Tiga hari di rawat di rumah sakit membuat Gistara merasa suntuk. Hingga kini akhirnya dia bisa bernafas lega ketika sudah bisa keluar dari tempat yang membuatnya merasa pening sepanjang hari.
"Aku udah nggak papa, Mas. Nggak perlu di bukakan pintu segala." Protes Gistara ketika Raka membantunya membuka pintu mobil hingga menggandengnya menuju dalam rumah. "Aku merasa habis sakit parah."
Protesan dari sang istri justru membuat Raka terkekeh, "Nggak papa sayang, aku akan menjaga kamu sampai benar-benar sehat."
"Aku udah sehat kok."
"Tapi tekanan darah kamu masih rendah, nanti aku buatkan makanan yang bisa menaikkan tekanan darah ya."
Gistara mengangguk, "Iya, makasih ya Mas."
Melihat Raka yang siaga menjaga dan berusaha memberikan yang terbaik untuknya semakin membuat Gistara merasa bersalah. Dia tau suaminya itu menginginkan seorang anak, tapi karena kelalaiannya membuat mereka kehilangan calon anak mereka.
"Sebentar aku ke dapur dulu, udah jamnya makan siang." Ujar Raka setelah mendudukkan Gistara ke ranjang mereka.
Gistara mencekal pergelangan tangan Raka ketika suaminya itu sudah akan beranjak, "Maaf ya Mas udah buat kamu kecewa."
Raka mendudukkan tubuhnya di sebelah sang istri, tangannya meraih tangan Gistara yang mencekal tangannya, "Sayang, jangan pernah menyalahkan diri kamu sendiri. Kamu udah berkali-kali bilang maaf padahal semua ini bukan salah kamu."
"Tapi aku tau Mas Raka pasti kecewa."
"Nggak papa aku ikhlas, kamu juga belajar mengikhlaskan ya, nanti kita bisa coba lagi."
"Aku ikhlas kok, tapi kadang memang merasa bersalah sama kamu."
"Nggak perlu merasa bersalah ketika diri kamu sendiri juga merasa kehilangan sayang. Kita berdua sama-sama bersedih atas kejadian yang menimpa kita, jadi kamu nggak perlu merasa seperti itu ya." Raka tersenyum lembut, tangannya mengelus pelan tangan sang istri, "Itu artinya, Tuhan masih ingin memberikan kita kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua dulu, sebelum nantinya kita akan di sibukkan mengurus bayi-bayi kita."
Gistara memeluk Raka dengan sayang, "Aku bersyukur banget punya Mas Raka."
"Aku juga bersyukur punya Gistara."
••••••••
"Gistara, maaf ya, Mbak dan Mas Julian baru aja bisa jenguk. Kami baru aja tadi pagi pulang dari luar kota." Ujar perempuan cantik bernama Indira, yang merupakan istri dari kakaknya yang bernama Julian Laurelio Ardinanta.
"Nggak papa Mbak Dira, aku juga udah baik-baik aja kok." Ujar Gistara tersenyum.
Julian mengacak-acak rambut adiknya, matanya mengerling jahil, "Sekarang udah dewasa ya. Udah bisa-"
"Apasih, Kak." Dengus Gistara kesal, segera dia menghentikan ucapan kakaknya sebelum kalimat penuh godaan terdengar di telinganya.
"Kakak masih suka nggak nyangka kalau adik perempuan Kakak sudah jadi istri orang." Ujar Julian lembut. Mereka berdua memang sangat dekat. Meski sudah sebesar ini, bagi Julian, Gistara adalah adik kecilnya. Bahkan ekspresi kekesalan yang hari ini adiknya tampakkan mengingatkan dia dengan masa-masa dulu ketika mereka masih belia, tidak ada yang berubah, semua tetap sama.
Gistara tersenyum, tangannya melingkar memeluk kakaknya, "Padahal usia aku udah nggak remaja lagi, tapi aku merasa masih kecil kalau di hadapan Kakak."
"Bagi Kakak kamu memang masih kecil." Julian terkekeh.
Bukan hal asing bagi Indira melihat sang suami bersama adiknya. Tidak ada rasa cemburu di hatinya melihat suaminya yang menyayangi adiknya sendiri. Mereka sudah jarang bertemu, sangat di maklumi seandainya mereka berpelukan untuk melepas rindu seperti saat ini. Apalagi dengan hal itu, Indira percaya bahwa suaminya memang tipe laki-laki penyayang, terbukti dengan Julian yang memperlakukannya penuh cinta dan sayang.
![](https://img.wattpad.com/cover/356859030-288-k37023.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arranged Marriage
Ficción GeneralMeski sudah menginjak usia 32 tahun, namun tak ada tanda-tanda sedikitpun dari seorang Raka Satria Erlangga untuk pulang dengan membawa calon istri. Sikap Raka yang kelewat santai membuat Sania-Ibunya kalang kabut hingga kerap kali mendesak Raka unt...