Rahasia hati
.
.
.
Malam itu sunyi, hanya terdengar dengkuran pelan dari Dilla yang sudah terlelap di sampingku. Aku memandangi wajahnya yang tenang, seolah tak ada beban yang mengganggu tidur malamnya. Namun, hati ku terasa penuh dengan kekosongan yang menekan, begitu berat dan mengganggu. Pikiranku tak bisa berhenti mengingat pesan yang masuk tadi malam sebuah pesan yang datang entah dari mana, mengaku dirinya Mahira, dan menjelaskan dengan kalimat yang singkat namun penuh beban, bahwa papah dalam kondisi kritis. Pesan itu menyuruh kami datang besok, tanpa penjelasan lebih lanjut.Aku merasa gelisah. Jujur saja, meskipun aku tahu seharusnya aku menyimpan semua ini sendiri, tak mungkin rasanya jika membiarkan Dilla tetap dalam kegelapan. Malam ini, di tengah sunyi yang menenangkan, ada perasaan yang bergejolak begitu hebat dalam diriku. Aku ingin sekali memberitahunya, meskipun itu berarti melukai perasaan kami berdua.
Aku ingin agar Dilla tahu apa yang aku rasakan, ingin berbagi beban meskipun itu sulit. Namun, menyingkapkan kebenaran ini juga berarti membuka kembali luka lama yang seharusnya sudah kami kubur dalam-dalam.
Dengan suara bergetar, aku memanggil namanya. "Dil, bangun dong."
Suasana kamar yang hangat tiba-tiba terasa dingin. Dilla berguling, seolah tak ingin terbangun, suara dengkurannya makin dalam. Hujan yang terdengar dari luar menambah kesan kesendirian yang kental. Aku merasa tidak enak, mengganggu tidur malamnya hanya karena perasaan yang tak bisa kutahan. Tetapi, entah mengapa, aku tetap melanjutkan.
Aku menyibak selimut yang menutupi wajahnya. Perlahan ia membuka matanya, terlihat bingung dan sedikit cemas. "Apa kak?" suaranya serak, belum sepenuhnya sadar.
Keheningan itu semakin mencekam. Aku tahu, apa yang akan kuberitahukan kepadanya bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya tentang Mahira, bukan hanya tentang papa yang sedang sekarat, tapi lebih dari itu—tentang rasa yang tak terungkap, tentang luka lama yang tak pernah sembuh.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Dil, aku mau ngomong sama kamu."
Dilla duduk perlahan, matanya mulai terfokus padaku. Alisnya mengernyit, terlihat ada yang mengganjal dalam pikirannya. "Perihal apa?"
Suasana yang semula terasa ringan, kini berubah tegang. Aku menunduk sejenak, mencoba mengatur kata-kata yang akan keluar. "Kalau aku bilang papa nggak baik-baik aja, gimana, Dil?"
Pertanyaan itu keluar dengan suara tercekat, dan aku tidak berani menatap matanya. Aku takut jika melihat matanya, aku akan melihat kemarahan atau kekecewaan yang tak mampu kuhadapi. Namun Dilla hanya diam. Tak ada reaksi yang bisa kutangkap dari wajahnya, kecuali tatapan kosong yang terasa begitu dalam.
"Apa kakak tahu dari mana?" tanyanya, suaranya datar, tak ada ekspresi berarti.
Aku menghela napas, merasakan beban yang semakin menekan. "Aku tahu dari Mahira," jawabku, dan Dilla hanya mengangguk. Tidak ada tanya lebih lanjut, tidak ada reaksi.
Waktu terasa terhenti. Aku merasakan ketegangan yang mencekam, seperti ada dinding yang terbentuk antara kami berdua. Dilla masih diam, matanya menatap kosong ke arahku, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut, namun aku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa.
Aku mulai membuka suara, mengatakan Aku baru saja bertemu Mahira hari ini. Aku berteater terus menerus, mengatakan sejujurnya tentang apa yang kudapati di tempat ku bekerja. Namun setelah lebih beberapa menit aku mengatakannya tak ada seluput kata yang dikelontar Dilla.
