16

11.5K 1.1K 88
                                    

"Tadi Mama ngabarin kalau besok mau ke tempat Sarah, ibunya sudah memberi ijin kami untuk datang." Raka berujar di sela-sela mereka tengah bersantai di depan televisi.

Raka mengedikkan bahunya sebagai jawaban, "Kita ikut nggak papa?"

"Nggak papa, kita ikut aja." Ijin satu hari tidak masuk kantor sepertinya bukan masalah. Karena bagaimanapun juga Gistara sudah menjadi bagian dari Erlangga, tidak mungkin jika dia akan diam saja kalau mereka sedang ada masalah. Setidaknya jika dia tidak bisa berbuat apa-apa, maka dia bisa ikut andil dengan kedatangannya. "Jujur aku prihatin banget sama kejadian yang menimpa Sarah. Pasti membekas banget dalam ingatannya."

"Apalagi sampai membuahkan hasil." Sambung Gistara lagi.

"Kehadiran bayi itu seolah agar Arka bisa bertanggungjawab atas perbuatannya." Ujar Raka menimpali ucapan Gistara.

"Kalau Sarah nggak hamil, mereka belum tentu menikah. Dan seumur hidupnya, Sarah akan terus dihantui rasa traumanya tanpa ada obatnya. Sedangkan Arka, dia tidak mendapatkan tuntutan apapun. Setidaknya dengan kehadiran bayinya, mungkin bisa sedikit menghapuskan trauma Sarah."

Gistara mengangguk setuju, "Bener juga sih. Ini sudah menjadi jalan mereka. Itu artinya Tuhan percaya kalau mereka mampu melewatinya."

"Mungkin memang sudah berjodoh, hanya saja cara yang dilewati memang seperti ini."

••••••••

Gistara dan Raka sudah duduk di dalam mobil bersama dengan Saka dan Selina. Mereka tengah dalam perjalanan menuju kediaman Sarah.

Mulanya Raka akan membawa mobilnya sendiri, namun agar tidak repot, jadi dia lebih memilih menumpang di mobil Saka. Jadilah kini terdapat empat orang dalam mobil Saka. Saka yang menyetir dengan Selina yang berada di sebelahnya. Sedangkan Raka dan Gistara berada di belakangnya.

"Anak-anak di rumah sama siapa, Mbak?" Tanya Gistara memecah keheningan yang melingkupi mereka beberapa menit.

Selina menoleh ke belakang lalu tersenyum mendapatkan pertanyaan dari Gistara. "Ada Ibu yang jaga mereka, Mbak."

Gistara sudah melarang Selina memanggilnya dengan embel-embel 'Mbak'. Dia merasa tidak enak kalau dia yang notabenenya lebih muda malah dipanggil 'Mbak'. Namun Selina tetap keukeh memanggilnya seperti itu. Dia bilang dia juga tidak enak kalau memanggil kakak iparnya dengan namanya saja. Jadilah kini mereka sama-sama saling memanggil 'Mbak'.

"Ooh, Ibu itu Ibunya Mbak Selina?"

Selina mengangguk, "Iya, kebetulan Ibu lagi berkunjung dari kemarin. Daripada anak-anak diajak panas-panasan begini, mending dititipin sama Ibu dulu."

"Iya ya Mbak, apalagi Alsha masih kecil. Takutnya nggak betah dan rewel kalau lama-lama di mobil."

Entah bagaimana cara Gistara ingin mengulik masa lalu Raka dan Selina. Dia tidak melihat gelagat yang mencurigakan sejak tadi. Raka bersikap seolah dia biasa saja. Sedangkan Selina tak jauh beda dengan Raka. Mereka seperti dua orang yang hanya sebatas kenal. Tidak seperti seorang yang pernah mempunyai hubungan dimasa lalu.

"Apa dugaan aku salah ya?"

"Tapi kenapa fotonya Mbak Selina ada di laptop Mas Raka?"

"Kelihatannya enak banget sayang, coba mau cicip."

Gistara membuyarkan lamunannya kala mendengar suara Saka di balik kemudi. Dilihatnya Saka seperti tengah meminta istrinya untuk menyuapinya.

"Tadi kayaknya nggak mau." Omel Selina, namun tak urung perempuan itu tetap menyuapkan sandwich kepada Saka.

Arranged MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang