Episod 8.Bab 1

84 7 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rahasia hati.
.
.
.
.



Ponselku taruh di meja coklat besar sebelah pria paruh baya itu. Perlahan Aku mendaratkan tubuh ini kesebuah tempat duduk disebelahnya.

"Nak...."Suara lirih terdengar digendang telinga-ku, bertepatan dengan sayup sayup air turun dari langit
ketika pria itu memanggilku, netraku kutuju menghadap sang pembicara yang sedang letih dan mencobda duduk menyeder di hearboard miliknya.

Aku lalu medekat kearahnya, sekedar membantu agar dirinya bisa duduk dengan baik. Namun sebuah  sneyuman timbul di wajah pria paruh baya di depanku membuatku akhirnya muaki terdiam sejenak dan memilih duduk.

"Papa tahu papa salah, papa tau papa bukan papa yang baik untuk kalian,
papa juga memiliki banyak dosa dan tak pernah menyayangi anak -anak papa, papa tlah menyadarinya Hamira.."Aku melihat mata pria tua itu, tak ada sedikit keraguan dari hazel miliknya, pria itu menjamu mataku yang melihatnya trus dengan menatap mataku, memberikan semua fokus pria tua itu terhadapku.

Aku menelan saliva dan mengalihkan mataku kesembarang tempat yang ada, memutuskan kontak mata dengannya.
Berbagai pertanyaan mulai muncul dalam benak diriku apakah sebesar ini masalahku dahulu, apa alasanku tak ingat.

Ribuan pertanyaan sudah ada dibenakku.

"Papa, tahu papa hanya menyusahkan kalian. Tapi tolong, Nak. Hanya sekali ini yang diinginkan Papa."Mataku melebar.

"Papa hanya ingin jika papa sudah tak ada disini kalian bisa akur, papa ingin memperbaiki. Itu saja yang papa inginkan."Sebuah kata yang terlintas begitu saja tanpa ada kata pamrih sama sekali dan mulai terdengar di telinga ku."Ga bisa, Pa."Selaku, Aku tak mau mendengar omong kosong pria tua brengsek ini, cukup saja Dilla bilang Pria tua ini tak membantu sama sekali kepada kami, bahkan mempercayai anaknya.

Aku percaya Dilla, pria tua ini brengsek.

"Papa brengsek, Kak. Jangan percaya sama dia."Lintasan ingatan Dilla membuatku menguatkan diri.

Lalu.

Bukankah Aku hidup susah karnanya.

Bukankah Aku dan Dilla menderita karnanya.

Tahu apa Pria ini soal Aku harus menyapu jalanan supaya dapat sesuap nasi.

Aku bangun dari tempat dudukku, urat leherku menonjol dan napasku tersendat akibat menahan emosi. Namun sebelum diriku berhasil pergi tanganku ditarik perlahan.

"Papa, tahu selama ini Kamu butuh duit, papa tahu Kamu juga ingin biaya untuk keperluan kuliah, makan, dan Dilla, juga membayar hutang, Kan."

Aku terdiam ditempat perkataan papa  itu benar memnag benar, sangat benar.

"Tolong, duduklah dulu.. Nak."Ia menatapku dengan perasaan yang melekat, membuatku membuang kontak mata dengannya dengan cara menatap ke arah jendela kamar.

Aku menelan salivaku dam duduk, pelupuk mataku sedikit memerah.

Emosiku belakangan ini sulit dikontrol, mrmbuatku seperti sering menangis dan menggebu-gebu melakukan segala hal.

Pria tua itu ancang-ancang berbicara, ia menatapku dan mengembangkan senyuman. "Kamu tahukan papa udah tua papa juga sedang sakit dan rawat inap dirumah ini, sebentar lagi papa juga gak akan disini lagi, papa ingin minta maaf sebesar besarnya sama kalian. Karna kalian anak papa."
kalimat nya terhenti.

"Papa ingin untuk saat papa sudah gak disini papa setidaknya sedikit menghapus atau membantu anak anak Papa, Papa tau keempat anak tiri Papa butuh uang, Papa juga tau ketika Kamu keluar dari rumah ini..kamu bingung merasa dikhianti dan dibuang, tak tahu arah meloncong namun tak punya uang, begitu juga dengan kedua adik tirimu. Setelah Ibu mereka itu di vonis penjara dan tersorot kamera mereka, pasti mereka banyak terkena masalah."Sambungnya.