Ia diam, membiarkan pikiranku menggila di udara. Sebelum akhirnya dia memecah keheningan dengan pertanyaan yang meluncur begitu tajam. "Apa kakak nggak benci sama, Mahira?"
Aku terkejut, bukan hanya karena pertanyaannya, tapi juga karena betapa dalamnya perasaan Dilla terhadap Mahira. Kenangan buruk tentang perempuan itu seolah baru saja terbuka kembali, mengingatkan kami akan segala yang telah terjadi pembohongan, perpecahan, dan keretakan yang tak bisa kami perbaiki.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasanya, begitu banyak hal yang tak terucapkan, begitu banyak rasa yang tak bisa kami bagi.
"Dia sudah nyakitin kita berkali-kali, kak. Kakak nggak inget? Karena dia, kita jadi begini." Dilla melanjutkan, dan aku merasakan kata-katanya menusuk seperti pisau.
Aku terdiam. Tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Hati ini seperti terbelah antara dua perasaan yang tak bisa dijembatani. Di satu sisi, aku ingin membela Mahira, di sisi lain, aku tahu betul apa yang telah terjadi padanya dan papah.
"Tapi, itu bukan papa yang salah, Dil," jawabku perlahan, berusaha menenangkan diri. "Papa nggak salah."
Dilla menatapku dengan tatapan kosong. "Kenapa dia ngusir kita kalau dia nggak bersalah?"
"Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya, Papa yang percaya anak, dan anak yang tingkah lakunya persis sama seperti Papanya."
Aku tak tahu jawabannya. Bahkan sampai sekarang, namun aku tak bisa menemukan jawaban yang memadai. Aku takut menyampaikan hal seperti itu, bahkan ketika aku berada di hadapan Mahira. Aku hanya bisa menggantungkan diriku pada kenangan yang kabur, yang mungkin tidak akan pernah terungkap sepenuhnya.
Aku hanya menutup rapat-rapat rasa hilang demi melajutkan kehidupan, walaupun rasanya itu seperti melanjutkan pusara kehidupan yang dimiliki manusia pecundang.
Dengan napas berat, aku mencoba menyusun kata-kata, namun Dilla lebih dulu memotong. "Untuk apa kita baik sama orang yang udah nyakitin kita berkali-kali?"
Aku terkejut mendengar itu. Dilla tidak pernah bicara seperti ini sebelumnya. Ada kemarahan yang tersimpan di balik kata-katanya, kemarahan yang selama ini ia sembunyikan. Sakit yang tak pernah ia tunjukkan.
"Dia—," aku berusaha menjelaskan, tapi Dilla sudah lebih dulu berdiri dan pergi. "Kakak itu nggak inget semua itu, makanya kakak nggak bisa benci."
Kalimat itu seperti tamparan yang membuatku terdiam. Aku terjebak dalam kenangan yang terus-menerus menghantui, dan sekarang, Dilla pergi tanpa memberi kesempatan bagiku untuk menjelaskan.
Malam itu menjadi sangat sunyi, lebih dari yang pernah aku rasakan. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggigil, bukan karena dinginnya malam, tetapi karena rasa yang tak terselesaikan. Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok. Aku tak tahu bagaimana aku akan menghadapi Mahira, atau bagaimana aku bisa memperbaiki hubungan yang telah hancur begitu lama.
Semua terasa sangat rapuh, seolah setiap langkah berikutnya bisa membuat segala sesuatu yang telah kami bangun, hancur berkeping-keping.
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Within the Heart
De TodoSemua orang pasti memiliki sebuah rahasia nya sendiri,manusia tersendiri sering sekali menyembunyikan sesuatu seorang diri,inilah yang terjadi pada 5 saudara. Bagaimana cerita seorang seorang hamira memiliki 3 orang adik dan satu kakak yang tidak se...