Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
R
"Gue nggak kenal siapa Fayedra, Ne."
Melihat tangis Arne yang tidak berhenti dan justru semakin keras, Laksa kembali menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya sebelum mengecupi rambut gadisnya ini dan berharap Arne bisa tenang. Dadanya tanpa dia sadari ikut sakit mendengar tangis gadisnya yang sarat akan frustrasi ini.
"Fayedra siapa, Sayang? Nggak ada kenalan gue yang namanya Fayedra. Dia gangguin lo kah?" tanya lelaki itu pada Arne yang masih tergugu. Tidak mendapatkan jawaban, Laksa mengusap hidungnya sebelum mengeratkan pelukannya lagi. "It's okay, nangis dulu aja."
Setelah beberapa menit akhirnya Arne sudah lumayan tenang. Gadis itu menjauhkan diri sembari menunduk dan mengusapi wajahnya dengan punggung tangan. Laksa kemudian dengan sigap mengambil tisu dan mengusap wajah Arne serta tangan gadis itu.
"Gue beli minum dulu, ya." Laksa mengusap pipi Arne lalu keluar mobil dan berjalan ke dalam minimarket dan kembali dalam waktu singkat dengan berlari kecil.
Laksa mengamati gadis di sampingnya yang sedang minum ini dengan cermat. Ia sedikit bingung sebenarnya, tidak begitu memahami kenapa Arne menangis begitu tergugu.
"Udah tenang, Ne?" Laksa bertanya sembari mengusap sudut bibir gadis itu dengan ujung jarinya. Dia mengambil alih botol yang Arne pegang, menutupnya lagi lalu menaruhnya di pintu.
"Maaf ya, Kak." Arne menyahut dengan suara parau. "Kakak lagi capek malah hadepin aku yang nggak jelas gini."
"No, you're not, Sayang," balas Laksa dengan cepat karena sedikit terkejut saat mendengar Arne yang berkata seperti itu. Baru kali ini ia melihat sisi gadisnya yang penuh rasa rendah diri seperti itu. "Lagi ada masalah, ya? Nggak papa, you're good. Mind to share it with me biar kepalanya nggak penuh?"
Arne menggigit bibirnya seperti menimbang-nimbang sesuatu. Gadis itu lalu mendongak dan menatapnya dengan mata penuh resah. Sebelum Arne sempat berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering tanda telepon masuk.
"Terima dulu nggak papa, Kak." Arne berujar sambil tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya, meyakinkan Laksa yang langsung dituruti laki-laki itu.
Selama Laksa berbicara, Arne tidak berhenti menatap laki-laki itu. Ia baru menyadari sisi samping wajah Laksa terlihat lebih lembut dibanding ketika melihatnya dari sisi depan, mungkin karena alis terbelah lelaki itu tidak terlihat jelas.
Arne lalu memberanikan diri menarik tangan kiri Laksa untuk ia genggam yang disambut dengan kernyitan dahi sekilas sebelum lelaki itu menjulurkan tangannya lagi supaya Arne dengan bebas memainkan tangannya sampai tubuhnya sedikit condong ke kiri.
"Santai, gue ambil dulu di rumah."
Masih fokus bermain dengan jemari panjang Laksa, Arne menoleh sebentar sebelum balik menggambar abstrak di telapak tangan besar lelaki itu sembari bermonolog di dalam hati. Setelah tenang, gadis itu semakin yakin kalau tangisnya tadi bentuk luapan kepalanya yang memang ia tahan selama satu minggu ini.