"Terus kenapa dulu Papa gak biarin Kita diusir."pekikku, Aku memperjelas kalimatku supaya setidaknya Aku tahu apakah Aku harus mempercayai Dilla agar tak termakan omongan Pria ini atau tidak.

Aku membuatnya diam sejenak, namun ia kembali tersenyum getir menatapku dengan perasaan tulus kemudian memberi jawabannya.

"Karna Papa lebih percaya dengan darah daging Papa, Nak."Kalimatnya mencolos ke seluk beluk terdalam hatiku.

"Kalo Kamu sudah punya anak Kamu akan tahu rasanya Hamira, anak kandung yang mengalir darahmu, yang kau rawat dari kecil, yang kau didik dan darah dagingmu sendiri pasti  Segalanya bagimu nantinya."Getir Pria itu, ia memalingkan wajahnya kearah jendela, menatap keluar persis jendela kamar yang dihiasi banyak air hujan.

Aku mulai goyah, ada benarnya pria ini, Aku juga mungkin akan begitu jika Aku punya anak.

"Dan nanti saat Kamu sudah tua nanti Kamu akan menyesal karna tak mendidik Anakmu dengan baik."

"Melihat Anak-anak Papa yang diluar mencari makan sendiri dengan hari hari penuh kekosongan tanpa tahu arti keluarga, dan bagaimana Papa begitu naif dan tak bisa marah pada Mahira membuat papa semakin merasa menjadi pendosa."

"Papa salah, hamira.."

"Papa ingin mengulang ini dari awal."

"Memang apa yang papa lakukan untuk menyatukan keluarga kita."Aku berdalih melihat kearah netra pria tua itu, bertanya dengan intonasi serius.

Aku harus kuat, jangan goyah, Aku akan menyanggah omongannya.

"Papa ingin kalian disini selama tiga bulan saling mengetahui sifat masing-masing dan memaafkan satu sama lain."Gila, apa itu, Aku tahu sifat anak-anaknya, walaupun mungkin Aku lupa bagaimana Aku diusir tapi ingatan sifat gila anaknya Aku tahu betul.

"Gak bisa kita berbeda Pa, Papa tahu Mahira sigatnya bagaimana, apa lagi..Har."

"bisa kalau papah tidak disini."
Potongnya, Pria ini selalu mengilah saja, memang benar ucapannya, tapi mungkin Aku bisa berdamai dengan masa lalu namun Aku takut itu membuatku lebih sakit.

"Dan bisa kalau ada Kamu."Ucapnya melanjutkan kalimat.

"Papa, akan mengasih surat wasiat-nya dengan persyaratan Kamu dan adik-adik kamu tetap disini."

"hanya 3 bulan dengan biaya makan, uang bulanan, transportasi. Ditanggung oleh Papa."

"Kalian hanya menumpang disini selama tiga bulan dan mengambil lima
belas juta, uang warisan papa untuk kalian."Ia terus membujukku dengan segala hal hal yang kubutuhkan saat ini.

Aku mengerutkan kening seolah tak setuju dengan yang dibicarakan pria yang kusebut papa ini.

tapi apalah daya Aku tak munafik Aku butuh uang,Aku lebih baik menjilat ludah dari pada harus mati kelaparan.

tapi ada 1 pertanyaan yang membelenguku sekali lagi.

"Kenapa bukan Papa yang disini kenapa harus Mahira ?."Tanyaku.

"Karna mahira yang bersalah, karna Papa juga tahu kalian ingin Mahira meminta maaf pada kalian, dan Lapa yakin karna Mahira kalian bersatu dan berdamai lagi."

"Papa akan melihat kalian dari jauh."Senyum mirisnya terlihat membuatku semakin goyah.

"Papa juga disini memanggilmu karna Papa ingin meminta tolong perihal ini padamu Hamira."

Aku bingung siapa yang kupercaya
Papah terlihat baik, tapi Dilla juga membingungkan kenapa Dilla belum cerita perihal kenapa aku kehilangan ingatan.

Semua rumit.

Ini mempersulit diriku sendiri.

Aku muak.


Bersambung...

The Secret Within the HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang