, seolah menilai siapa aku di hadapan mereka. Mereka bukanlah adik-adikku yang dulu aku kenal. Mungkin aku tak punya hak untuk memanggil mereka begitu?

Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi, namun ingatanku yang kabur ini hanya membingungkan. Aku hanya ingat satu hal yang pasti Mahira, entah kenapa, selalu ada di ujung ingatanku. Dulu, dia yang memfitnahku, membuat kami terpisah, namun aku tak tahu mengapa dan apa yang dia katakan. Kenapa aku merasa terasing di rumah ini?

"Masuk, mbak." suara pembantu yang asing itu terdengar. Aku terhenyak. Wajah-wajah yang ada di rumah ini terasa sangat jauh dari ingatanku, mereka tampak asing, seolah mereka bukan bagian dari kisah yang pernah ada. Aku bertanya-tanya, apakah pembantu-pembantu yang dulu mengurus rumah ini sudah pergi, atau malah semua telah lenyap begitu saja.

Semua orang hanya melihatku, ini membuatku tidak suka, Aku benci tatapan semua orang, itu menandakan  aku adalah orang paling menyedihkan didunia ini.

Dengan langkah yang tetap ragu, aku masuk, dan di hadapanku wajah-wajah yang menatap dengan penuh curiga, dengan tatapan yang begitu jahat, penuh kebencian. "apa yang telah aku lakukan untuk mereka?"

Itu menyebalkan.

Aku hanya bisa menelan rasa pahit yang menyesakkan dada. Kenapa aku merasa begitu terasing di rumah yang seharusnya penuh kenangan ini?

"Kamu kenapa, Hamira?"Mahira tiba-tiba bertanya. Aku terdiam. Apa dia benar-benar peduli padaku? Apa dia benar-benar menganggapku ada di sini? Atau hanya ingin bermain-main dengan rasa sakitku? Aku tak bisa percaya begitu saja. Di hadapanku, dia yang dulu mengusirku, yang mungkin tak pernah ingin aku kembali. Dan kini, dia bertanya dengan lembut entah untuk apa.

Aku hanya bisa merasakan kebingunganku semakin dalam, semakin mengubur diriku dalam lautan pertanyaan yang tak kunjung terjawab.

"Kenapa, Mir? Ayo duduk."Mahira memintaku duduk di sofa yang ada di depannya, dihadapkan dengan dua wajah asing yang entah apa hubungan mereka denganku. Mereka yang dulu adikku? Atau malah lebih dari itu?

Tapi yang ku bingungkan kenapa Aku tak ingat ingatanku bersama keluarga ini.

Sulit untuk menelan ini mentah-mentah.


Waktu berjalan lambat, dan aku hanya bisa duduk dengan kepala yang penuh kebingungan. Dilla duduk di sampingku, diam, mengamati sekitar dengan tatapan yang penuh makna. Di tengah heningnya ruangan, hanya terdengar suara langkah Mahira yang pergi menemui ayah di kamar. Aku dan Dilla terdiam, seolah dunia berhenti berputar. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus kupertanyakan. Semua kenangan yang terpendam dalam ingatanku terasa seperti kabut yang sulit untuk dijangkau.

Aku pun mulai mengalihkan pandanganku pada dua sosok di depanku Harinna dan Hyenna, dua gadis yang kini duduk dengan diam, tak berbicara.

Aku sudah mendengar penuturan Dilla atas kedua anak itu.

Harinna, wajahnya tak banyak berubah sejak terakhir kali aku melihatnya atau bahkan berubah?Entahlah namun rasanya wajah masih familiar. Sama seperti yang dipaparkan Dilla. Seorang gadis pendiam, tapi selalu punya cara untuk membuatku merasa tak nyaman, karna mata tajamnya yang menohok kejantung. Lalu sifatnya yang kaku, sulit didekati, bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa dia selalu punya wajah datar, kaku, menyebalkan, sifat seperti anak sialan karna sulit diapahami dan selalu menatap orang dengan jijik, seolah tak pernah menunjukkan perasaan dengki, atau emosinya. Namun, di balik itu, entah kenapa ada sesuatu yang tak bisa kuterima.

Di sebelahnya, Hyenna adik dari Harinna. Gadis ini tinggi dan anggun, dengan alis menukik tajam dan bibir tebal yang selalu tampak penuh dengan rahasia. Ia memiliki wajah yang sangat dewasa. Ternyata sama persis yang diceritakan Dilla namun tak kusangka penampilannya lebih kekinian dari pada diriku, ia bergaya ala-ala anak Jakarta Selatan yang penuh energi dan percaya diri. Namun setelah mendengar penuturan Dilla aku tahu persis bahwa gadis ini tak mudah didekati. Meski terkadang ia menurut walau hanya pada Harinna seorang, namun sikapnya selalu membuat orang-orang kesal. Dan yang lebih aneh meski mereka berdua berbeda, aku bisa merasakan ada ikatan yang kuat antara mereka, seakan mereka tak bisa terpisahkan. Mungkin karna Hyenna hanya menurut pada Harinna maka mereka disebut saudara kembar atau kakak adik yang tak terpisahkan. Namun tetap saja orang-orang bilang mereka kembar, tapi aku tak percaya. Hanya karena mereka berada di kelas yang sama, Harinna telat bersekolah setahun dan akhirnya duduk bersama Hyenna di kelas 12, tak lantas membuat mereka identik, bukan?

"Siapa yang bilang mereka kembar?" Gumamku pelan.

"Bukannya itu kakak yang bilang dulu?" Dilla menjawab dengan nada yang terdengar santai, namun aku tahu, ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Aku terdiam, mendengar jawabannya. "Aku tak ingat pernah dekat dengan mereka," Ujarku, alisku berkerut. Kenapa rasanya semua ini begitu asing, seperti kisah yang terlupakan?

Dilla hanya tersenyum simpul, seperti berusaha menghindar. "Gak usah dipikirin, lah. Tadi aku bercanda aja kok." Jawabnya sambil mengalihkan pandangan. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang tidak tepat dalam suaranya. Seolah ia berusaha menutupi sesuatu yang lebih besar sebuah rahasia yang entah apa.

Kini, pikiranku semakin terintimidasi. Mungkin Dilla menyembunyikan sesuatu, dan mungkin aku harus tahu, namun ada bagian dari diriku yang takut untuk mengungkapnya. Ada bagian dari diriku yang ingin tetap tidak tahu, karena semakin banyak yang terungkap, semakin dalam aku terjebak dalam jaring kenangan yang tak ingin kusentuh.







Bersambung.

The Secret Within the HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang