[31] We Shared The Same Name

2.2K 295 125
                                    


[nggak bisa upload foto 😭]

R

"Mau sarapan apa, Ariadne?"

Pertanyaan itu dibiarkan melayang tanpa ada jawaban sebab yang ditanya malah melamun dengan kepala berisik berisi teriakan yang ia coba tahan sebisa mungkin. Abangnya benar-benar menyebalkan. Senin pagi ini, lelaki itu sukses membuat Arne, yang baru saja bangun tidur hampir mati di tempat setelah melihat  seseorang yang dikenalnya tiba-tiba berada di ruang tamu rumahnya, duduk begitu santai seperti di rumah sendiri.

"Ariadne."

Panggilan kali ini berhasil membuat gadis itu mendongakkan kepala meskipun dia sendiri masih coba mengumpulkan fokusnya yang tercerai-berai. Arne menarik napasnya sambil mengedarkan matanya ke balkon kamarnya, melihat Ines yang masih berdiri di sana sejak ia keluar rumah dan mengamatinya khawatir.

"Kak Erio tanya apa tadi? Maaf kayaknya aku masih ngantuk."

Erio, laki-laki yang dikenalkan Abangnya itu mengulas senyum tipis sambil mengulurkan helm. Arne memejamkan matanya lagi ketika kepalanya terasa begitu ringan seperti sedang melayang. Sudah tiga kali dia merasakan ini sejak Aro mengenalkannya ke lelaki berwajah datar di depannya ini.

"Mau sarapan apa? Tadi Om Isa pesan untuk pastiin kamu sarapan dulu sebelum pergi ke kampus."

Ah, iya. Papanya juga bertingkah aneh. Selain Abangnya yang tiba-tiba saja sok akrab, Papa Isa juga seperti sudah kenal Erio sebelumnya. Hal yang janggal karena Arne tahu siapa saja anak dari rekan kerja Papanya dan lelaki itu bukan salah satunya.

"He's a good man, Princess." Hanya itu yang Papanya ucapkan ketika Arne mengadu soal tingkah menyebalkan Aro pagi ini lalu pergi bersama dengan Abangnya, sama santainya.
Membiarkannya berangkat kuliah bersama Erio.

"Ariadne, kamu udah bengong tiga kali."

Terkesiap ketika Erio mendekat dengan satu tangan yang melambai di depan wajahnya, ia melangkah mundur dan menelan ludah.

Arne memakai helmnya dengan cepat seraya meringis tidak enak. "Kayaknya aku beneran butuh sarapan sekarang. Kira-kira yang cepet apa ya, Kak?"

"Bubur mau?" Refleks gadis itu menggeleng. Tenggorokannya sudah muak beberapa hari terakhir ini bertemu dengan nasi lembek itu. "Nasi uduk? Kalo saya nggak salah inget, di belokan pertama setelah keluar gerbang ada warung nasi uduk."

Tercenung. Arne perlahan mengamati lelaki di depannya dengan lebih cermat, mengorek ingatannya dalam-dalam, apakah ia pernah bertemu dengan laki-laki ini di masa lalu.

"Kak Erio." Panggilan Arne ditanggapi cepat dengan gumam pelan. Seperti ada tali yang perlahan mencengkeram lehernya ketika ia rasakan tatapan lembut Erio memancangnya lebih lama. Arne memalingkan wajah sambil berdeham keras, mencoba menghilangkan perasaan sesak yang tiba-tiba saja memenuhi dada. Melipat bibirnya ke dalam, dia lantas menggeleng pelan dan bersiap naik ke motor yang sudah ditumpangi Erio sedari tadi.

"Jadi nasi uduk itu aja?" Laki-laki itu kembali bertanya dan menjalankan motornya setelah ditanggapi oleh Arne dengan anggukan.

Sepanjang jalan menuju warung nasi uduk, gadis itu masih diliputi perasaan gelisah. Ia memandangi punggung Erio dengan penuh gundah, rasanya seperti ada batu kecil yang bersembunyi di dadanya ketika mengetahui laki-laki itu tahu tempat makan favoritnya dan Fayedra saat kecil.

Arne setia pada kebungkamannya meskipun motor yang ditumpanginya sudah berhenti di pelataran kecil warung. Ia turun dalam diam, bahkan ketika pemilik warung menyambut kedatangannya dengan begitu antusias, Arne tidak sanggup bereaksi lebih dari tersenyum. Isi kepalanya terlalu penuh dengan berbagai bentuk kemungkinan.

Head Over Flip FlopsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang