29

12 3 0
                                    

.

Tiga bulan berlalu begitu cepat untuk Jena, tapi begitu lambat untuk Jeano. Dia kini sedang gelisah di depan pintu kedatangan di bandara. Kakinya tak berhenti melangkah ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang sedang dikhawatirkan laki-laki itu, sehingga menarik perhatian orang-orang disekitarnya.

"Nunggu siapa, nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang kebetulan melewati Jean. Wanita itu terlihat sudah berkeriput namun masih terlihat cantik dengan pakaian khas wanita zaman dulu. Jeano tiba-tiba jadi teringat pada eyangnya yang ada di kampung. Namun, kenapa ibu ini hanya seorang diri? Di mana anak atau mungkin, cucunya?

"Nunggu... temen bu, heheh" Jeano terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ohh, bukan temen ternyata" ucap wanita tersebut. Seketika Jean pun hanya bisa tersenyum kikuk karena ketahuan ia berbohong.

"Ibu mau ke mana? Kok sendirian?"

"Suami saya sudah meninggal, dan saya sekarang mau pulang"

"Ohhh... gitu yaa, maaf bu saya engga tau" nenek itu pun hanya tersenyum menanggapi ucapan Jean.

"Kalo gitu, saya anter sampe pintu keberangkatan ya?"

"Engga usah, kamu lagi nunggu yang katanya temenmu itu kan?" wanita tersebut pun meraih tangan Jeano dengan sebelah tangannya. Dan tangannya yang lain merogoh sesuatu dari saku bajunya. Ia pun mengeluarkan sebuah gantungan kunci berbentuk bintang yang sangat tidak asing untuk Jean.

"Simpan ini sebagai kenang-kenangan ya, jaga temanmu itu. Saya akan ikut bahagia jika nanti kamu bisa hidup bahagia dengan pilihanmu. Berarti sudah waktunya saya pergi kan? Karena kamu akan bertemu temanmu itu untuk menggantikan saya" ucapnya.

Jean hanya diam sembari menatap wanita yang penuh kelembutan itu. Entah mengapa Jean pernah merasakan kelembutan seperti ini juga sebelumnya. Wangi khasnya pun, membuat Jean merasakan deja vu.

"Kalo gitu saya pamit ya. Jangan lupa untuk berkunjung. Tapi ketika nanti kamu mengunjungi saya, jangan menangis, saya tidak suka melihat laki-laki menangis" ucap wanita itu lagi, kali ini ia mengusap kepala Jean dengan penuh kasih sayang. Sementara Jean masih tidak mengerti, apa maksud perkataannya?

Wanita itu pun kemudian mulai pergi dari sana. Jean terus menatap punggung wanita itu, seperti enggan untuk mengalihkan pandangannya. Sampai tiba-tiba ponselnya berbunyi membuat fokusnya teralihkan. Ia pun melihat panggilan itu, tertera nama Kania yang merupakan sepupunya.

Jeano pun langsung mengangkatnya, dan yang terdengar pertama kali membuat Jeano panik dan bertanya-tanya.

"Kenapa Kania? Lo nangis?"

"Aa...." Kania menggantungkan ucapannya sembari berusaha untuk menahan tangis.

"Eyang... nyusul abah..." Kania menangis dengan sesenggukan.

"Maksudnya? Ngomong yang bener!" Jeano benar-benar sudah dibuat panik.

"Eyang pergiii.... Ninggalin kitaaa... Eyang..." di tengah ucapan Kania, seketika Jeano menulikan pendengarannya. Ia tidak mendengarkan apa yang Kania ucapkan selanjutnya, pandangannya lurus ke depan mencari-cari seseorang. Namun, hilang. Wanita paruh baya yang baru saja pergi, tidak ada di mana-mana. Gantungan kunci yang berada di tangan Jean juga seperti diterpa angin, menghilang begitu saja.

Wanita itu benar-benar pulang.


°°°

Jena menarik kopernya dengan perasaan yang campur aduk. Ia jelas mengetahui siapa yang akan menjemputnya hari ini. Bukan papa, mama, atau kakaknya, melainkan Jeano. Laki-laki itu sudah menghubunginya pagi-pagi sekali. Ia bilang akan menunggu Jena selama apa pun itu.

Double J || Haechan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang