episod 4. bab 1

98 5 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Rahasia hati
.
.
.
.
.



Pagi itu, saat jam menunjukkan pukul tujuh, aku terbangun dari tidur yang terpotong, tubuhku terasa kaku, namun mataku tak bisa menghindar dari pandangan matahari yang mulai merayap masuk lewat ventilasi sempit di rumah kos. Pancaran sinar keemasan itu seolah memaksa mataku untuk terbuka, tapi hatiku tetap gamang. Dilla tidak ada di sampingku, sebuah pemandangan yang tak biasa. Mungkin aku terlalu terbiasa melihatnya bangun lebih siang dari aku, atau mungkin aku yang tidak terlalu memperhatikannya malam sebelumnya. Tetapi saat pagi itu tiba, aku merasa ada sesuatu yang kurang, ada rasa yang mengganjal di dalam dada. Aku mencoba menepis perasaan itu, berpikir positif bahwa ini hanya masalah kecil, namun ada kekhawatiran yang mulai mengusik.

Aku mencoba menghubunginya berkali-kali. Ponselku berdering, namun setiap kali aku coba, jawabannya tetap sama tiada suara, hanya kekosongan di ujung sana. Makin lama, perasaan resahku semakin membuncah. "Mana sih, Dilla? Kok nggak jawab?" pikirku, hampir tak sabar. Aku meletakkan ponsel di meja, merapikan barang-barang yang berserakan, dan mengambil jaket abu-abu yang tergantung di belakang pintu, mencoba menenangkan diri. Namun, meski langkahku teratur, ada sesuatu yang terus membuatku terjaga dalam kecemasan. Aku menggenggam ponsel lagi, masih terus mencoba menghubunginya, namun entah kenapa hatiku terasa lebih berat, lebih sesak.

Ketika aku akhirnya keluar dari rumah kos, berjalan menuruni tangga dengan cepat, ponsel tetap di tangan, mataku terus mencari sosok Dilla. Dan saat aku hampir sampai di pintu keluar, aku melihatnya. Dilla baru saja pulang. Wajahnya tampak datar, tak ada senyum yang biasanya menghiasi pagi-pagi kami. Ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan, suatu kesedihan yang tersembunyi di balik tatapannya yang menghindar dariku. Seperti ada tembok yang dibangun antara kami, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghancurkannya. Aku terdiam sejenak, menatapnya yang tampak begitu dingin, dan bertanya dengan hati yang penuh keraguan.

"Kamu kemana, Dil?" tanyaku, mencoba membuka percakapan dengan nada yang ringan, meskipun dalam hatiku, kegelisahan terus mengguncang.

Dilla mengalihkan pandangannya sejenak, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu. Ia memaksakan sebuah senyum, senyum yang tidak sampai ke mata, senyum yang seperti dipaksakan. "Aku... keluar sebentar, Kak," jawabnya, dengan tawa yang seolah ingin meyakinkan aku bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi aku tahu, aku tahu betul bahwa tidak ada yang baik-baik saja.

Aku memandangnya dengan cemas, mencoba menggali lebih dalam, "Ke mana? Ada apa, Dil?"

"Ke pantai, Kak," jawabnya sambil tersenyum simpul. "Hanya berkeliling sedikit di sana."

Pantai? Aku terkejut. Kenapa pagi-pagi sekali dia harus ke pantai? Di luar, cuaca masih mendung, dan hujan akan datang sebentar lagi. Pantai bukanlah tempat yang cocok untuk seseorang yang sedang mencoba mengatasi perasaan berat. Aku merasakannya, tetapi aku mencoba untuk tidak menunjukkan keherananku. Mungkin saja dia hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri, untuk melarikan diri sejenak dari segala pikiran yang membebani.

The Secret Within the HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang