"Kenapa nggak kasih kabar kalau kamu mampir ke taman dulu?"
Begitu memasuki apartemen, Gistara sudah di sambut dengan pertanyaan Raka. Laki-laki itu sudah memakai baju santai rumahan dan tengah duduk di sofa. Sepertinya Raka baru selesai mandi. Itu artinya, Raka sudah cukup lama pulang dari restoran.
Gistara meletakkan sepatu di rak sepatu dekat pintu sebelum menjawab, "Aku nggak tau kalau kamu pulang lebih cepat."
Raka menghela nafasnya, "Begitu kamu chat aku, aku langsung pulang tadi."
"Iya, maaf. Lain kali aku kabarin dulu." Gistara hanya melewati Raka berjalan hendak menuju kamarnya. "Aku mandi dulu."
Setelah cukup lama berendam air hangat dan mandi, Gistara segera menyusul Raka yang sedang memasak di dapur.
"Masak apa?"
"Bahan makanan habis, cuma goreng ayam sama tumis kangkung, nggak papa kan?"
Gistara mengangguk, dia lantas membantu Raka membawa masakannya ke meja makan.
Keterdiaman Gistara yang tak seperti biasanya membuat Raka berasumsi bahwa Gistara masih marah karena kejadian kemarin malam. Meski mulut perempuan itu berkata tidak marah, namun pada kenyataannya tindakannya menjawab semuanya. Entahlah, Raka tidak tahu harus bagaimana membuat Gistara seperti biasanya. Dia tidak terbiasa menghadapi perempuan yang marah seperti Gistara saat ini.
"Tumben tadi kamu pulang cepat." Raka membuka pembicaraan pertama kali agar suasana meja makan tidak hening.
"Iya."
Raka menghela nafasnya, jawaban Gistara terlalu singkat. Perempuan itu seperti tidak ingin terlibat pembicaraan padanya.
"Gis, tolong jangan seperti ini."
Kening Gistara mengernyit, "Memangnya aku kenapa?"
"Kamu nggak seperti biasanya. Kamu banyak diam hari ini." Ujar Raka jujur.
"Aku minta maaf soal kemarin malam. Aku harus bagaimana supaya kamu memaafkan aku?" Sungguh, rasanya tidak nyaman saling berdiam diri seperti ini.
Gistara menelan makanannya sebelum meneguk air putih di hadapannya. "Mas, kamu nggak salah. Kamu nggak perlu meminta maaf."
"Lagipula aku benar-benar nggak marah." Kali ini Gistara mencoba meyakinkan Raka. "Untuk apa aku marah?"
"Kamu bilang itu dulu kan?"
"Dulu kamu masih sendiri, masih bebas, jadi wajar saja kalau kamu suka sama seseorang."
"Aku nggak berhak marah atas perasaan kamu. Benar kata kamu, kita nggak bisa mengendalikan kepada siapa perasaan kita akan jatuh."
Gistara kembali melanjutkan makannya, "Jadi, kamu jangan merasa bersalah seperti itu."
Raka terdiam mendengar rentetan kalimat yang Gistara ucapkan. Bukannya merasa tenang, justru dia merasa kalimat Gistara penuh makna. Seperti ... entahlah, Raka juga tidak bisa menduganya terlalu jauh.
Setelahnya hanya suara dentingan sendok dan piring yang mendominasi meja makan.
••••••••
Gistara lebih dulu memasuki kamarnya bersiap hendak tidur. Namun entah kenapa dia malah tidak bisa memejamkan matanya ketika tubuhnya sudah menempel pada kasur empuk miliknya. Berkali-kali mencari posisi ternyamannya tetap saja kantuk tak kunjung datang.
Hingga suara pintu terbuka spontan membuat Gistara memunggungi pintu berpura-pura tertidur. Dia sedang tidak ingin berbasa-basi dengan suaminya.
Mati-matian Gistara memejamkan matanya dan mengatur nafasnya senatural mungkin agar dia terlihat seperti orang tidur sungguhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arranged Marriage
Narrativa generaleMeski sudah menginjak usia 32 tahun, namun tak ada tanda-tanda sedikitpun dari seorang Raka Satria Erlangga untuk pulang dengan membawa calon istri. Sikap Raka yang kelewat santai membuat Sania-Ibunya kalang kabut hingga kerap kali mendesak Raka unt...